III. Alessio
Entah berapa kali Dante menarik napas lalu mengembuskannya gusar. Matanya melihat ke arah Bibiana yang duduk di kursi kemudi, kedua tangan dengan jari jemari lentik gadis itu memegang erat roda kemudi. Matanya yang sebesar rusa berkilat dan balas menatapnya penuh harap.
"Bagaimana?" Bibiana bertanya dengan nada penuh harap sementara Dante lagi-lagi menghela napas panjang.
"Aku tidak akan mati karena peluru di dadaku, tetapi karena serangan jantung bila kau menyetir." ucap Dante dramatis. Untung saja mereka berada di tengah lapangan luas kali ini, bukan di jalan raya yang ramai.
"Yang benar saja," Bibiana mencebik kesal. Dia memohon kepada ayahnya untuk mengizinkannya menyetir dan lagi-lagi seperti khas Antonio Amato, pria itu menyerahkan keputusan tentang menyetir kepada Dante. "Ayahku bilang kau bisa mengajariku, tetapi segala hal yang kau katakan hanya merendahkanku."
"Bagian mana aku merendahkanmu, Bibi?" Dante bertanya serius, alisnya terangkat naik.
"Bagian kau akan mati karena aku menyetir dan berapa kali kau berteriak saat aku berusaha memindahkan persneling." Dante mengangkat alisnya semakin tinggi ketika mendengarkan penjelasan gadis enam belas tahun itu. Dia masih tidak mengerti bagian mana dia merendahkan gadis itu atau bahkan mengatakan hal kasar kepadanya. "Kenapa kita tidak menggunakan mobil matic saja?"
"Kau akan lebih pintar menyetir bila belajar dari tuas manual." Dante menjelaskan pelan. Dia tidak pernah mengajari seseorang sebelumnya, Bibiana selalu menjadi sosok yang pertama baginya, sebagaimana Dante juga selalu menjadi sosok yang pertama bagi gadis itu. "Turunlah, aku yang akan menyetir."
"Apa kau tidak akan mengajariku lagi?" Bibiana terlihat semakin kesal setiap detiknya, membuat Dante menyadari bila gadis itu terlalu dimanja, tidak hanya oleh Antonio, tetapi juga olehnya. Sebagian sifat gadis ini akibat pola asuhnya juga, dia tidak bisa menyalahkan semuanya kepada Antonio.
"Tidak." Dante menggeleng, berusaha bersikap tegas kepada gadis itu.
"Apa kau lebih memilih aku belajar dari salah satu penjaga atau kau sendiri yang akan mengajariku?"
"Apa?" Dante menatap mata platina gadis itu, dia mungkin perlu mengorek kupingnya, sejak kapan gadis kecil ini tahu cara bernegosiasi?
"Seperti yang kau dengar, aku akan tetap belajar." Bibiana bersedekap, mengangkat dagunya tinggi. "Entah kau tahu atau tidak, aku akan tetap belajar. Lagipula kau akan pergi lagi selama enam bulan. Tunggu saja, saat kau pulang, aku sudah bisa menyetir mobil."
"Apa kau tahu kau baru saja mengucapkan kata-kata yang berbahaya?" Dante mendengkus. Dia akan mematahkan kaki siapapun yang berani mengajari Bibiana menyetir.
Dante tahu siapa saja yang berada di sekitar Bibiana, dia bahkan hafal kebiasaan, keluarga, bahkan hingga tanggal ulang tahun para bodyguard yang menjaga Bibiana baik dari dekat bahkan dari jauh. Dia tidak ingin menjadi seorang tirani karena tingkah gadis kecil ini, tetapi dia yakin dia bahkan akan melakukan berbagai hal bila seseorang berani menyentuh sehelai saja rambut gadis itu. Meskipun dia mengenal para bodyguard Bibiana, dia tetap tidak segan melukai mereka.
"Kalau begitu ajari aku!" Bibiana merajuk kembali, kali ini kedua tangan gadis itu memegang tangan Dante, matanya yang besar terlihat memelas. "Ayolaaaah." Bibiana menggoyangkan tangan Dante.
"Baiklah." Dante menyerah, sebagaimana yang sebelum-sebelumnya, gadis itu selalu memenangkan argumentasi mereka yang tidak ada apa-apanya. Lebih seperti Bibiana merajuk dan Dante mengalah.
***
Sekelebat ingatannya tentang Dante kembali. Entah bagaimana setelah kepergian pria itu dia masih bisa mengingat setiap detail dan detik percakapan mereka. Dante seolah masih bercokol di sudut ingatannya dan mungkin juga hatinya.
"Dante bisa saja masih hidup." Perkataan Emilio tidak hanya membuka memorinya yang berusaha ia kubur dalam-dalam, tetapi juga kenangan manis dan segala hal tentang pria itu kembali menyeruak keluar. Membuatnya kembali berharap bila pria itu masih hidup seperti yang Emilio katakan.
Bibiana menarik napas dalam lalu tersenyum. "Kau bercanda."
"Aku tidak bercanda." Emilio bersikeras. "Periksalah flashdisk yang ada di tanganmu, kau akan tahu apa yang aku bicarakan ini bukan sekedar candaan. Tubuhnya hangus, tidak ada seseorang yang bisa mencocokkan DNAnya dengan Dante karena dia—"
"Dia sudah mati." Bibiana memotong perkataan Emilio. "Bila dia masih hidup dia tidak akan membiarkanku dalam kegelapan selama enam, ah tidak, tujuh tahun terakhir."
"You are in denial." Emilio menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Emilio. Kaulah yang berada dalam penyangkalan. Aku telah menerima kenyataan bahwa pria itu telah tiada dan kau tidak bisa mengubah jalan pikiranku."
"Atau keputusanmu?" Emilio mendengkus. "Kau memutuskan bahwa dia telah tiada karena dia menyakitimu. Dia meninggalkanmu selama tujuh tahun ini. Bagaimana bila dia benar-benar masih hidup, Bibi?"
"Lupakan saja, Emilio. Kau sedang mengada-ngada." Bibiana memencet tombol kunci mobilnya, suara pintu yang terbuka dan Bibiana yang berjalan meninggalkannya di tepi jalan membuat Emilio menyadari gadis itu benar-benar tidak lagi mau tahu apa yang terjadi pada Dante.
"Bila kau masih ingin tahu tentang pria itu, kau bisa memeriksa flashdisknya." Emilio mengingatkan.
Bibiana melambaikan tangannya, ia masuk ke dalam mobilnya lalu meninggalkannya seorang diri. Emilio mendesah keras, sebagian kertas-kertas berisi informasi Alessio berada di tangannya, dia menatap kertas itu lalu berdecak.
***
Italian suka pesta, mereka selalu saja menemukan alasan untuk mengadakan sebuah pesta, entah pesta ulang tahun, pernikahan, bisnis, bahkan hingga hal remeh seperti saat ini, pesta untuk merayakan pertemuan tahunan mereka.
Bibiana merasa asing di tempat seperti ini. Dia tidak cukup dewasa untuk bergabung bersama sepupu-sepupunya, tidak pula cukup muda untuk bersama keponakannya. Beberapa dari keponakannya yang masih berumur belasan asyik bergosip di sudut ruangan, beberapa lagi yang masih anak-anak bermain di taman, sebuah trampolin dengan istana berukuran besar yang berisi angin tersedia di sana.
Bibiana berjalan menuju deretan kudapan dan gelas-gelas sampanye yang ditumpuk tinggi hingga ke atas. Ia mengambil salah satu kudapan manis dan segelas sampanye lalu menyesapnya, berusaha menikmati pesta sementara menunggu Emilio datang.
Dari sudut matanya, Bibiana bisa melihat Antonio yang tengah berbincang dengan beberapa pria lain, salah satunya ada Ferro Belucci. Pria itu masih terlihat begitu mengintimidasi, bahkan dengan sebuah dasi kupu-kupu yang melekat di lehernya. Bibiana bahkan tidak mengerti bagaimana anak pria itu bisa begitu ceria dan bersemangat ketika bergabung bersama anak-anak yang lainnya, ketika ia memiliki ayah yang begitu mengintimidasi seperti Ferro.
Mata Bibiana mencari-cari, gelas demi gelas sampanye mulai bertumpuk di sebelahnya. Ia tidak hanya tengah mencari Emilio, tetapi dia juga tengah mencari Alessio, sosok pria yang akan dipasangkan dengannya. Pesta seperti ini adalah saat yang tepat untuk bertemu secara natural dan berkenalan. Dia yakin salah satu bibinya akan mengajaknya bertemu dan berkenalan dengan para pria yang ada di pesta.
"Sudah berapa gelas yang kau minum?" Emilio datang menghampirinya. "Kau minum alkohol seperti minum air. Hanya ada beberapa orang yang ku tahu bisa minum sebanyak itu tanpa mabuk."
"Siapa?" Bibiana menyesap kembali sampanyenya, memiliki sesuatu di tangannya membuatnya merasa lebih baik dan tidak sekosong atau pun secanggung tadi.
"Ferro." Kali ini Bibiana tersedak, dia tidak ingin disamakan dengan pria seperti Ferro. "Kudengar dia tidak minum kopi di pagi hari, tetapi minum gin dan vodka."
Bibiana meletakkan gelasnya, tidak lagi ingin menghabiskan alkoholnya. "Dari mana saja kau?"
"Kerja." Emilio melebarkan senyumannya. Tanpa Rocco atau dirinya, Bibiana merasa kosong dan sendirian di tempat ini. "Akui saja bila kau membutuhkanku." Emilio menyikut rusuknya. "Kau kesepian tanpaku, bukan?"
Bibiana memutar bola matanya kesal. "Berhenti bercanda."
Emilio tertawa terbahak. "Sejak kapan kau sekaku ini?" Pria itu meraih sepiring kue stroberi berlapis krim lalu memotongnya menjadi potongan-potongan kecil dan menyantapnya perlahan. "Jadi apa kau sudah menemukan Prince Charmingmu?"
"Alessio?" Bibiana menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku tidak melihatnya sama sekali."
"Apa kau sudah membaca filenya di flashdisk yang kuberikan?"
"Tidak." Bibiana menggeleng kembali.
"Oh Tuhan, Bibi." Emilio berucap dramatis. Ia meletakkan piring kuenya lalu memberikan satu jitakan di kepala Bibiana. "Aku tidak tahu apa kau naif atau tolol."
"Untuk apa aku membaca flashdisk yang kau berikan?" Bibiana mengusap kepalanya yang menerima jitakan. Salah satu pin rambutnya lepas, hingga rambutnya terlanjur berantakan, mau tak mau ia melepaskan seluruh pin rambutnya lalu merapikannya dengan tangan.
"Berhenti mengusap rambutmu di dekat makanan." Emilio mengernyit jijik. Ia menarik tangan gadis itu ke powder room yang kosong. Pria itu melongok ke dalam ruangan lalu mengangguk. "Tidak ada siapa-siapa."
"Menurutmu apa yang orang-orang pikirkan bila kita masuk ke dalam ruangan berduaan?" Bibiana bersedekap. "Tidak perlu masuk, cukup di sini saja."
"Aku keponakanmu!"
"Begitu juga Rocco atau Ferro. Mereka sepupuku, tetapi aku tidak pernah masuk ke dalam ruangan berduaan dengan mereka."
Mendengar nama Rocco dan Ferro keluar dari bibir mungil Bibiana, pria itu terpaksa mengatupkan mulutnya dan berdiri canggung di depan powder room. "Flashdisk itu tidak hanya berisi file milik Dante, tetapi juga Alessio."
Bibiana mengangguk. "Aku tahu."
"Lalu kenapa kau tidak membukanya?!"
"Untuk apa?" Bibiana mengulangi pertanyaan yang sama.
"Tentu saja untuk mengenal dirinya! Kau akan menikah dengannya! Tidakkah kau merasa perlu lebih berusaha untuk tahu dengan siapa kau akan menghabiskan sisa usiamu? Ada data-data seperti mantan kekasihnya, hobinya, pekerjaannya, hingga sosial medianya." Emilio menjelaskan panjang lebar. Ia merasa percuma saja telah mencari tahu begitu banyak tentang sosok bernama Alessio Rivierra ini ketika Bibiana bahkan tidak mau bersusah-susah membaca lebih lanjut apa-apa saja yang sudah ia kumpulkan.
"Apa ada yang perlu aku khawatirkan?"
"Tidak, tapi—"
"Kalau begitu tidak ada masalah."
"Bibi, bahkan orang-orang biasa di luar sana pun tahu kau harus mencari tahu siapa pasangan kencan Tindermu sebelum bertemu." Emilio berdecak kesal. Tidak ada habisnya ia memarahi bibinya ini. Mereka hanya terpaut beberapa tahun, dengan Emilio yang lebih muda tentu saja, tetapi seringkali ia merasa menjadi sosok yang lebih tua ketika bersama Bibiana.
"Oh ya?" Bibiana tampak mempertimbangkannya.
"Tentu saja! Mereka akan melakukan stalking." Emilio mengeluarkan ponselnya lalu memperlihatkan beberapa sosial media yang ia ikuti. "Ini namanya stalking. Kau mengikuti dan melihat siapa-siapa saja yang ia ikuti, ia lihat, ia sukai, dan bagaimana dia berinteraksi dengan kawan-kawannya." Emilio melirik ke arah Bibiana, gadis itu tampak serius. "Bukankah kau punya sosial media?"
Bibiana memiliki sosial media, tetapi dia lupa kapan terakhir kali membukanya. Hanya ada beberapa foto di dalamnya, foto terakhirnya bahkan sudah beberapa tahun yang lalu. Jumlah following dan followersnya bisa dihitung dengan jari. Dia bukan seseorang yang melek teknologi seperti Emilio. "Aku sudah lupa kapan terakhir kali membukanya."
"Buka sekarang." Emilio menyuruhnya. Bibiana berdecak kesal, tetapi tetap mengikuti perintah keponakannya itu. Dia menatap tidak mengerti ke arah layar ponselnya yang menampilkan tidak hanya berbagai iklan, tetapi juga beberapa orang yang ia ikuti.
"Lalu?"
"Ambil fotomu dan bagikan di story." Dia tidak mengerti kenapa Emilio begitu semangat mengajarinya dan menjadi fotografer dadakannya dengan memintanya memberi beberapa pose. "Bagus. Kita bagikan yang ini."
"Wow." Bibiana bergumam melihat hasil edit dan gambar yang Emilio ambil, dia terlihat cantik mengenakan gaun berdada rendah berwarna merah dengan pose yang sebenarnya cukup sederhana nan kaku. "Lalu apa berikutnya?"
"Kita tunggu." Emilio menyerahkan kembali ponselnya. "Kau harus membuka filenya, Bibi. Kau tidak mengenal seperti apa Alessio, begitu pula aku. Kita hanya tahu seperti apa dia berdasarkan catatan-catatan yang dia miliki. Tetapi itu lebih baik daripada tidak tahu apa-apa sama sekali ketika bertemu dengannya."
"Kau membuatku takut." Bibi tertawa getir. "Kelihatannya dia tidak datang malam ini. Aku akan membuka file yang kau berikan nanti."
"Baca baik-baik, oke?" Emilio meyakinkannya. "Aku akan mengambil minuman, apa kau mau menunggu di sini?"
"Aku akan di balkon. Udaranya semakin sesak karena asap rokok."
Emilio mengangguk, dia melihat ke arah balkon yang sepi. "Tunggu aku di sana kalau begitu."
Bibiana berjalan menuju balkon, tangannya tanpa sadar berusaha menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Harusnya ia meminta jas milik Emilio tadi. Ia mendesah keras, tetapi berusaha menenangkan dirinya tak lama kemudian. Tidak masalah, dia bisa meminta jas Emilio nanti.
Bibiana menarik tuas balkon seketika menyadari sudah ada seseorang yang berdiri di luar sana, tampak tengah meminum segelas cairan berwarna kecoklatan sembari menikmati rembulan.
"Maaf." Baru saja Bibiana hendak pamit dan mundur mencari balkon lainnya pria itu berbalik, tersenyum ke arahnya.
"Bibiana, bukan?"
Bibiana menelan salivanya. Sialan, harusnya dia membaca file yang Emilio berikan kepadanya. Pria itu, Alessio Rivierra, kini berada di hadapannya. Tubuhnya tinggi, tetapi tidak menjulang hingga membuatnya juling atau sakit leher. Satu hal ganjil yang tidak Bibiana temukan dari foto yang Emilio berikan, yaitu sebuah kacamata yang bertengger di atas hidungnya. "Alessio?" Bibiana balik bertanya.
"Ferro sudah memberitahumu?" Pria itu mengangkat alisnya, tersenyum. Sebuah pemantik ikan kod yang berada di tangannya menarik perhatian Bibiana. Dante punya pemantik yang sama, begitu juga Ferro, ayahnya, bahkan Emilio. Para pria ini punya pemantik ikan kod yang memperlihatkan status mereka sebagai anggota Outfit.
"Belum." Bibiana menggeleng, dia menjawab jujur. Konsekuensi Ferro marah jelas berada di atas segalanya, meskipun bisa saja pria yang ada di hadapannya ini juga marah karena ia memeriksa data dirinya sebelum berkenalan dengan resmi.
Alessio mengulurkan tangannya, Bibiana menatap tangan itu cukup lama. Tidak mengerti kenapa. "Perkenalan, namaku Alessio Rivierra." Pria itu menarik tangan kanan Bibiana lalu menggenggamnya. Hangat, telapak tangan pria itu terasa hangat, begitu juga dengan senyuman yang terbentuk di wajahnya.
"Bibiana. Amato." Bibiana mengucapkan nama belakangnya canggung.
Bibiana tersentak kaget ketika Alessio lagi-lagi menariknya mendekat hingga tubuh mereka hanya terpisah beberapa senti saja. Bulu kuduknya merinding ketika pria itu menghidu aroma tubuhnya. Lalu berbisik di telinganya. "You smell good."
"Kau terlalu dekat." Bibiana berjalan mundur, nyaris tersandung gaun dan kakinya sendiri hingga tas tangan dan ponselnya terlepas jatuh.
"Ah. Maafkan aku." Alessio membantunya menegakkan dirinya kembali, ia melepaskan tangan Bibiana lalu membantu memungut ponsel dan tas tangannya yang terjatuh. "Terlalu cepat?"
Bibiana mengangguk ragu, tidak percaya ada sosok langka di dalam Outfit yang akan bersikap segentleman ini. "Kuharap kau bisa lebih— " Bibiana berusaha menemukan kata yang tepat.
"Hati-hati dan tidak segera merangsek masuk ke dalam comfort zone mu?" Bibiana mengangguk cepat, pria itu tertawa. "Baiklah bila itu yang kau inginkan. Ngomong-ngomong, ini ponsel dan tas tanganmu." Pria itu menyerahkan ponsel dan tas tangannya kembali.
Bibiana memeriksa ponselnya, memastikan jatuhnya tadi tidak menyebabkan kerusakan permanen di ponselnya itu.
Sebuah notifikasi terbaru dari sosial medianya masuk. Bibi mengernyitkan keningnya, ia membuka sosial medianya, menemukan beberapa temannya menyukai dan mengomentari foto yang ia kirimkan. Ia tersenyum kecil hingga satu nama yang membuat senyumnya memudar dan Alessio bertanya kenapa.
Salah satu nama orang yang melihat unggahan sosial medianya, orang yang seharusnya telah lama tiada.
Viewers
Dante Amato
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro