Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

X. Amato

Pria berambut hitam bermata biru itu tengah duduk di belakang meja kerjanya, sebuah puntung rokok yang masih menyala terselip di antara kedua bibirnya. Matanya menekuri dokumen yang berada di tangannya, Ferro Belucci, usia pria itu mungkin sudah menginjak kepala empat, tapi masih tidak bisa mengubah sifat kekanakannya dan mungkin sifat pendendamnya yang sudah terlanjur mendarah daging.

"Ferro," Dante memanggil pria itu, Ferro mengangkat kepalanya, sedari awal sudah menyadari kehadiran Dante, tetapi memilih untuk mengabaikan pria itu dan menunggu hingga Dante berbicara. "Kau ... " Dante berusaha menemukan kata atau kalimat yang pas untuk bajingan yang ada di depannya ini, tetapi tak ada satu pun yang bisa ia keluarkan selain serangkaian umpatan dan caci maki.

"Apa kau sudah puas?" Ferro mengangkat alisnya, ia meletakkan sekumpulan dokumen di atas meja lalu menarik napas panjang. "Aku tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk memanggilmu kembali, seharusnya sudah sedari awal aku menggunakan Bibiana untuk memanggilmu ke sini."

"Berpura-pura mati bukanlah keinginanku." Dante mendesis marah.

"Tetapi tetap mati adalah keputusanmu." Ferro melawan balik. Dante kembali terdiam tak berkutik tanpa kata. Dibanding pertikaian antar mulut seperti ini, dia lebih suka masuk ke dalam ring di Asphere dan meninju pria ini membabi buta.

"Oh, Ferro." Dante memperingatinya.

"An eye for an eye. Occhio per occhio."

"Dente per dente."  Dante melanjutkan. "Aku sungguh tak menyangka akan pulang setelah menerima undangan pernikahan Bibi."

"Bersyukurlah aku tidak memanggilmu setelah pernikahan Bibiana."

Lagi-lagi Dante mengatupkan bibirnya. "Kau tahu misiku belum selesai. Kenapa kau memanggilku kembali? Bahkan menggunakan nama Bibiana?"

"Kau akan tahu kenapa. Kau akan menyadari kenapa." Ferro bangkit berdiri. Ruang kerjanya ini sudah lama menjadi saksi bisu untuk para capo Outfit, dari pamannya, ayahnya, hingga dirinya sendiri, entah berapa banyak darah juga yang berceceran di ruangan ini. Dia hanya berharap salah satu kenalannya tidak akan mengucurkan darahnya juga di dalam ruangan ini. Ferro menyesap rokok yang berada di bibirnya. Matanya terpejam, ia melepaskan rokoknya lalu membuka kedua tangannya lebar. "Dante Amato, aku akan mempersilakanmu memukulku sekali. Well, you deserved it."

"Aku tahu kau akan menjadi bajingan yang adil." Dante tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dia menyambarnya dengan cepat. Kerah kemeja Ferro yang tadinya lurus licin berubah kusut di dalam genggaman tangan Dante. Dante meninju wajah pria itu sekali. Hentakan yang cukup keras hingga membuat Ferro terjatuh di atas lantai. Dante bangkit berdiri, terengah-engah. Emosi yang tadinya memuncak tersalurkan dalam satu buah tinjuan. Sudah dapat dipastikan akan ada lebam biru di wajah Ferro hingga beberapa hari ke depan.

Ferro terbatuk. "Ah, aku tidak menyangka kau akan semarah itu. Kukira kau sudah tidak ingin bergabung lagi di dalam Outfit, kau memiliki kesempatan itu, kau menyia-nyiakannya."

"Aku seorang Amato, Ferro." Dante bangkit berdiri, meski dia hanya seorang anak angkat, seorang tumbal yang dipersiapkan Antonio, dia tidak bisa menampik, dirinya masih seorang Amato.

"Berbicalah dengan Rocco," Ferro menyunggingkan senyuman tipis.

"Rocco?" Dante mengerutkan keningnya, apalagi hubungannya ini dengan Rocco Valenquez. Capo Las Vegas itu nyaris tidak pernah meninggalkan Vegas dan Lady Luck. Bukan hanya karena keberadaan Daniella dan Charles Gage, tetapi juga karena tidak ada hal yang bisa dia lakukan di Illinois.

"Dia menawarkan dirinya sendiri untuk menikahi Bibi."

"Brengsek." Dante tidak tahu ada berapa orang yang harus dia tinju hari ini, tetapi jelas pelaku utamanya sudah mendapatkan tinjuan darinya. "Satu tinjuan untukmu tidaklah cukup."

"Kau tahu alasannya kenapa, Rocco hanya berusaha melindungi Bibi, sesuatu yang tidak bisa dia lakukan kepada Dani." Ferro terkekeh melihat Dante yang semakin marah setiap detiknya. "Well, tapi kau tahu tidak mudah bukan menawarkan dirimu sendiri untuk menikahi seseorang yang tidak kau cintai? Seseorang yang hanya dilihat sebagai adik? Apa Rocco memiliki perasaan kepada Bibi?"

"Oh, diamlah bajingan." Dante tak tahu siapa orang pertama yang akan dia temui setelah ini, apakah Bibiana, atau bahkan menyusul Rocco hingga ke Las Vegas.

***

Bibiana menghela napas panjang, entah untuk yang keberapa kalinya hari itu, di depannya Stella turut menghela napas panjang.

"Dia kembali." Ujar Bibiana kembali. Stella mengangguk, tangannya mengaduk gelas es krim yang telah kosong sementara sedari tadi Bibiana meracau. "Aku tidak tahu harus lega atau kecewa karena dia masih hidup."

Stella menegakkan badannya. "Kenapa kau harus kecewa?"

"Selama ini dia hidup untukku, apa kau pikir aku tidak merasa bersalah karena itu?"

"Dan dia masih hidup, tidakkah harusnya kau bersyukur karena dia hidup?" Stella lagi-lagi menghela napas panjang, tak mengerti jalan pikiran gadis yang berada di depannya ini.

"Dan membuatnya kembali menjadi tumbal untuk keluargaku? Untukku?" Bibiana melebarkan matanya, menaikkan alisnya tinggi. "Ini tidak sama dengan dulu, Dante hanya ... anak angkat, dia bahkan bukan bagian dari keluarga Amato."

"Dia ada sebelum kamu ada, Bibi. Dia sama Amato-nya seperti dirimu, bahkan kalau bisa kukatakan, perannya di dalam cosa nostra jauh lebih penting darimu."

"Ah, itulah yang kutakutkan. Dia selalu berjudi dengan nyawanya." Bibiana mendesah keras. Ini tidak sama dengan dulu, mungkin dulu Dante akan mendapatkan sesuatu dengan bergabung di dalam keluarga Amato, entah itu rumah, keluarga, teman, atau bahkan dirinya, tetapi kini dengan pernikahannya dan Alessio berada di ujung mata juga kedatangan pria itu yang tiba-tiba, dia tidak tahu harus menempatkan dirinya di bagian mana. "Jangan lupakan Alessio."

"Harusnya aku yang mengingatkanmu." Stella menambahkan. "Bagaimana dengan Alessio?"

Bibi mengerutkan keningnya bingung. "Aku tak tahu,"

"Apa kau menyukainya?" Stella bertanya, sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban karena suka atau pun tidak Bibiana akan tetap melanjutkan pernikahannya. "Lupakan Dante, ini tentang kau dan Alessio. Apa kau bisa membayangkan seumur hidup bersamanya?"

Bibiana berdecak keras, dia sungguh tidak tahu. Alessio mungkin baik, jauh lebih baik daripada seluruh pria Outfit yang ia kenal. Pria itu tidak pernah terlihat mabuk atau mengucapkan kata-kata kasar di depannya, tetapi entah kenapa dia terlalu putih, terlalu licin, hingga cenderung tak tertebak. Bibiana tak tahu harus bersikap seperti apa kepada Alessio terutama setelah kejadian kemarin. Alessio bahkan tidak menunjukkan ekspresi terkejut ketika melihat Dante seolah pria itu sudah menunggu kebangkitan Dante dari kematiannya sejak lama.

"Apa kau percaya bahwa ayahku dan Ferro tahu bila Dante tidak mati?" Bibiana mengalihkan topik.

"Kau tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari capo, dan Bibi, jangan lupa ayahmu dulu adalah consigliere Ferro sebelum Dante." Bibiana mengangguk, apa yang Stella katakan ada benarnya juga hanya saja dia cenderung tak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan Ferro Belucci. Dia mungkin bisa marah kepada ayahnya karena menyembunyikan status kematian Dante yang sebenarnya, tapi kepada Ferro? Siapa yang bisa memarahi pria itu?

"Apa yang harus aku lakukan, Stella?" Bibiana meremas rambutnya yang berwarna kemerahan. "Dante kembali, ayahku sakit, bulan depan aku akan menikah." Ada terlalu banyak hal yang bisa ditanggung oleh wanita berusia dua puluh lima tahun seperti dirinya, menghadapi satu masalah saja sudah cukup, tetapi Bibiana harus menghadapi tiga hal sekaligus.

"Hadapi yang paling penting."

"Ayahku?" Bibiana menatap Stella penuh harap. Wanita itu mengangguk kepadanya.

"Bila itu yang paling penting, jadikan sisa usianya dengan kebahagiaan."

***

Bibiana tentu saja sudah mulai menyusun rencana untuk membuat ayahnya bahagia, tetapi dia tidak siap dengan perubahan tiba-tiba yang kini duduk di ruang keluarganya. Celana jeans dan jaket kulit hitam, Dante Amato menyatu dengan perabotan di rumahnya seolah dia adalah bagian rumah ini sejak lama.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Kali pertama mungkin Bibi akan berteriak kaget ketakutan seperti melihat hantu, well, pria itu memang hantu, sosok yang tiba-tiba bangkit kembali dari kuburnya. Namun, di kali kedua ini, mau tak mau Bibiana hanya bisa menerima keberadaan Dante yang tiba-tiba sudah masuk kembali ke kehidupannya.

"Bibi, kau baru pulang? Darimana saja kau?" Dante Amato mungkin lupa bahwa dia bukan lagi gadis remaja yang membutuhkan izinnya untuk kemana saja, Bibiana Amato sudah tumbuh menjadi wanita muda yang mandiri dan memiliki pola pikirnya sendiri. Tentu saja Bibiana bisa ke mana saja tanpa izin siapa pun, termasuk pria yang berada di depannya ini.

"Apa aku perlu izinmu untuk kemana saja?" Bibiana mengangkat alisnya. "Seharusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan di rumahku?"

"Apa kau menemui bocah itu? Siapa lagi namanya? Ah, Alessio?"

Bibiana mengerutkan keningnya. "Dia bukan bocah, Alessio tunanganku, Dante. Kau menyinggungku dengan memanggilnya seperti itu."

Dante mengangkat kepalanya, mata cokelatnya beradu dengan mata abu platina Bibiana yang serupa dengan Antonio. "Baiklah, pria itu. Apa kau menemuinya?"

"Aku bertemu dengan Alessio atau bukan, bukanlah urusanmu." Bibiana mendengkus kesal. 

"He smell." Dante menggerutu kesal, Bibiana mengabaikannya. Delapan tahun tak bertemu, pria itu masih tak berubah, dia masih kekanakan seperti sebelumnya.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku sedaritadi, Dante." Bibiana meletakkan tasnya di atas sofa lalu menatap Dante, kedua lengannya bersedekap. Jaket kulit yang pria itu kenakan masih sama seperti delapan tahun lalu, Bibiana bisa mengenalinya sebagai salah satu kado ulang tahun yang pernah dia berikan kepada pria itu. Dia tak tahu bahwa bahan kulitnya atau mungkin brand itu memang bisa bertahan selama itu tanpa rusak atau terkelupas.

"Aku pindah ke sini." Dante menyunggingkan senyum lebar, Bibiana menganga tidak percaya.

"A-apa? Bagaimana dengan rumahmu? K-kau tidak bisa pindah ke sini begitu saja." Bibiana menolak untuk percaya. Bertahun-tahun Dante tidak pernah bersedia tinggal di sini, entah apa yang terjadi selama delapan tahun pria itu pergi, kenapa dia tiba-tiba bersedia pindah ke kediaman keluarga Amato?

"Entah apa yang terjadi delapan tahun ini, tetapi rumahku hancur." Dante menatapnya lurus.

Bibiana mengerjapkan matanya, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi setelah 'pemakaman' Dante. Seorang pengacara yang juga ternyata merupakan anggota Outfit meminta berkumpul di ruang kerja Ferro bersama ayahnya. Beberapa aset dan saham yang Dante miliki semuanya diberikan kepada Bibiana, termasuk rumah di pinggir kota. Rumah yang jelas sangat sederhana, tidak sebanding dengan saham dan uang tunai yang pria itu miliki, rumahnya terletak di daerah suburban tanpa pagar pembatas, bahkan antar rumahnya pun tak ada pagar. Dahulu Dante selalu tinggal di sana, atau di hotel. Di mana saja, tetapi tidak kediaman Amato, dia tidak pernah bertahan lebih daripada semalam di kediaman Amato.

Bibiana terlalu tenggelam dalam kesedihannya, hingga aset, saham, dan uang tunai yang Dante miliki dikelola kembali oleh ayahnya hingga berkali-kali lipat jumlahnya dari delapan tahun lalu, sementara rumah dan mobil yang pria itu miliki dibiarkan terbengkalai.

"Kau bisa tinggal di hotel." Bibiana menolak. Ayahnya masih berada di rumah sakit saat ini dan dengan keberadaan Dante di rumahnya seperti saat ini berarti hanya ada mereka berdua di rumah saat ini.

"Aku menolak," Dante bangkit berdiri, kakinya melangkah hingga berada tepat di depan Bibiana. Dante tersenyum sekilas menyadari tinggi Bibiana yang bertambah hanya karena terbantu oleh sepatu hak yang wanita itu kenakan. "Antonio selalu bilang di sini juga rumahku dan aku juga punya kamarku di sini."

"Kau tahu situasinya berbeda antara dulu dan sekarang." Bibiana menolak untuk berjalan mundur dan menyerah.

"Bibi, aku menyerahkan semua asetku kepadamu, salah siapa saat ini aku tidak punya rumah?" Dante menatapnya dalam. Telunjuk pria itu lalu diletakkan di dada Bibiana, tepat di atas liontin kalung yang ia kenakan. "Salahmu."

Bibiana menampik telunjuk Dante yang berada di dadanya. Lebih lama lagi dan pria itu akan memainkan liontinnya. "Aku tidak tahu bahwa kau akan hidup kembali dan menuntut rumahmu. Bersyukurlah aku belum menjual rumah itu."

"Kau bisa menjualnya, Bibi. Aku sudah menyerahkan semuanya kepadamu." Dante tersenyum kepadanya. "Jadi kau tidak bisa mengusirku sekarang. Tidak, setelah aku memberikan semua harta benda bahkan nyawaku kepadamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro