XII. Later
Dante Amato selalu hadir dalam hidup Bibiana, sejak ia pertama kali membuka matanya hingga delapan tahun lalu ketika peti mati pria itu diturunkan ke dalam tanah. Bahkan memori pertama Bibiana di dalam hidup ini bukan berisi ayahnya atau ibunya, tetapi Dante.
Usianya waktu itu mungkin baru empat atau lima tahun, Dante selalu menjadi sosok yang jauh lebih dewasa, kehadirannya nyaris tak terasa, dia ada, sekaligus tak ada, mengawasinya dari kejauhan, seperti kakak yang melihat adiknya.
Bibiana bahkan tidak tahu apa peran penting Dante di dalam keluarganya dahulu, pria itu jelas lebih penting daripada para penjaganya, tetapi dia bukan bagian dari keluarganya. Tidak seperti para penjaga yang berganti, Dante selalu ada, setidaknya hadir walau sesekali ada lebam biru di wajahnya, atau luka jahitan yang akan ayahnya jahit di ruang kerjanya.
Di waktu-waktu seperti itu, Bibiana tidak akan mendekat, dengan matanya yang besar, dia hanya melihat Dante dari kejauhan sementara mata kelam pria itu balas menatapnya tanpa ekspresi.
"Dante," Antonio memanggil pria itu. "Kau tidak perlu melakukan ini." Bahkan Antonio pun menghela napas panjang setiap kali Dante Amato melakukan sesuatu yang bisa saja membuatnya mati konyol.
Dante terdiam, matanya menatap lurus ke sosok gadis kecil yang bersembunyi di balik pintu. Awalnya mungkin hanya sebuah perasaan terima kasih atau loyalitas yang ia rasakan kepada Antonio hingga membuatnya berkorban begitu besar, tetapi semakin lama, dia menyadari loyalitasnya tidak terletak kepada pria itu, tetapi kepada gadis kecil itu.
Bibiana berhak mendapatkan segala hal yang terbaik di dalam hidupnya, Dante bersedia menyediakan itu di atas piring perak meski itu berarti harus menyerahkan nyawanya juga. Dia satu-satunya sumber cahaya yang ada di dalam hidup Dante dan pria itu tidak akan pernah ingin cahayanya meredup.
"Putriku, aku ingin kau menikahinya." Antonio memberikan sebuah bom secara tiba-tiba di suatu hari. Saat itu usia Bibiana mungkin baru dua belas atau tiga belas tahun, masih terlampau muda. Bahkan Dante tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Loyalitasnya tanpa batas, tidak membutuhkan balasan apa pun.
"Dia masih anak-anak, Antonio." Dante mendengkus, ayah macam apa yang akan menikahkan putrinya dengan seseorang yang jauh lebih tua.
"Exactly why." Antonio mengangguk. "Saat dia dewasa nanti, dia mungkin akan berakhir seperti Daniella."
Dante mengatupkan bibirnya, menyadari apa yang Antonio maksud hingga rela menikahkan putrinya dengan pria seperti dirinya.
"Aku tahu kau tidak melihat putriku seperti itu," Mungkin lebih daripada itu. Antonio menghela napas panjang. Semenjak Bibiana lahir, dia tidak pernah lagi merokok, tetapi bukan berarti itu adalah kebiasaan yang mudah dihentikan. Sesekali pelariannya berada di dalam botol bening, sebuah cairan kecoklatan yang memabukkan. Mungkin dia tengah mabuk saat ini hingga memutuskan bahwa Dante adalah orang paling tepat untuk putrinya.
"Apa kau yakin aku tidak akan menyakitinya?" Dante bertanya kepada Antonio sekali lagi, berusaha meyakinkan pria itu.
"Aku yakin, kau orang yang tepat."
"Kenapa?"
Mata platina Antonio yang serupa dengan Bibiana balas menatapnya lekat. "Karena kau akan rela melepaskannya bila dia memilih yang lain."
Dante tidak menyanggah pernyataan itu, Antonio benar. Dia rela melakukan apa saja untuk memberikan yang terbaik bagi Bibiana, bahkan bila itu artinya menjauh dari gadis itu selamanya.
***
"Aku menciumnya." Bibiana bergumam. Tangannya memutar-mutar sedotan milkshake yang berada di hadapannya.
"Dia yang menciummu atau kau yang menciumnya?" Emilio berbisik pelan kepadanya, berusaha tidak memancing perhatian siapa pun. Tante dan ponakan yang usianya tidak terpaut jauh itu saling berbisik di salah satu booth di kedai es krim milik Stella.
"Aku." Bibi menjawab pertanyaan Emilio, dia menggigit bibirnya sembari meringis.
"Apa kau sadar bahwa kau telah berselingkuh?"
Bibiana meringis semakin dalam, dia bahkan tidak memikirkan Alessio sama sekali setiap kali bersama Dante. Ada berbagai pertanyaan yang berseliweran di otaknya, tetapi Alessio? Dia tidak berpikir sejauh itu.
"Bibi! Kau akan menikah!" Emilio berseru kepadanya, Bibi memukul kepala Emilio hingga pria itu menunduk dan mengaduh kesakitan. Beberapa pengunjung menoleh ke arah mereka, lalu kembali berkutat dengan kesibukan masing-masing. "Tidak bisakah kau meminta Ferro menghentikan pernikahanmu? Aku yakin dia dengan senang hati akan mengembalikanmu ke Dante, maksudku, bukankah Dante merupakan consiglierenya?"
Apakah bisa semudah itu? Bibiana tidak yakin, dia bahkan tidak yakin apa alasan Ferro menerima Alessio sebagai tunangannya. Pria itu tahu betul bila Dante masih hidup, lalu kenapa dia mengabaikan keberadaan Dante dan memaksanya menikah?
"Aku bahkan tidak yakin lagi, Emilio." Bibiana menggelengkan kepalanya. Dante yang hadir di kehidupannya saat ini tidak sama dengan Dante yang meninggalkannya delapan tahun lalu, dia tidak tahu apa yang terjadi selama delapan tahun pria itu pergi, tetapi ada yang berubah, bukan hanya statusnya, tetapi juga kehadirannya. "Bahkan bila aku ingin menghentikan pernikahan ini, bukan berarti aku bisa bersama Dante."
"Kenapa tidak?"
Bibiana menggeleng kembali. "Aku tidak tahu, tapi dia seperti tidak ingin berjuang, aku yakin dia menyukaiku, maksudku ... dia membalas ciumanku, tetapi dia berhenti. Dia tidak .... "
"Dia tidak berjuang untukmu?"
"Yeah."
"Dia menyerahkanmu begitu saja kepada Alessio?" Emilio bertanya kembali.
"Bayangkan, dia mengantarku fitting baju pengantin, dan kau tahu apa yang dia lakukan?"
"Dia melakukan apa?"
"Mencoba tuksedo, karena dia akan menggantikan ayahku mengantarku di altar." Ujar Bibiana gusar. "Maksudku, pria macam mana yang akan mengantar orang yang dia sukai ke sisi pria lain?"
"Apa kau yakin dia menyukaimu?" Emilio bertanya sangsi.
"Dia membalas ciumanku." Bibiana menarik napas sejenak sebelum melanjutkan. "Tapi kemudian dia berhenti dan meninggalkanku begitu saja."
"Kenapa tidak memancingnya sedikit?" Emilio menaikkan alisnya. Keponakannya ini selalu memiliki ide yang aneh nan brilian, ada alasan kenapa dia berada di belakang layar selama ini, kemampuannya bukan terletak di otot, tetapi otaknya dan seringkali Bibiana harus menyadari bila mereka bisa berada di dalam masalah bila mengikuti ide gila Emilio.
"Memancingnya seperti apa?"
"Cium dia sekali lagi, paksa dia mengakui perasaannya kepadamu. Alih-alih kau yang memohon kepada capo untuk menghentikan pernikahanmu, bagaimana bila kau membuat Dante yang melakukan itu?"
"Apa kau yakin dia akan melakukannya? Sepanjang pengetahuanku, Dante sangat loyal kepada Ferro, dia bahkan rela mati demi pria itu." Bibiana mendengkus tidak suka. Dia tidak mengerti kepada sekumpulan pria ini, dia tahu uang mereka berasal darimana, tetapi loyalitas yang buta dan tanpa batas ini terkadang keterlaluan.
"Kenapa tidak membuatnya rela mati untukmu, Bibi? Apa Ferro akan menembak kepala Dante karena mencintaimu? Setahuku, Ferro tidak sesadis itu, dia tidak akan membunuh seseorang karena cinta."
Cinta? Apa Bibiana bisa menggambarkan hubungan dan perasaannya kepada Dante seperti itu.
***
Dibandingkan Dante, seharusnya Bibiana lebih mengkhawatirkan Alessio. Perasaan bersalah menggerogoti hatinya ketika melihat pria itu tersenyum lebar kepadanya. Seperti yang ia janjikan kepada Alessio, mereka akan mengenal satu sama lain.
Kencan pertama mereka mungkin membawa senyuman di bibir Bibiana, tetapi kencan kali ini berbeda. Di kali pertama, kehadiran Dante hanya bagaikan hantu yang membayang di benaknya, tetapi tentu saja, di kencan kali ini Dante bukanlah hantu, melainkan seseorang yang nyata dan kembali hidup. Seseorang yang telah ia sentuh sehari sebelumnya dan di sini dia duduk di sebelah tunangannya dengan rasa bersalah dan senyum canggung.
"Apa kabarmu, Bibiana?" Alessio membantunya memasang sabuk pengaman, hal yang sebenarnya bisa Bibiana lakukan sendiri, tetapi pria ini selalu berusaha merangsek masuk ke dalam zona nyamannya dan mengacaukannya.
"Baik." Nyaris tidak ada orang yang benar-benar bertanya apa kabarnya, sebagian besar percakapan mengenai cuaca dan kabar hanyalah basa basi busuk sebelum memulai percakapan sesungguhnya.
"Apa kau yakin?" Alessio tidak menatapnya, tatapan pria itu lurus ke depan melihat jalanan yang lengang. Dia tidak tahu mereka akan pergi kemana hari ini, mungkin ke suatu tempat di mana Bibiana bisa mengenal pria itu lebih jauh seperti saat di griya seni atau mungkin ke tempat di mana Alessio bisa mengenal Bibiana.
"Kenapa?" Bibiana melihat rona wajahnya sekilas di jendela, dia terlihat baik-baik saja.
"Kau gelisah." Bibiana terdiam, Alessio menyadari kegelisahannya bahkan saat tidak melihatnya. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. "Apa kehadiran Dante membuatmu tidak nyaman?"
Bibiana menelan ludahnya. "Bukannya justru kau yang seharusnya tidak nyaman?"
"Karena dia tinggal satu rumah yang sama dengan tunanganku?" Alessio menoleh ke arahnya sekilas, sebuah senyuman tersungging di bibirnya melihat wajah Bibiana yang nampak kaget. "Kau pikir aku tidak tahu?"
"Darimana kau tahu?"
"Burung berbicara."
"Hah?" Bibiana melongo, tidak bisa mempercayai apa yang Alessio baru saja katakan. Namun, bila ada hal yang bisa dia percayai di sekitarnya, mungkin itu adalah kemampuan para pria Outfit ini mengetahui berbagai hal, tidak ada yang bisa benar-benar disembunyikan. Buktinya saja kematian Dante yang tertutup rapat selama beberapa tahun terakhir bisa terbongkar dengan mudahnya oleh Emilio, bukti bahwa para pria ini bisa mendapatkan informasi yang mereka ingin bila memang bersungguh-sungguh.
"Aku hanya menyimpulkan," Alessio berbicara kembali, tangannya memutar setir dengan mudah, jalanan berkelok tidak membuat pria itu memelankan mobilnya. "Hanya ada dua pilihan, tinggal di hotel atau di rumahmu. Di tengah situasi seperti ini, dia tidak mungkin tinggal di hotel."
"Situasi seperti apa?" Bibiana bertanya, entah kenapa aneh sekali membicarakan mantan tunangannya dengan tunangannya saat ini.
"Situasi hidup dan mati." Wajah Alessio mengeras. "Kuharap Antonio sudah memperingatimu." Bibiana mengangguk ragu.
"Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Tidakkah aku juga harus tahu?"
Alessio menggeleng sekilas. "Tahu lebih sedikit akan lebih aman untukmu."
"Ale," Bibiana protes tidak terima. "Bukankah aku juga harus mempersiapkan diriku sendiri?"
Mobil berhenti di tepi sebuah taman, Bibiana menoleh ke jendela tidak percaya. Mereka berhenti di sebuah taman hewan di mana ada keluarga dan orang-orang yang membawa anjing atau kucing mereka bermain di tempat ini.
"Kau membawaku ke taman?"
"Apa kau pernah piknik?" Alessio mengabaikan pertanyaannya yang sebelumnya, dia membuka pintu Bibiana lalu berjalan menuju bagasi dan membukanya. Bibiana membuka mulutnya tak percaya melihat sebuah tikar, keranjang, dan selimut di bagasinya tersusun dengan rapi. "Ini akan menjadi tempat yang tepat untuk berbicara."
"Apa kau akan menjawab pertanyaanku yang tadi?" Bibiana mengikuti Alessio, pria itu membawa seluruh perlengkapan piknik mereka dengan mudah sementara Bibiana sendiri hanya berjalan dengan hati-hati di atas tanah yang basah itu. Hak tingginya yang tipis tidak sesuai dengan tanah basah seperti ini.
"Hati-hati, banyak kotoran anjing bertebaran." Bibiana berjinjit jijik mengikuti peringatan Alessio.
"Ale, apa kau akan menjawab pertanyaanku?" Bibiana mengulangi kembali, tangannya bersedekap. Mereka terus berjalan hingga tiba di tepi danau dan di bawah pohon rindang. Ada banyak keluarga di sana, Bibiana tidak yakin bisa membicarakan hal internal Outfit di tengah situasi seperti ini.
Alessio lagi-lagi mengabaikan pertanyaannya, pria itu membuka tikar dan mengatur keranjang yang ternyata berisi makan siang mereka. "Duduklah." Alessio menepuk bagian tikar yang ditutupi selimut.
"Aku akan duduk bila kau bersedia menjawab pertanyaanku." Bibiana menolak.
Alessio menarik napas panjang lalu menjelaskan. "Aku akan bercerita kepadamu, tentang dirimu sendiri."
Bibiana mengerutkan keningnya ragu lalu duduk. "Apa maksudmu kau akan bercerita kepadaku tentang diriku sendiri?"
"Tidakkah kau bertanya-tanya kenapa Ferro menjodohkanmu dengan orang lain sementara Dante masih hidup?" Bibiana mengangguk ragu, Alessio melanjutkan. "Kau adalah bargaining chip dalam Outfit." Bibiana mengerutkan keningnya dalam. "Kau mungkin tidak menyadarinya, Bibi. Tapi nasibmu dan Daniella tidak ada bedanya."
"Apa maksudmu?"
"Kau penting bagi keluarga Amato." Alessio menatap ke atas, rambutnya yang keemasan berkilauan ketika tertimpa cahaya matahari yang menyusup dari sela dedaunan. "Antonio dan Dante, keduanya rela melakukan apa pun demi dirimu. Kelebihan sekaligus kelemahan, kau tidak tahu betapa beruntungnya dirimu."
"Itu bukan rahasia lagi."
"Tepat sekali, itulah mengapa Ferro memutuskan untuk menikahkanmu dengan sosok lain."
"Tapi kenapa?" Masih banyak pertanyaan yang berseliweran di otaknya dan masih belum terjawab. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang Ferro katakan kepadanya saat memintanya, tidak, menyuruhnya menikah dengan sosok pilihan pria itu. "Berharaplah Dante masih hidup sehingga ia bisa menyelamatkanmu dari sini."
Bibiana mengerutkan keningnya dalam hingga pertanyaan kenapa berubah menjadi, "Siapa?"
"Siapa?" Alessio mengulangi kembali pertanyaan Bibiana.
Sumbangsih dari keluarga Amato untuk Outfit. Bibiana mengulang kembali perkataan Ferro. "Siapa? Siapa yang berusaha mencelakai keluarga Amato?" Segaris senyuman tipis terbentuk di bibir Alessio. "Apa ini ada hubungannya dengan kepergian Dante selama bertahun-tahun? Misi terakhir yang tidak ada hentinya? Seseorang menargetkan keluarga Amato, tapi siapa?"
"Bibi, ada begitu banyak musuh yang dibentuk oleh Antonio dan Dante dari tahun ke tahun. Akan sulit menunjuk satu orang menjadi dalangnya." Tentu saja, Alessio benar. Ayahnya dan Dante bukanlah orang paling baik yang ada di muka bumi ini, termasuk juga peran Outfit di dalamnya.
"Alessio," Bibiana memanggil nama pria itu, melihat wajahnya yang tampak begitu tenang di bawah cahaya matahari yang menyilaukan.
"Hm?"
"Bila aku bilang aku tidak bisa menikahimu, apakah kau bersedia untuk mundur?" Bibiana memberanikan diri berbicara kepada Alessio, mematahkan hati pria itu sebelum hubungan mereka berkembang lebih jauh. Alessio mungkin menyukainya, tetapi lebih baik mematikan sejumput rasa suka itu sedari awal.
"Tidak," Alessio menggelengkan kepalanya. "Ask me again, later, but not now."
"Nanti?"
Alessio mengangguk. "Hm, nanti. Nikmati hari ini Bibiana, aku ke sini untuk memikatmu, bukan mendengarkanmu menolakku sebelum berjuang."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro