Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BANAFSHA | CHAPTER 2

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika sadar bahwasannya harta adalah titipan, maka gencar-gencarlah dalam beramal."

💍🤲💍

SEBAGAI perempuan yang sudah berusia seperempat abad, Raiqa merasa dirinya membutuhkan figur seorang pemimpin. Meskipun kebanyakan wanita yang mapan dalam segi finansial lebih memilih untuk tetap melajang.

Namun tidak dengan dirinya, dia sudah cukup bosan hidup sebatang kara. Dia menginginkan adanya sebuah keluarga, menikmati hidup dengan peran baru sebagai seorang istri.

Tak ada standar khusus yang dipatok, dia hanya menginginkan sosok suami yang bisa membimbing dan mengarahkannya agar jadi pribadi yang jauh lebih baik lagi.

"Kamu akan tetap baik-baik saja tanpa harus menikah. Kamu punya segalanya, dunia seolah sudah berada dalam genggaman. Lantas apa yang kamu cari dari sebuah pernikahan?"

Raiqa pun menoleh kala mendengar penuturan Anjani, satu-satunya kerabat dekat yang dia miliki. "Sederhana, aku ingin merasakan hangatnya sebuah keluarga."

"Iya kalau kamu beruntung dan nggak salah pilih, tapi kalau konteksnya berbanding terbalik gimana?"

"Maka dari itu, seingin-inginnya aku menikah, aku masih mengandalkan akal dalam menyeleksi, nggak asal pilih juga, lha, An."

"Terus sekarang gimana? Sudah nemu kandidat yang pas untuk kamu jadikan suami?"

Raiqa menggeleng lemah.

Anjani pun menghela napas berat. "Standar kamu ketinggian kali, Ray. Kalau emang ngebet nikah, nggak usah terlalu matok."

"Nggak ada standar khusus, tapi mungkin emang belum ketemu yang pas aja."

"Salah sendiri. Kemarin ada yang cocok tapi tiba-tiba berubah pikiran hanya karena kamu tahu kalau dia seorang perokok aktif. Nyari cowok yang nggak ngerokok di Jakarta itu susah, Raiqa," omel Anjani.

"Dengerin aku ya, An, untuk perkara menjaga kesehatan dirinya saja dia tidak mampu. Apalagi kalau kelak diamanahi untuk menjaga istri dan juga anaknya?"

"Kan bisa setelah menikah kamu minta dia berubah untuk nggak merokok lagi. Simpel bukan?"

"Masalahnya nggak sesederhana itu, kamu kira mengubah kebiasaan itu mudah? Nggaklah, An, apalagi dia seorang perokok aktif, pasti akan sangat sulit terbebas dari belenggu benda tersebut."

Anjani mendengus sebal. "Yang dulu-dulu ada, bukan perokok juga, tapi kamu membatalkan pernikahan begitu saja. Padahal, tinggal menghitung hari menuju hari-H. Alasannya klasik banget lagi, cuma gara-gara kamu nggak suka dengan pergaulan dia yang ternyata dipenuhi kaum hawa."

"Aku nggak mau cari penyakit."

"Penyakit kamu bilang?"

Raiqa mengangguk setuju. "Bermudah-mudahan dalam bergaul dengan yang bukan mahram itu penyakit, dan aku nggak mau terjebak dengan pria yang nggak merasa cukup dengan satu wanita."

"Dia kayak gitu karena masih lajang, kalau sudah beristri pasti nggak akan kayak gitu lagi. Laki-laki itu koleksi, seleksi, lalu eliminasi. Biasa itu, Ray."

"Apa jaminannya?"

Ditanya seperti itu, Anjani mendadak diam membisu.

"Nggak bisa jawab, kan? Perubahan nggak akan terjadi kalau dalam dirinya nggak menginginkan hal tersebut. Mau sekeras apa pun aku berusaha untuk mengubah dia, maka akan sia-sia kalau nggak ada keinginan dalam dirinya. Sampai sini harusnya kamu paham sih, An."

"Tahu ah, pusing aku mikirin calon kandidat kamu. Mumet, perasaan salah mulu!"

Raiqa terkekeh pelan. "Jangan merajuk gitu, lha. Jelek tahu, apalagi itu bibir sampai dimajuin segala. Kayak bebek."

Anjani pun mendelik sebal.

"Jangan lupa makan siang nanti ada client yang harus kamu temui," peringatnya.

"Untuk acara wedding bukan sih?"

"Iya, katalog menunya sudah aku siapkan."

"Sekalian tester atau hanya bahas soal menu doang, An?"

"Bahas menu doang, Ray."

Raiqa manggut-manggut. "Ya sudah, kalau gitu kamu saja yang gantikan. Saya ada urusan sebentar."

"Kenapa harus aku mulu sih kalau berurusan sama pernikahan. Aku tahu, kamu nggak bener-bener ada urusan, kan?" selidiknya.

"Aku harus mempersiapkan untuk Jumat Berkah lusa nanti, An. Aku mau bagi-bagi sembako, persiapannya agak makan waktu."

"Kamu punya uang dan kekuasaan, kenapa harus repot-repot belanja dan prepare semuanya sendiri sih? Sekali-kali jangan menyusahkan diri sendiri bisa kali!"

"Aku nggak merasa puas kalau bukan tangan aku sendiri yang mempersiapkan dan membagikannya."

"Ya, ya, ya, terserah!"

Raiqa menampilkan cengiran khasnya, tak lupa dia pun mencubit gemas pipi chubby Anjani, hingga sang sahabat merengek dan mengaduh kesakitan.

"Pipi kamu gemesin, sih, An," katanya tanpa dosa saat dihadiahi pelototan sadis Anjani.

"Sakit tahu, sampai merah ini!" omelnya.

Lagi-lagi Raiqa malah terkekeh tanpa sedikit pun merasa bersalah.

"Kamu mau sampai kapan bagi-bagi sedekah, Ray? Apa nggak bosen, setiap Jumat harus repot dengan hal-hal remeh kayak gitu."

"Pertanyaan kamu aneh deh, An. Ya, selama aku masih bernapas, aku akan tetap menjalankan Jumat Berkah. Berbagi itu nggak ada tenggat waktu."

Anjani geleng-geleng. "Sungguh dermawan sekali sahabat aku ini."

"Aamiin."

"Dih, malah di-aamiinkan."

"Ya terus aku harus gimana?"

Anjani enggan untuk menjawab, dia lebih memilih untuk menyerahkan sebuah proposal pada sahabat sekaligus atasannya tersebut.

"Apa?"

"Proposal sumbangan seperti biasanya."

"Ya sudah kamu tinggal transfer sesuai dengan nominal yang mereka butuhkan."

"Baca dulu proposalnya, Ray. Kamu itu kebiasaan banget setiap kali ada yang mengajukan proposal sumbangan, selalu nyuruh aku transfer tanpa tahu dana itu untuk apa dan disalurkan ke mana saja. Diteliti dulu lebih dalam, bagaimana kalau ada oknum yang menyelewengkan?"

"Kok kamu jadi suudzan, ya nggak mungkinlah. Aku percaya tanpa perlu membaca, kalau sudah ada proposal itu artinya mereka memang membutuhkan bantuan. Sudah, An, kamu tinggal transfer saja."

"Aku baru denger RAQ Imad Din, di sini juga tertulis baru berdiri sejak tiga tahun lalu. Apa nggak sebaiknya kamu konfirmasi terlebih dahulu sama pengurus terkait? Ya buat jaga-jaga aja, Ray."

"Baru tiga tahun berdiri, itu artinya memang mereka sedang membutuhkan sokongan biaya lebih. Mending kamu langsung transfer, An."

"Tapi, kan---"

"Selagi niat kita baik dan tulus, ya sudah kita bantu. Tapi, kalau memang terbukti ada penyelewengan dana, ya itu bukan lagi jadi urusan kita. Tugas dan kewajiban kita hanya membantu, bukan begitu?" potong Raiqa cepat.

"Sifat buruk kamu yang nggak aku suka ya ini, gampang iba, gampang simpatik, gampang percaya sama orang lain, dan gampang banget menggelontorkan uang kalau diiming-imingi kata 'sedekah'. Heran deh!"

"Aku mau jadi manusia yang bermanfaat untuk banyak orang. Selagi aku bisa membantu sesama, kenapa nggak?"

"Iya deh iya si paling ahli sedekah."

"Aamiin."

"Lha?!"

"Kenapa? Ada yang salah?"

"Nggak!"

"Transfer segera, jangan sampai kita membuang-buang waktu untuk beramal shalih."

"Siap, laksanakan."

"Jazakillah khair."

"Hm."

Raiqa tertawa kecil melihat wajah masam sahabatnya. Benar-benar lucu dan menggemaskan.

💍 BERSAMBUNG 💍

Padalarang, 27 Desember 2023

Jangan lupa sedekah vote dan komennya ya 😉

Lanjoott?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro