🎼|Jiminay| Precious Love
Jimin × Nayeon
"Honestly, i miss you. But now, i'll erase you because that will hurt less than resenting you."
|Precious love|
Gadis itu semakin mempercepat langkahnya seiring dengan hujan yang turun semakin deras. Tas jinjing kecilnya ia jadikan sebagai pelindung kepala. Pun hingga akhirnya gadis itu sampai ke rumahnya, tubuhnya sudah terlanjur basah kuyup. Sebenarnya, hal itu tidak perlu diambil pusing, toh ia bisa langsung membersihkan diri dan mengganti pakaiannya saat di rumah nanti, tapi karena panggilan mendadak dari sang pacar yang mengatakan akan menginap di rumahnya malam ini, gadis itu jadi kalang kabut sendiri.
Setelah membersihkan diri secepat kilat, gadis Im itu langsung membersihkan dan membereskan buku-bukunya, tumpukan baju dan bekas makanan yang berserakan dimana-mana. Maklum saja, tugas menggunung yang diberikan dosennya sangat menyita waktunya hingga ia tak punya waktu untuk membersihkan rumahnya sendiri.
Rumahnya ini sebenarnya tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil juga, namun karena gadis itu suka membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan—alias boros—jadinya rumahnya terasa sempit.
Omong-omong soal menginap, ini yang pertama kalinya karena biasanya, Jimin hanya akan tinggal di rumahnya sampai tengah malam atau hanya sekedar menemani Nayeon sampai ia tertidur lalu pulang. Makanya, saat mendengar Jimin akan menginap, Nayeon langsung panik.
"Kau tahu, jika pacarmu tiba-tiba bilang ingin menginap untuk kali pertama, itu artinya, dia ingin melakukannya denganmu. Kau tahu, hal yang dilakukan orang dewasa. Kalau aku sih, sudah sering melakukannya dengan Taehyung. Makanya, kau harus mempersiapkan diri." Penuturan Sana disaat malam retret itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Nayeon bergidik, astaga kenapa disaat seperti ini, malah pikiran seperti itu yang muncul.
Sambil menunggu kedatangan Jimin yang baru saja mengabari lagi kalau ia akan datang sedikit terlambat, Nayeon memilih untuk duduk di ruang tamu sambil menonton tv. Hujan di luar sana masih cukup deras, membuat Nayeon sesekali melirik ke jendela, berpikir sudah sampai mana Jimin? Apa dia masih terjebak hujan?
Lama menunggu, pikiran Nayeon jadi merembet kemana-mana. Memorinya kembali memutar momen dulu, saat pertama kali bertemu dengan Jimin. Saat dirinya masih menginjak usia delapan belas tahun, usia yang kata orang—termasuk dirinya—tak akan terlupa.
Saat itu adalah puncak musim semi. Bunga bermekaran dimana-mana, termasuk di taman tua yang ada di dekat komplek perumahannya. Nayeon baru saja pulang sekolah, saat matahari telah bersiap untuk turun di ujung barat. Sinar jingganya melebur dengan bunga merah jambu, membuat sebuah pemandangan yang sangat cantik dan langka untuk di lihat. Mata jernihnya memancarkan kekaguman, wajahnya berseri hingga siapapun yang melihatnya dapat merasakan kalau gadis itu sedang dalam mood yang luar biasa baik.
Sampai maniknya menangkap sosok pemuda yang sedang menatap kosong ke arah kolam yang ada di tengah taman. Tungkainya langsung menuju kearah pemuda itu, mendudukan diri di sampingnya tanpa sedetik pun mengalihkan pandang darinya. Tidak ada percakapan apapun diantara mereka karena Nayeon terus merasa ragu untuk memulai percakapan, gugup sepertinya, padahal biasanya gadis itu selalu banyak bicara.
"Apa menurutmu, akhir yang bahagia itu memang ada?"
Nayeon sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, siapa tahu pemuda itu tidak sedang bicara padanya. Tapi saat menyadari kalau di taman itu tidak ada siapapun lagi selain mereka berdua, Nayeon akhirnya menjawab.
"Tentu saja ada. Pada akhirnya semuanya akan mendapatkan kebahagiannya, sesulit apapun rintangan hidupnya sebelumnya, orang itu pasti pada akhirnya akan menemukan kebahagiaannya."
Jimin meringis, entah kenapa rautnya seolah menunjukan bahwa apa yang diucapkan Nayeon tadi adalah lelucon—atau mungkin bukan? Yang jelas Jimin seperti tidak puas dengan jawabannya. "Akhir bahagia itu hanya ada di dongeng dan drama picisan. Di kehidupan nyata, tidak ada yang namanya kebahagiaan yang murni."
"Kau sepertinya sedang memiliki banyak masalah, ya?" terka Nayeon membuat Jimin terdiam.
Lalu secara tiba-tiba Jimin menolehkan wajahnya ke arahnya. Menatap tepat pada manik matanya hingga membuat Nayeon merasa gugup.
"Kau pernah bahagia? Bisa mengajarkannya padaku?"
Sebelah alis Nayeon terangkat. "Bagaimana caranya?"
"Dengan menjadi pacarku."
Dan sejak itulah hubungan mereka mulai terjalin hingga saat ini. Awal yang cukup aneh memang, tapi rupanya rasa cintanya berhasil menyentuh hati Jimin, membuat pemuda itu lambat-laun dapat terlihat lebih hidup. Jimin jadi lebih banyak tersenyum dan tertawa. Ia tidak lagi dibayang-bayangi oleh ayahnya yang-entahlah, Jimin hanya pernah bilang kalau ayahnya pernah menyiksa ia dan ibunya saat kecil, tapi sekarang ia telah tiada.
Suara bel kembali menyadarkan Nayeon dari nostalgia singkatnya. Gadis bergigi kelinci itu berlari riang menuju pintu. Bersiap membukakan pintu untuk sang kekasih tercinta.
🎶
Ibunya pernah bilang bahwa suatu hal terkecil—hal yang belum pernah terpikirkan oleh kita—sering kali dapat merubah kebahagiaan menjadi kesengsaraan dalam sekejap. Secepat satu kedipan mata.
Dan itu terjadi padanya sekarang. Mata yang semula tersenyum itu kini mengeluarkan setitik air mata saat berkedip. Semakin deras hingga semuanya keluar begitu saja. Gadis itu terisak hebat di dalam selimut tebalnya.
Masih terekam jelas bagaimana senyum malaikat yang ditunjukan Jimin saat ia sampai disini. Tawa riangnya saat menonton film komedi romance yang dibelinya sendiri. Pelukan hangatnya saat Nayeon bergelayut manja di pangkuannya. Bahkan ciuman yang dilayangkan ke bibirnya masih terasa manisnya.
Sial. Kenapa semua kebahagiaan itu tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk?
Nayeon sampai sekarang tidak mengerti apa masalahnya. Jimin tiba-tiba memutuskan hubungan mereka, mengatakan tidak akan pernah kembali lalu pergi begitu saja meninggalkan Nayeon yang termenung di kamarnya. Ini gila, kenapa Jimin tiba-tiba melakukan itu semua?
Maksudnya, jika ia mau memutuskan Nayeon karena merasa bosan, kenapa harus menginap dan melakukan hal-hal yang membuat Nayeon merasa sangat dicintai?
"Aku tidak pernah mencintaimu. Ayo kita putus."
Sial, rasanya semakin sakit saja.
Rasanya seperti di angkat setinggi-tingginya lalu di jatuhkan sekuat-kuatnya ke dalam jurang terdalam.
Bagaimana mungkin Jimin tidak mencintainya? Lantas hubungan selama bertahun-tahun ini apa? Hanya sebatas partner untuk merasakan kebahagiaan?!
Entah untuk yang keberapa, air matanya mengalir, menuruni pipi, lalu jatuh di atas punggung tangannya yang mengepal di bawah selimut. Sampai kapanpun, Nayeon akan mengingat ini. Bukan sebagai kenangan manis sebelum menyapa kepahitan, melainkan sebagai peringatan. Bahwa terlalu mencintai itu hanya akan berujung pada sakit hati yang rasanya akan berkali-kali lipat lebih sakit daripada apapun.
Hanya untuk saat ini, ia akan membiarkan dirinya menangis semalaman.
🎶
"Jangan lakukan apapun pada Nayeon, aku sudah memutuskan hubungan dengannya."
Mendengar itu, sudut bibir Taehyung terangkat. Ia menatap teman sebayanya itu dengan pandangan sinis. "Aku memberikan tawaran itu supaya kau dapat menikmati tubuhnya. Kau ini keras kepala sekali." Taehyung menghembuskan asap rokoknya. Lengannya merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan sebuah kartu dan melemparkannya pada Jimin.
"Kau gunakan kartu itu sepuasmu. Aku harus pergi, masih banyak yang harus aku urus." Taehyung bangkit berdiri.
Jimin menyela. "Aku tidak butuh uangmu." Jimin berdiri dan berjalan menghampiri Taehyung. "Sebagai gantinya, jangan pernah kau berani menyentuh Nayeon. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu jika kau mempermainkannya," ujarnya dengan penuh penekanan.
Taehyung berdecih. "Kau menyukainya, huh? Kupikir selama ini kau hanya main-main dengannya."
Jimin terdiam. Bayangan Nayeon yang tersenyum manis kepadanya tiba-tiba terlintas. Sial, ia tidak punya waktu untuk itu.
Lengannya yang semula memegang gagang pintu itu mulai bergerak, menariknya hingga pintu terbuka. Kemudian melangkah pergi dari tempat laknat itu.
Sementara Taehyung masih berdiri di tempatnya. Menatap prihatin sosok yang baru saja pergi dari tempat ini.
"Bodoh. Kau sangat mencintainya, Jim. Aku tahu itu," monolognya.
Hilir mudik kendaraan dengan gemerlap cahaya malam di Seoul menjadi latar tempat Jimin saat ini. Pemuda itu kembali meneguk bir kalengnya, setelah habis ia meremasnya lalu membuangnya. Kemudian membuka kaleng baru, meminumnya lagi, meremasnya lalu membuangnya, begitu seterusnya. Aksi meminum bir di pinggir jalan itu terus berlanjut hingga ia benar-benar mabuk.
"Aku tidak menyukainya. Aku... tidak... menyukainya—hik."
Kepala Jimin jatuh ke atas meja. Mulutnya terus menggumamkan kalimat yang sama seperti sebuah mantra. Tapi otaknya sangat sulit diajak kerja sama, pikirannya malah terus mengarah pada Nayeon. Senyumnya, tawanya, wajahnya, bibirnya-semuanya.
Jimin mengutuk hidupnya. Kenapa harus seperti ini? kenapa Tuhan seolah tidak membiarkannya bahagia?
Sejujurnya, Jimin ingin—sangat ingin—mencintai Nayeon, tapi kenyataan bahwa dirinya adalah anak dari seorang pembunuh seperti bumerang sendiri baginya. Nayeon terlalu baik—terlalu sempurna baginya. Ia terlalu hina untuk dicintai oleh gadis seperti Nayeon.
Dan lagi, ia tidak ingin Nayeon mati. Kutukan yang lain—selain dilahirkan dari seorang pembunuh—adalah kematian gadis yang ia cintai. Selama ini, gadis yang di cintainya itu entah kenapa selalu mati. Entah itu dengan gantung diri, loncat dari atas jembatan layang ataupun tertabrak mobil. Maka dari itu, ia tidak ingin mencintai Nayeon. Tidak, ia tidak boleh mencintainya. Tidak boleh.
Jimin baru beranjak dari tempat itu saat tengah malam, ketika rasa mabuknya sudah mulai agak menghilang. Langkah kakinya terasa lemas namun terus melangkah maju. Bukan hanya pergi dari mini market 24 jam itu, tapi juga pergi meninggalkan semuanya. Kehidupannya disini dan—Nayeon.
🎶
Seiring berjalannya waktu, hidup Nayeon kembali berjalan normal. Dua tahun sudah berlalu semenjak putusnya hubungan dirinya dengan Jimin dan selama itu pula, Nayeon tidak lagi melihat Jimin. Itu berita baiknya karena Nayeon jadi mudah untuk melupakannya.
Angin berhembus semakin kecang, membuat gadis itu tergerak untuk mengencangkan jas yang di pakainya. Ia baru saja pulang dari tempatnya bekerja. Tungkainya berhenti melangkah saat sampai di halte bus, pun ia menunggu bus sambil duduk bersama rekan kerja lain yang juga melakukan hal yang sama dengannya.
Nayeon menengadah, menatap langit yang kini berwarna biru gelap dengan beberapa awan yang terlihat seperti permen kapas. Rasanya, ia ingin mengumpat saat bayangan wajah Jimin tiba-tiba terlintas. Jimin tersenyum, terus menatapnya lama seolah ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak bisa. Nayeon mengernyit, kenapa bayangannya terasa nyata sekali?
Selang beberapa detik, sebuah mobil mewah melintas dihadapannya. Seorang pemuda berbahu lebar terlihat keluar dari sana, mengajak Nayeon untuk menaiki mobil mewahnya. Senyum ceria Nayeon keluar begitu saja, pun gadis itu akhirnya masuk ke dalam mobil berusaha tidak terlalu memikirkan apa yang barusan ia lihat. Kini ia harus fokus pada orang yang saat ini sedang mengemudi. Kim Seokjin, lelaki itulah yang pantas untuk ia perhatikan saat ini.
"Bagaimana pekerjaanmu di kantor, Sayang? Semuanya lancar?" Jin memulai percakapan mereka dengan santai.
Nayeon menghembuskan napasnya kasar. "Lancar, sih. tapi aku sangat lelah. Mari kita bahas yang lain, kepalaku rasanya mau pecah kalau memikirkan soal pekerjaan."
Mendengar perkataan Nayeon yang cukup jengkel, Kim Seokjin malah tertawa yang beberapa detik kemudian juga menular pada Nayeon. Gadis itu tertawa dengan begitu cantiknya hingga siapapun tidak ada yang menyadari kalau gadis itu menyelipkan luka di setiap tawanya. Ya, karena pada kenyataannya, masih ada satu titik di hatinya yang tersisa hanya untuk Jimin.
🎶
Dua puluh dua September. Nayeon tidak ingat kapan ia melingkari tanggal ulang tahunnya itu di kalender. Ia tidak merasa-astaga, ia jadi menyesal karena telah mengingatnya sekarang. itu pasti ulah Jimin. Lelaki itu selalu melingkari tanggal-tanggal penting, mulai dari ulang tahun mereka berdua, hari anniversarry, hari ke-1000, ke-3000 hingga ke-6000. Nayeon terdiam, hanya di hari ke-6000 yang tidak dibubuhi tanda ceklis-tentu saja, karena hubungan mereka telah kandas sebelum hari itu, bahkan tidak mencapai hari ke-3000.
Lengannya tergerak untuk meraih kalender itu dan membuangnya, ia tidak akan membiarkan dirinya menangisi Jimin lagi. Sekarang ia sudah memiliki Jin yang jauh lebih mencintainya dan menyayanginya. Bukan Jimin yang bahkan tidak pernah mencintainya.
Nayeon menatap hujan di luar sana yang semakin deras. Ia melipat kedua lututnya, memeluknya dengan kedua lengannya seraya menelungkupkan kepalanya. Ia butuh ketenangan dari semua ini. ia tidak ingin terus mengingat Jimin—walaupun Tuhan tahu kalau gadis itu takan pernah bisa melupakan Jimin. Jimin terlalu meninggalkan bekas, terlalu sulit untuk dilupa.
Lima belas menit kemudian, Nayeon akhirnya memutuskan untuk beranjak. Malas-malasan ia meraih handuk dan bergerak ke kamar mandi. Menyirami tubuh dan berendam di air hangat agar tubuh dan pikirannya merasa lebih baik. Tidak butuh lama bagi Nayeon untuk membersihkan diri.
Ketika Nayeon mengeringkan rambut dengan handuk, tangannya yang lain meraih ponsel dari sudut ranjang. Membuka chat yang belum dibaca mungkin bisa sedikit mengalihkan pikirannya.
Hampir saja Nayeon menjatuhkan ponselnya saat menemukan pesan dari nomor familiar yang sudah sejak lama ia hapus dari kontak ponselnya.
Ini gila.
Jantung Nayeon berdebar kencang hingga ia kesulitan bernapas. Ia sampai harus menyandarkan kepalanya ke ranjang karena debaran itu mulai membuatnya pusing. Nayeon masih sulit mempercayai apa yang dilihatnya karena rasanya mustahil. Orang yang memutuskan untuk menghilang di kehidupannya. Orang yang memutuskan hubungan mereka setelah mengatakan tidak pernah mencintainya. Orang yang selalu membuatnya kesulitan tidur karena suaranya selalu terngiang. Tiba-tiba memberinya pesan dan mengucapkan kalimat yang membuat seluruh tubuhnya terasa beku.
"Aku merindukanmu."
"Sial, omong kosong macam apa lagi ini, Jim? Tidak cukup kau selama ini membuatku menderita?"
Suara Nayeon terdengar bergetar, begitu pun dengan jemarinya yang berusaha menghapus pesan itu. Namun sepertinya takdir sedang ingin mempermainkannya. Karena alih-alih terhapus, ibu jarinya malah tanpa sengaja menekan ikon bergambar telepon. Panik, gadis itu berusaha memutuskan panggilan. Bahkan ia menjatuhkan ponsel di siis ranjang yang cukup jauh darinya. Kedua tangannya memagang dada kirinya yang terasa berdentum menyakitkan. Gila, ia mau mati rasanya.
Ia pikir kesalahannya hanya akan berhenti disitu. Namun tidak lama setelahnya, ponselnya kembali menyala dan menampilkan nomor tadi.
Jimin menghubunginya. Setelah bertahun-tahun pemuda itu pergi menghilang. Berani sekali, ia kembali mencoba memasuki kehidupan Nayeon yang sudah mulai terbiasa tanpa kehadirannya.
Jika saat ini Nayeon belum memiliki Jin. Mungkin gadis itu akan menjawab panggilan itu. Namun tidak lagi. Ia kini sudah dewasa. Ia sudah punya kehidupan baru. Ia tidak akan membiarkan Jimin kembali mengambil hatinya yang telah ia berikan pada lelaki lain.
Namun agaknya Jimin tidak pernah berubah. Ia masih kerasa kepala. Hampir sebelas menit berlalu sejak Nayeon terdiam di tempat tanpa berniat menjawab panggilan dan Jimin masih berusaha menghubunginya. Rasanya mengerikan melihat bagaimana angka panggilan tak terjawab Nayeon perlahan berubah dari tiga, enam, sepuluh lalu dua puluh dan diangka dua puluh dua, Jimin memutuskan untuk berhenti.
Nayeon tanpa sadar menghembuskan napas lega. Ia pikir semuanya sudah berakhir namun ketika ia kembali mengambil ponselnya. Layar ponselnya kembali menampilkan sebuah pesan dari nomor yang sama. Napasnya tercekat.
"Aku ada didepan. Bisakah kau membuka pintu? Aku kedinginan. Hanya sepuluh-ani satu menit! Ayo kita bertemu sebentar. Aku rindu."
"Dasar bodoh! Tak tahu diri! Kenapa ia datang kemari."
Bukan hanya Jimin yang tidak berubah. Nayeon pun masih sama bodohnya, baik dulu maupun sekarang.
Harusnya gadis itu tidak membiarkan kakinya melangkah menghampiri jendela. Harusnya ia mendengarkan peringat di kepalanya yang menyurushnya untuk berhenti. Karena dibalik tirai jendela kamar, ia bisa melihat sosok lelaki yang berdiri di depan rumahnya dengan tubuh yang sudah basah kuyup. Tubuhnya terbungkus parka biru panjang, wajahnya tersembunyi dibalik tudung jaket dan topinya yang dibelikan Nayeon beberapa tahun yang lalu. Ia masih menyimpannya? Sial, kenapa lelaki itu masih menyimpan barang pemberiannya.
Jantung Nayeon rasanya seperti melompat keluar saat lelaki itu mendongak ke arahnya. Ia segera bersembunti ke balik tirai, membekap mulutnya sendiri, menahan isakan yang tiba-tiba keluar.
Kenapa? kenapa Jimin membuatnya menjadi sulit sekarang?
Tidakkah dengn menyakitinya dua tahun lalu sudah cukup baginya? Kenapa harus muncul lagi disaat-saat seperi ini?
Kenapa Jimin masih berani menginjakkan kaki di depan rumahnya setelah membuatnya hancur berkeping-keping?
Saat Nayeon bergegas keluar dari rumahnya, menuruni setiap anak tangga dengan lompatan-lompatan kecil, yang ada di dalam pikirannya hanyalah mengusir Jimin. Menyuruhnya untuk pergi sejauh mungkin dan tak kembali mengusik hidupnya. Ia tidak akan membiarkan Jimin kembali menghancurkan hidupnya yang sudah mulai bahagia bersama Jin. Ia tidak sebodoh itu, dengan menerima Jimin kembali.
Walau kenyataannya, Nayeon salah. Ia masih sebodoh itu.
Kemana perginya Nayeon yang ingin mengusir Park Jimin? Kemana perginya Im Nayeon yang membenci Jimin? Semua rasa benci dan rencananya itu menguap begitu saja saat lengan Jimin memerangkapnya dalam pelukan erat. Membuat tubuh Nayeon lemas seketika hingga Jimin harus mencengkram pinggang gadis itu supaya tidak jatuh. Pipi gadis itu sudah bersimbah air mata saat Jimin membenamkan wajah dipundak Nayeon sembari menggumamkan kata maaf berulang kali.
"Brengsek!... Bajingan!... Bangsat!"
Nayeon terus mengumpat dengan suara tercekat. Sementara Jimin terus menggumamkan kata maaf walaupun lelaki itu sadar betul, kalau kata maaf saja tidak akan cukup. Kedua tangannya mengepal kuat sebelum menyentuh punggung Jimin. Pukulan tak bertenaganya sama sekali tak berarti apapun dibandingkan lengan Jimin yang begitu erat memeluknya. Seluruh tubuhnya terasa lemas, benar-benar tak bertenaga. Seolah kesedihannya luruh bersama air mata, menenggelamkannya ke dalam peluk Park Jimin yang hangat.
"Lima tahun, Jimin-ah... Lima tahun dan kau bilang tidak mencintaiku—hiks—brengsek!"
Jimin menggeleng dan mengeratkan dekapannya. "Ani Nayeon-ah. Aniya... aku sangat mencintaimu. Maaf, maafkanku."
"Kau pikir aku tidak tahu, huh?" Nayeon masih terisak. "Selama ini aku menderita karenamu! Kau pikir aku akan kembali menerimamu setelah semua yang kau lakukan?"
"Nayeon-ah, aku tidak—"
Gadis itu berusaha mendorong dada Jimin untuk melepaskan diri. "Terlambat. Semuanya sudah terlambat, Jim."
"Nayeon-ah... apa maksudmu? Aku—"
Nayeon berjalan mundur. "Terlambat, aku sudah menjadi milik orang lain. Dan kalaupun belum, aku tidak akan pernah menerimamu lagi. Tidak akan pernah."
Jimin kembali mendekat, tapi Nayeon terus berjalan mudnur hingga berhenti tepat di depan pintu yang masih tertutup.
"Berhenti disitu! Jangan berani mendekat, atau akau akan masuk ke dalam sekarang juga!" peringat Nayeon saat Jimin berjalan mendekatinya.
Hujan yang semula kecil itu kembali deras hingga membuat tubuh Jimin kembali diguyur hujan deras. Lelaki itu masih berdiri di tempatnya, membiarkan hujan turun yang seolah menamparnya dengan kuat. Nayeon pantas membencinya, ia memang pantas dibenci.
"Nayeon-ah.."
"Wae? Cepat katakan apapun sebelum aku menutup pintu ini!"
"Saranghae."
Nayeon tertegun. Kata itu. Nayeon ingat betul kalau Jimin hanya pernah mengatakan kata itu padanya saat hari ke-1000 mereka.
"Neomu. Jinjja. Manhi. Aju manhi." Jimin mengucapkannya dengan penekanan ditiap kata. Kata-kata itu benar-benar tulus dari lubuk hatinya.
Setetes air mata kembali turun ke pipinya. Tidak, ia tidak boleh membiarkan Jimin kembali mengambil hatinya. Maka dari itu, ketika Jimin mulai kembali melangkah mendekat, Nayeon buru-buru membuka pintuna. Masuk ke dalam lalu membanting pintu di depan Jimin. Menutup segala celah supaya lelaki itu tidak bisa lagi memasuki kehidupannya.
"Nayeon! Nayeon-ah! NAYEON-AH!"
Jimin terus menggedor pintu. Hujan semakin deras, kali ini diiringi gelap dan sambaran petir. Seolah menggambarkan perasaan mereka saat ini.
Jika saja. Jika saja Jimin tahu bahwa Nayeon saat ini tengah terduduk di balik pintu sambil terisak memanggil namanya dan mengucapkan maaf berkali-kali. Mungkin pemuda itu tidak akan berjalan menjauh dengan air mata yang perlahan membasahi pipinya hingga menyatu dengan air hujan yang membasahinya.
Biarlah seperti itu. Biarlah lelaki itu menanggung semuanya karena ini adalah kesalahannya.
Andai saja lelaki itu memiliki sedikit keberanian untuk mencintai Nayeon-apapun konsekuensi yang akan di dapatnya. Mungkin semuanya tidak jadi rumit seperti ini. Ini semua karena dirinya yang pengecut.
Mungkin bukan kata rindu balasan yang Jimin butuhkan saat ini. Tapi waktu, biarkan waktu yang menentukan kemana takdir hidup mereka selanjutnya berjalan.
Jimin pikir ia tidak akan keberatan untuk menunggu-sampai kapanpun itu. Ia akan menerima karmanya.
🎶
"I don't believe, I hurt you. I think I'm blind. Your eyes just look at me but I make tears reach your eyes. Love, I don't deserve your love"
🎶
Gk tau nulis apaan ini😂 tapi semoga suka yaa especially for @R_1109 semoga gk kapok baca lagi disini ya kak :")
Aku tahu cerita ini aneh tapi boleh dong kasih tau kesan kalian pas baca ini? Hehe
Makasih buat yg udh mau Vote+Comment
See you💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro