BANAFSHA | CHAPTER 8
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Beramal tanpa mengharap sebuah imbalan. Sederhana, tapi kerapkali disepelekan."
💍🤲💍
SETIBANYA di RA Ghazwan mengerutkan kening saat mendapati kardusnya tergeletak asal di dekat pintu masuk ruang kelas. Dia pun bergegas untuk memindahkan benda tersebut ke ruangannya.
"Mbak-mbak yang tadi mengantar kardus ini di mana ya, Mbak Anjani?" tanya Ghazwan saat bertemu dengan Anjani yang tengah asik menuliskan sesuatu di buku catatan kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana.
Dia pun mendongak lantas berkata, "Sudah pulang lagi, Mas, tadi sudah saya tawari untuk menunggu Mas lebih dulu, tapi dia menolaknya."
Ghazwan menghela napas singkat.
"Dari helaan napasnya, kecewa berat ni kelihatannya," cetus Raziq yang baru saja muncul di balik pintu.
"Bukan kecewa, tapi mbak-mbak tadi menggadaikan tumbler kesayangannya sebagai jaminan. Saya meminta beliau untuk menunggu, karena ingin menyerahkan tumbler tersebut," sangkalnya.
Raziq manggut-manggut. "Kirain!"
Ghazwan memilih untuk membuka kardus berukuran besar tersebut, mengeluarkan buku serta alat-alat tulis dan memisahkannya.
"Satu anak dapat berapa buku?" tanya Raziq ikut serta membantu sahabatnya.
"Kebetulan aku beli banyak, kita atur saja sesuai jumlah anak murid, lalu membaginya rata."
"Bukankah seharusnya fasilitas seperti ini dibelikan oleh orang tua masing-masing ya?" cetus Anjani turut bergabung.
"Memang, tapi ada beberapa anak yang ndak mampu untuk membeli alat-alat tulis. Kami mencoba untuk memfasilitasinya," jawab Ghazwan.
"Untuk daftar digratiskan, tidak ada biaya yang harus dikeluarkan para orang tua, selain iuran seikhlasnya di kotak amal sehabis kegiatan belajar mengajar selesai. Diberi seragam secara cuma-cuma juga, terus sekarang ditambah pula dengan alat-alat tulis. Sebenarnya ini RA atau apa sih?" tanya Anjani merasa heran.
Raziq tertawa kecil. "Pasar kita tertuju pada anak-anak yang kurang beruntung, yang memiliki keinginan untuk bersekolah tapi terhalang biaya. Kita ini solusi bagi para orang tua, yang memang kurang dalam segi finansial."
"Kalian sama sekali nggak mendapat keuntungan dari RA ini, bahkan saya rasa kalian terlalu banyak mengeluarkan uang. Nggak habis pikir saya, kok masih ada manusia-manusia sejenis kalian di tengah kemajuan zaman seperti sekarang?"
"Kalau bukan kami yang mengadakan gebrakan, lantas siapa lagi? Kami ndak bisa mengubah dunia agar berjalan sesuai dengan kehendak kami. Tapi kami bisa menciptakan dunia kami sendiri agar sesuai dengan apa yang kami inginkan, dengan cara ikut andil dalam menciptakan generasi muda yang jauh lebih baik untuk ke depannya."
"Betul itu, apalagi sekarang kita punya donatur. Sedikit lega, karena nggak terlalu ngos-ngosan dalam hal pendanaan. Bukan begitu?"
Anjani hanya bisa geleng-geleng kepala. "Seharusnya yang ada di sini bukan saya, melainkan atasan saya yang setipe dengan kalian. Sama-sama hobi mendahulukan kepentingan orang lain."
Ghazwan terkekeh pelan. "Kalau memang mau tambah sukarelawan boleh, Mbak."
"Mana mau atasan Anjani jadi sukarelawan, dia orang sibuk. Memangnya kita, manusia-manusia gabut yang sok-sokan mau mengadakan perubahan," ujar Raziq diakhiri tawa garing.
"Orang lain gabut rebahan, scroll sosmed, lha kalian malah bangun RA. Emang agak lain ya!"
"Sedikit beda nggak masalah. Ya, kan, Wan?"
Ghazwan mengangguk mantap.
"Oh, ya sampai lupa, ini rincian biaya renovasi RA. Siapa tahu kamu mau laporin ke atasan kamu, An, bukan apa-apa kalau soal uang agak sensitif. Kita nggak mau dinilai kurang amanah, kalau nggak menyertakan bukti," ungkap Raziq.
"Padahal nggak usah, yang over thinking itu aku. Atasan aku sih santai banget kalau soal sedekah. Aku percaya kok sama kamu dan juga Mas Ghazwan, disimpan aja notanya," sahut Anjani.
Raziq hanya manggut-manggut.
"Berhubung besok sudah ada tenaga pengajar baru, jadi mungkin ini hari terakhir aku di RA. Sesekali akan main ke sini, sekalian follow up renovasi dan pembangunan RA," ujar Anjani.
Ghazwan menghentikan sejenak kegiatannya. "Saya banyak-banyak mengucapkan terima kasih pada Mbak dan juga atasan Mbak yang sudah berperan begitu besar untuk RA kami. Bahkan, untuk tenaga pengajar saja dicarikan yang terbaik, sampai perihal gajinya pun dibiayai langsung oleh atasan Mbak. Terima kasih banyak."
"Kita cuma bisa bilang makasih, semoga segala hajat dan cita-cita atasan kamu segera terealisasi ya, An. Saya dan Ghazwan akan bantu doakan, karena ya hanya itu yang bisa kami lakukan. Nggak bisa balas budi banyak."
"Iya, iya, aamiin. Lagi pula, atasan aku senang kok. Dia kalau urusan sedekah dan donasi maju paling depan," sahut Anjani diakhiri senyum sumringah.
Ghazwan beranjak sebentar lalu kembali duduk di tempat semula. "Ini saya ada sesuatu untuk Mbak Anjani dan juga atasan Mbak Anjani."
Anjani menerima paper bag yang diserahkan Ghazwan. "Makasih banyak lho, Mas. Ngerepotin pasti ini."
Ghazwan menggeleng pelan. "Ndak, Mbak, itu hanya sekadar Tote Hori."
"Apa itu?"
"Tote Hori adalah salah satu tas etnik khas Solo yang terbuat dari goni mix jumputan. Kebetulan Ibu saya seorang pengrajin kerajinan tangan, dan beliau mengirimkan ini dua hari lalu."
Anjani berbinar senang saat melihat isi paper bag-nya. "Terima kasih banyak lho, Mas, suka banget saya. Buat dipake ngantor sama hangout juga cocok sih ini."
"Alhamdulillah kalau Mbak suka."
"Udah cerita banyak nih sama Ibu di kampung, sampai dikirim oleh-oleh segala," selidik Raziq.
"Opo to, Ziq. Ndak, aku cuma bilang sama Ibu untuk buatkan dua Tote Hori sebagai bentuk terima kasih sama donatur baru RA. Kamu ndak usah mikir macam-macam."
"Cuma satu macam doang, Kok."
Ghazwan tak menyahut. Meladeni Raziq pasti tidak akan ada habisnya.
"Kalau gitu saya pamit pulang dulu ya, satu jam lagi ada meeting sama client."
Kedua pemuda itu mengangguk singkat. Dan Anjani beranjak pergi menuju kantor, karena memang ada pekerjaan yang harus segera dia tuntaskan.
Hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit untuk dia sampai di tempat kerja, setelah memarkirkan motor di parkiran, dia bergegas menuju ruangan Raiqa seraya menentang paper bag.
"Dari bumer, buka deh," katanya sembari menyimpan asal paper bag dan duduk nyaman di kursi seberang Raiqa.
"Bumer? Maksud kamu?" sahut Raiqa lalu membuka isinya.
"Ibu mertua. Cantik, kan tasnya sama kayak yang bawa?"
Raiqa memutar bola mata malas. "Apaan sih, nggak jelas banget kamu, An. Ibu mertua siapa? Perasaan kamu jomblo akut menahun deh. Jangankan Ibu mertua, calon aja nggak punya."
Anjani berdecak. "Siapa juga yang bilang ibu mertua aku. Aku, kan cuma bilang bumer."
"Tahu ah, nggak jelas banget kamu!"
"Ada salam dari Mas Raziq sama Mas Ghazwan, makasih katanya dan tas itu dari Ibunya Mas Ghazwan. Tadi namanya apa ya, lupa, susah, pokoknya itu tas etnik khas Solo."
Raiqa manggut-manggut. "Ohh."
"Ohh doang nih?"
"Ya terus aku harus gimana?"
"Tanya apa kek, lempeng banget perasaan."
"Tumbler aku gimana? Lupa, tadi harusnya aku nungguin mas-mas itu dulu, tumbler aku jadi sandera, kan di sana. Mana itu tumbler kesayangan lagi. Kenapa kamu nggak bawain sekalian sih, An?"
Anjani berdecak pelan. "Kalau aku bawain ya ketahuan dong, kalau kamu itu donatur di RA. Katanya harus jaga rahasia, gimana sih!"
Raiqa menampilkan deretan giginya. "Oh, iya lupa."
"Dasar. Masih muda padahal!"
"Tasnya cantik ya, An, mendadak naksir nih sama modelnya. Kalau mau beli di mana ya?" cetus Raiqa.
"Naksir tasnya atau naksir yang ngasih tas?"
Seketika itu juga sebuah pulpen melayang apik di kening Anjani.
"Ya tasnya, lha, kamu ini ngaco!"
Anjani terbahak saat itu juga, terlebih melihat wajah merah Raiqa. Mana hidungnya sampai kembang-kempis pula.
💍 BERSAMBUNG 💍
Padalarang, 02 Desember 2024
Gimana nih, gimana? Penasaran nggak sih sama kelanjutannya.
Oh, ya insyaallah besok aku akan up Rintik Sendu Musim Kedua ya. Siapa nih yang nungguin Hamna sama Hamzah? 🤭
Mau dilanjoott?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro