Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bonus Chapter: Bambina

Bagian ini sebelumnya sudah pernah di upload di MINE, YOURS, OURS.

***

"Dante kemarilah." Dante mendongakkan kepalanya lalu menatap pria yang berada di hadapannya. Antonio Amato, consigliere Outfit itu memintanya untuk mendekat ke arah pria itu. Dante menggerakkan kakinya perlahan, wajahnya terlihat tenang nyaris tanpa emosi meski didalam hati ia bertanya-tanya.

Berbanding terbalik dengan orang lain yang justru tidak akan panik bila berada ditempat seperti ini, Dante lebih memilih berada di dalam ring di Asphere, menghabisi satu persatu orang yang menaruh harga tinggi untuk kepalanya daripada di tempat ini. Bukan karena ia tidak suka rumah sakit atau memiliki pengalaman buruk dengan ruangan yang di dominasi warna putih ini. Jauh dari itu, yang membuatnya bertanya-tanya dan membuat degup jantungnya semakin kencang setiap kali ia melangkahkan kakinya mendekati pria itu karena yang memanggilnya adalah Antonio Amato. Pria itu mengangkatnya setahun yang lalu, saat ia masih menjadi pemanas ring. Dia bisa mendapatkan seratus dollar setiap menitnya dan sepuluh ribu dollar bila ia bisa bertahan sepuluh menit diatas ring. Tidak ada yang menyangka dibalik kaos berwarna hitam yang membalut tubuh anak laki-laki lima belas tahun itu, ada banyak luka yang ia sembunyikan. Baik yang terlihat maupun tidak terlihat.

Langkah kakinya terhenti ketika ia nyaris selangkah lagi mendekati Antonio. "Tidak usah takut." Dante mengalihkan pandangan matanya, menatap wanita yang terbaring lemah diatas kasur. Senyum merekah di wajahnya, rambut merah terangnya terhampar berantakan di bantal yang disusun menumpuk untuk membantunya duduk.

"Lihatlah, Dante." Dante melebarkan matanya melihat Antonio tersenyum lebar kearahnya. Seorang bayi mungil berada di gendongannya, tertutupi oleh bundelan selimut yang menyembunyikan nyaris seluruh badannya yang mungil.

"Kau ingin menggendongnya?" Leila, nama wanita itu, memberikan senyuman kepada Dante. "Kau harus melihat anggota terbaru keluarga kita." Hati Dante berdegup kencang. Ia tidak pernah punya keluarga sebelumnya, ia hidup berpindah-pindah dari satu rumah singgah ke rumah singgah lainnya hingga berakhir bersama para tunawisma di bekas gudang penyimpanan. Ia hidup terseok-seok selama delapan bulan sebelum menjadi pemanas ring di Asphere. Tidak akan ada yang menyangka bocah kecil itu mampu bertahan lebih dari sepuluh menit diatas ring. Antonio yang menyadari kemampuannya, mengangkatnya sebagai anak karena pria itu tidak memiliki anak sebelum bayi mungil itu.

"Siapa namanya?" Dante berbisik lirih penuh rasa ingin tau. Jiwanya yang terasa kosong pelan-pelan terisi kembali.

"Bibiana." Antonio mengulurkan bayi kecil itu kepada Dante. Bayi yang ditunggu-tunggu selama belasan tahun olehnya diserahkan begitu saja kepada Dante, seolah-olah ia tau kalau Dante akan selalu bisa melindungi bayi kecil itu.

"Aku... Aku tidak bisa." Dante bergumam lirih. Ia tidak pernah menggendong bayi sebelumnya, bagaimana kalau ia menjatuhkannya? Bagaimana kalau ia tanpa sengaja mematahkan lengan rapuh bayi itu? Sangat mudah baginya untuk menyakiti orang lain, ia tidak pernah diajarkan untuk melindungi orang lain.

Leila dan Antonio Amato tertawa mendengar kalimat penuh keragu-raguan yang keluar dari bibir Dante. "Cobalah." Dante menerima bayi itu ditangannya, dengan hati-hati menggendongnya. "Pelan-pelan. Usahakan agar ia tidak terbangun." Antonio melepaskan Bibiana ditangan Dante lalu menatap keduanya.

Dante menatap bayi kecil yang berada di gendongannya dengan takjub. Mungil, kecil, dan rapuh. Ia tidak pernah menyentuh sesuatu yang lebih berharga dari bayi ini. Bibiana memiliki rambut merah seperti ibunya, matanya yang tertutup rapat tidak membiarkannya bisa melihat warna mata bayi kecil itu. Apakah ia memiliki mata hijau seperti Leila atau platinum seperti Antonio. "Dia bangun." Dante menahan nafasnya ketika menyadari bayi itu mengerjapkan matanya perlahan lalu membukanya. Platinum seperti Antonio. "Bagaimana kalau dia menangis?"

Antonio tertawa kecil. "Tak apa. Lihatlah, dia sudah kembali tertidur kembali." Bibiana menutup matanya dan menguap lebar-lebar sebelum kembali jatuh tertidur.

"Bambina." Dante berbisik lirih.

"Dia hartaku yang paling berharga," Dante melihat Antonio yang tidak berhenti menatap putrinya yang berada di gendongan Dante. "Jaga dia baik-baik?"

***

Dante menghembuskan nafas keras. Entah apa yang dia lakukan disini saat ada hal lain yang mungkin lebih menarik untuk ia lakukan daripada mendatangi acara ulang tahun seorang anak kecil. Fuck. Dante mengumpat keras didalam hati. Seandainya saja bukan karena Antonio sendiri yang mengundangnya datang kemari, ia tidak akan datang. Kepergian Leila lima tahun lalu meninggalkan banyak luka untuk orang-orang yang berada disekitarnya. Antonio memilih mundur dari posisinya sebagai consigliere dan meminta Dante menggantikannya. Tidak lama kemudian posisi capo de capi juga berubah yang menyebabkan beberapa peraturan di Outfit juga berubah secara signifikan. Dante tidak pernah mempermasalahkan Ferro Belucci menjadi seorang capo, tapi ditengah perang dingin Outfit dan Bratva seperti saat ini ia lebih memilih untuk diam. Posisinya sebagai consigliere juga dipertanyakan oleh keluarga yang lain. Bukan hanya karena usianya yang masih terlalu muda, tetapi juga karena dia bukan penerus keluarga Amato yang sesungguhnya. Ia hanya anak pungut yang diangkat Antonio.

Dante menatap kesal sebuah balon berwarna pink bertuliskan angka sepuluh tahun yang daritadi menganggunya. Warna pink itu menganggunya. Dia benci warna pink. Dante menarik nafas dalam-dalam, mengambil pisau lipat yang terselip di saku celananya lalu meletuskan balon itu. Sekarang ia bisa tersenyum senang.

"Apa yang kau lakukan?" Antonio menatap Dante. Wajahnya nampak lelah, entah karena apa. "Kau meletuskan balonnya? Demi Tuhan."

"Bukankah acara ulang tahun anak-anak seharusnya lebih ramai daripada ini, Antonio?" Dante tidak mendengar suara teriakan atau celotehan anak-anak dari setiap sudut mansion Antonio.

"Kau benar," Antonio menarik nafas lelah lalu berjalan menuju taman diikuti oleh Dante.

Dante melihat taman yang sudah disulap menjadi tempat pesta bertema kerajaan dengan hiasan warna pink dan aneka balon juga makanan terlihat kosong. Tak ada seorang pun anak-anak yang datang ke ulang tahun Bibiana. Sementara gadis kecil itu sendiri duduk di kursi kerajaannya, terlihat murung dan sedih. "Dimana tamunya?"

"Mereka tidak akan datang." Antonio menjawab singkat. Keterlibatan Antonio di Outfit mungkin sudah menjadi rahasia umum yang nyaris diketahui setiap orang bahkan polisi. Ketiadaan barang bukti menjadi satu-satunya alasan kenapa pria itu belum masuk penjara hingga saat ini. Tentu saja orang-orang menghindari pria itu sebisa mungkin. Bahkan Bibiana yang masih berumur sepuluh tahun saja sudah menjadi korbannya. Tidak ada seorang pun yang ingin berteman dengan anak seorang pembunuh.

"Fuck."

"Fuck indeed." Antonio mengangguk kaku. "Jangan ucapkan itu lagi di depan putriku."

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Dante menatap Bibiana yang tidak bergerak dari kursinya, dia terlihat kesepian. Seperti dia dulu.

"Aku tidak tau." Antonio tidak tau bagaimana cara menjaga anak kecil. Kehilangan Leila membuatnya seperti kehilangan separuh jiwanya sendiri, ia seringkali merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Bibiana.

Dante berjalan mendekati Bibiana lalu menatap gadis kecil itu. Tubuhnya yang jangkung jauh lebih tinggi daripada Bibiana yang sedang duduk. "Berdiri,"

Bibiana menatap Dante dengan kesal. "Aku tidak mau."

"Ini ulang tahunmu. Kau harus merayakan pestanya."Dante sedang enggan berurusan dengan rengekan gadis kecil di pagi hari. Ia hanya bisa menghitung didalam hati lalu berusaha keras untuk tidak terlihat seperti malaikat pencabut nyawa di pagi hari. Tidak di hadapan Bibiana.

"Pesta apa?" Bibiana merajuk kesal. Rambut merahnya yang dijalin rapi membentuk sebuah kepangan kini nampak berantakan, bercak-bercak matahari menghiasi wajahnya yang polos. "Tidak ada yang datang. Tidak ada yang mau berteman denganku."

"Pestanya bukan disini, bambina." Dante berusaha keras untuk tidak menggumamkan kata-kata kasar.

"Bukan disini?" Mata platinum Bibiana menatap Dante penasaran.

"Ya, mereka menunggumu di tempat lain. Ayo." Dante mengulurkan tangannya, menunggu hingga Bibiana meraih tangannya dan menggenggamnya erat.

"Kau ingin membawanya kemana?" Antonio bertanya kepada Dante yang menggandeng tangan Bibiana.

"Ke pestanya." Dante menjawab singkat. "Oh ya, suruh orang-orangmu membawa seluruh atribut pestanya."

"Dante," Antonio menahan lengan Dante. Bibiana menatap keduanya penasaran.

"Aku hanya akan membawanya ke rumah lamaku, kau tidak perlu khawatir." Antonio melepaskan pegangannya di tangan Dante lalu menggangguk pelan. Dante akan membawa Bibiana ke rumah singgah tempatnya dulu, tidak ada orang lain yang bisa menjaga Bibiana lebih dari apa yang Dante telah lakukan untuk gadis kecil itu. Antonio rela melakukan apapun untuk membuat gadis kecilnya tersenyum, untuk saat ini hanya Dante lah yang bisa membuatnya tersenyum.

***

"Kau bisa menjaganya bukan?" Antonio menghubunginya lewat telfon. Dante hanya bisa menggumamkan serangkain kata-kata kasar penuh makian yang hanya dibalas tawa kecil dari pria itu.

"Aku bukan bodyguard putrimu!" Dante meneriakkan serangkaian makian lagi bahkan ketika Antonio sudah memutus sambungan telfonnya.

"Apa yang papa katakan?" Bibiana menatap Dante penuh harap. Semua temannya datang ke pesta promnight malam ini dan dia juga harus datang. Teman kencannya sudah menunggu disana. Bibiana berusaha mati-matian agar tidak ada seorang pun yang tau kalau ia anak Antonio Amato, salah satu anggota Outfit. Sudah cukup acara ulang tahunnya delapan tahun lalu menjadi penanda kalau ia tidak akan memiliki teman bila mereka tau ia seorang Bibiana Amato.

"Dengar bambina." Dante memijit keningnya kesal. Sudah cukup rasanya kepalanya dipusingkan dengan capo de capinya, ia tidak ingin ditambah dengan hal lain lagi. Tidak ada yang lebih ia inginkan dari segelas vodka dan mungkin seorang wanita di atas ranjangnya. Ia tidak ingin menjadi bodyguard seorang gadis manja delapan belas tahun yang sedang ingin pergi ke pesta promnight. "Ayahmu bilang ini terserah kepadaku. Jadi menurutku lebih baik kau kembali ke kamarmu dan tidur."

"Papa bilang aku boleh pergi asalkan kau ikut denganku!" ucap Bibiana kesal. "Please, please... Dante. Please." Bibiana mencoba cara rajukannya yang biasanya paling berhasil. Dante biasanya tidak pernah bisa menolaknya bila ia mengeluarkan tatapan puppy eyesnya. "Aku sudah memakai gaun dan make up ku, teman-temanku juga sudah menunggu disana. Aku tidak mungkin kembali ke kamar, Dante." Bibiana mencoba lagi ketika Dante menggelengkan kepalanya.

"Bambina," Dante menatap Bibiana lalu menarik nafasnya. Dia nyaris lupa kalau Bibiana bukan lagi gadis remaja cengeng yang sering sekali merajuk kepada ayahnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Gadis itu masih sering merajuk, hanya saja... Dia bukan lagi gadis remaja yang ia ingat dulu. Gaunnya terlalu rendah, memamerkan belahan dadanya. Fuck. Dante tidak tau sejak kapan payudara Bibiana tumbuh sebesar itu.

"Dante, please?"

"Baiklah." Bibiana nyaris saja menjerit kegirangan bila saja Dante tidak melanjutkan perkataannya. "Ganti gaunmu lalu aku akan mengantarmu."

"Apa?!" Bibiana berteriak kesal. "Aku mencari gaun ini selama berminggu-minggu sebelum prom. Aku tidak mungkin menggantinya."

"Kau harus menggantinya atau kau tidak akan pergi sama sekali." Dante tidak bisa membayangkan tatapan lapar para pria yang akan menatap Bibiana nantinya. Antonio bilang ini terserah kepadanya, jadi terserah kepada Dante apakah ia akan membiarkan Bibiana pergi dengan gaun berbelahan dada serendah itu atau pergi dengan gaun yang mungkin lebih konservatif. Bibiana mengerucutkan bibirnya kesal lalu kembali masuk ke dalam kamarnya. "Pastikan kalau gaunmu kali ini menutupi setiap inci kulitmu, Bibi!"

***

Merda. Dante nyaris saja menembakkan pistolnya ke kepala bocah itu bila saja ia tidak sedang berada di tengah keramaian sekarang. "Pulang sekarang Bibi!" Dante menarik lengan Bibiana tanpa memperdulikan teriakan kesakitan gadis itu.

"Bajingan. Apa yang kau lakukan? Kenapa kau memukulinya seperti itu?!" Seandainya saja Bibiana tau bagaimana Dante nyaris membunuh bocah itu karena menyentuh apa yang menjadi miliknya.

"Kau harusnya bisa menjaga dirimu! Kau menyuruhku menunggumu diluar dan aku melakukannya karena aku percaya kau bisa menjaga dirimu sendiri! Apa yang kau lakukan ketika kau berusaha mengendap-endap keluar dari gedung, hah?!" Dante berusaha menenangkan emosinya. Ia tengah menyetir sekarang, dan tidak adalah yang lebih buruk daripada terlibat kecelakaan hanya karena ia tidak bisa mengontrol emosinya. Seandainya saja Bibiana tau kalau ia adalah tunangan Dante mungkin gadis itu tidak akan bertindak gegabah dan sembrono. Tapi Bibiana tidak tau apa-apa, dia mungkin tau Outfit juga hal-hal yang terjadi didalamnya, tetapi bukan berarti ia tau semuanya.

"Aku bukan anak kecil lagi! Kau tidak bisa melarangku Dante." Bibiana menyedepkan tangannya didada lalu menatap Dante yang tengah menyetir dengan kesal. "Apa yang kau lakukan?!" Bibiana berteriak kesal ketika Dante menghentikan mobilnya secara tiba-tiba. Ia nyaris saja terpental kalau bukan karena seatbelt yang ia kenakan.

"Non sei più una bambina. [Kau bukan gadis kecil lagi]." Dante menghentikan mobilnya lalu membalas tatapan Bibiana. Rambut merahnya dan kulit pucatnya terlihat semakin kontras karena lipstik merah yang dikenakan gadis itu.

Bibiana menyadari tatapan Dante, dari matanya hingga ke dadanya. "Mataku disini." Bibiana menunjuk ke arah matanya.

"Aku tau. Aku tau kau bukan anak kecil lagi." Dante menatap payudara Bibiana yang kini tertutupi gaun hitam yang dikenakan gadis itu.

"Sialan. Dasar pria tua!"

"Usiaku masih tiga puluh tiga tahun!" Ucap Dante kesal. Tidak pernah ada seorang pun yang memanggilnya tua sebelum ini. "Apa yang kau lakukan dengan bocah itu tadi?"

Pipi Bibiana memerah, bukan hanya karena marah tetapi juga malu. Dia kira ia bisa lepas dari pengawasan Dante bila ia mengendap-endap keluar dari gedung. "Aku.. Aku..."

"Apa yang kau ingin lakukan, bambina?" Dante menyipitkan matanya curiga. Ia mengenal Bibiana sejak gadis itu bayi hingga berusia delapan belas tahun sekarang. Ia mengenal Bibi seperti mengenal telapak tangannya sendiri, seperti mengingat setiap goresan luka yang menghiasi badannya. Bibiana tidak akan pernah bisa berbohong kepadanya. "Sialan, apa yang kau lakukan bersamanya?!" Dante berusaha menahan emosinya terutama karena Bibiana tidak menjawab pertanyaannya dan menghindari tatapan matanya.

"Aku.. Aku.. Aku memintanya menciumku."

"Apa?!" Dante nyaris tidak bisa mempercayai pendengarannya sendiri. Dia akan membunuh bocah itu nanti, benar-benar membunuhnya. Mungkin ia akan menyuruh bocah itu meminum sebotol cairan pembersih untuk membersihkan mulutnya.

"Aku tidak pernah berciuman sebelumnya.. Jadi.. Aku.." Bibiana menatap Dante yang terlihat marah dan buru-buru menambahkan. "Tapi kau keburu datang dan kami tidak sempat melakukan apapun!"

"Sungguh?!" Mungkin bocah itu akan kehilangan beberapa organ tubuhnya.

"Ya! Ya! Ku mohon jangan beritahu papa dia akan membunuhnya." Terlambat. Dante akan membunuh bocah itu duluan. "Dante?"

Dante menatap Bibiana, tidak percaya bayi kecil yang ia lihat delapan belas tahun lalu itu sudah tumbuh sebesar ini. Ia dulu biasa menepuk kepala Bibiana, namun gadis itu sudah lebih tinggi dan tidak ingin di tepuk lagi. "Dante?" Bibiana kembali memanggil namanya. "Jangan beritahu papa dan aku akan melakukan apapun."

"Apapun?" Dante tergoda dengan tawaran yang diberikan gadis itu.

"Apapun!" ucap Bibiana cepat.

"Bagaimana kalau aku meminta... dirimu?"

"Apa?" Bibiana tidak sempat memproses perkataan Dante karena pria itu mencium bibirnya. Awalnya lembut, seperti ciuman yang selalu ia impikan namun perlahan-lahan lebih menuntut dan kasar. Dante menahan tengkuk kepala Bibiana dan memperdalam ciumannya, menautkan lidahnya dengan lidah gadis itu dan berusaha mengajaknya membalas ciumannya. Ini ciuman pertama Bibiana dan ia tidak tau apa yang tengah ia lakukan. Dante, pria itu jauh lebih dewasa dan berpengalaman, memindahkan ciumannya dari bibir gadis itu ke rahang Bibiana kemudian telinganya. Dante menghirup aroma mawar di leher gadis itu, Antonio mungkin akan membunuhnya nanti bila ia tau apa yang tengah ia lakukan bersama putrinya.

***

"Tua figlia non è più una bambina. [Putrimu bukan gadis kecil lagi]." Dante menatap Antonio yang tengah menuangkan segelas vodka untuknya.

"Aku tau." Antonio mengambil gelas vodkanya lalu menyesapnya pelan. "Apa dia melakukan sesuatu?" Dante berusaha keras untuk meminimalisir segala ekspresi yang ada di wajahnya. Antonio tidak perlu tau kalau ia lah yang melakukan sesuatu kepada putrinya.

"Beberapa kenalakan remaja yang masih bisa ku toleransi." Dante mengangkat bahunya acuh tak acuh.

"Seperti berciuman?" Dante tersedak vodka yang tengah ia minum. Tenggorokannya terasa seperti terbakar akibat minuman alkohol itu. "Kau kira aku tidak meminta orang lain untuk menjaga putriku, Dante?"

Sial. Tentu saja akan ada bodyguard lain yang menjaga Bibiana dari kejauhan. "Usianya sudah delapan belas tahun."

"Dia putriku."

"Aku akan memberitahu pertunanganku dan dia sebentar lagi."

"Dia putriku!" ucap Antonio kesal. "Aku bisa saja membunuhmu bila kau memaksanya seperti tadi!"

"Aku tidak memaksanya, dia tidak terlihat keberatan." Dante mengangkat bahunya lalu tersenyum kecil. Ia tidak pernah melihat Antonio kehilangan kesabarannya seperti ini.

"Fuck you, Dante."

"Fuck indeed." Ah, ada beberapa hal yang ia ingin ajarkan kepada Bibiana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro