KEMATIAN ALESHA
Siang itu, di sebuah ruangan tertutup. Tampak seorang lelaki tua yang duduk di sebuah kursi direktur di balik sebuah meja. Dia tampak termangu dengan meletakkan dagu di kedua tangan. Sepertinya sedang menunggu kehadiran seseorang.
Seorang wanita cantik dengan pakaian blazer rapi masuk. Dia membawa beberapa berkas dalam sebuah map.
"Letnan Tony Ferdiand belum datang?" tanya lelaki tua itu.
"Belum, Komandan."
"Coba kamu telpon lagi."
"Siap, Komandan."
Belum sampai wanita cantik itu ke luar. Seorang lelaki tampan, berwajah oriental masuk. Posturnya tinggi tegap dengan kulit kuning kecoklatan. Rambutnya dibiarkan tak rapi, dengan sedikit jambang menghiasi wajah kerasnya.
"Siang Komandan!"
"Silahkan duduk, Letnan!"
"Diana, tolong semua berkas yang berkaitan dengan Keyno Brian dan kematian Lolita Ghaiya kamu siapkan."
"Semua sudah saya letakkan di meja, Komandan."
"Baik, terimakasih Diana."
Tony Ferdiand mengulas senyum pada wanita cantik itu, yang seolah menggodanya.
"Kau bisa mulai menyelidiki dari mantan tunangan Keyno Brian, Kinara Ayu Amella. Dia orang terakhir yang menemui mereka berdua. Aku rasa kematian wanita itu, bukan karena bunuh diri. Bukti lain yang bersumber dari gadis itu, bahwa antara Lolita dan Keyno masih menjalin hubungan asmara."
Sesaat, pandangan Tony lekat menatap foto Kinara.
"Waktu kita hanya satu bulan Letnan!"
"Siap, laksanakan Komandan."
***
Rumah besar berlantai dua itu, terlihat lebih semarak dengan kehadiran Kirana.
"Wow, rambut pendek kamu ke mana?" tanya Nenek terperangah melihat penampilan Kirana yang kini bagai pinang di belah dua.
"Kin, yang suruh dia menyambung rambut Nek. Lebih cantik seperti itu 'kan?" sahut Kinara.
"Nenek masih bisa membedakan kami berdua?" tanya Kirana.
"Masih dong! Dari gesture tubuh kalian dan suara Kirana yang sedikit lebih lembut walau karakternya lebih tomboy. Benar 'kan?"
"Wah, Nenek hebat," ujar Kirana salut.
"Kirana, hari ini kita akan ke kantor pengacara. Aku sudah janjian dengan pengacara Sinaga."
"Oke, Kin. Kita tak perlu berpakaian sama 'kan?" tanya Kirana menggoda Kinara.
"Suatu saat boleh kita coba. Berat badan kamu harus sama dengan aku, Kirana. Kamu masih terlihat lebih kurus."
"Setelah hidup nyaman di sini, pasti aku lebih cepat menaikkan berat badanku," ujarnya tersenyum lebar.
***
Kali ini, mereka berdua sudah berada di kantor konsultan hukum Sinaga. Mereka sedang menunggu pengacara bertubuh tambun itu. Kinara berkali-kali melihat arlojinya. Seolah dia sudah tak sabar.
"Tak biasanya dia telat seperti ini."
Braaak!
Pintu ruangan itu terbuka lebar dengan keras. Tampak seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, tergopoh-gopoh. Dia langsung duduk berhadapan dengan kedua gadis kembar itu. Seketika raut wajahnya terperanjat.
"Kalian?" tunjuknya dengan keheranan.
Mereka berdua tersenyum. Pengacara Sinaga semakin terlihat bingung.
"Coba tebak mana Kinara?"
"Kamu!"
Mereka berdua tergelak.
"Dia, Kirana Ayu Nindya."
"Haaah! Apa-apaan ini?" tanya Sinaga masih terkejut.
"Perkenalkan, dia bernama Kirana Ayu Nindya. Saudara kembarku."
Pengacara masih keheranan. Dahinya mengernyit. Dengan cepat gerakan tangannya menyambar segelas air mineral, dan meneguknya tak bersisa.
"Kinara, bisa aku bicara dengan kamu sebentar?"
"Ada apa?" tanya Kinara heran.
"Maaf Kirana, saya ingin bicara berdua dengan Kinara dulu," sahutnya dengan menarik pergelangan tangan gadis itu, menuju sebuah ruangan yang berbeda.
"Serius dia saudara kembar kamu?"
"Bapak tidak melihat kita berdua? Kembar identik. Lihatlah!" tunjuk Kinara dari balik jendela berkaca gelap seraya melihat ke arah Kirana.
"Iya, aku lihat. Tapi Ibu Marcella tidak pernah membicarakan tentang saudara kembar kamu!"
"Tapi ... Nenek tahu tentang ini, Pak."
Lelaki itu terdiam sesaat. Dia seolah sedang berpikir keras.
"Besok ajak Nenek kamu ke mari. Aku ingin bicara leluasa dengan beliau, jadi Kirana tak usah kau ajak!"
Kinara merasakan jika pengacara Sinaga seperti tidak mempercayai Kirana.
"Bapak perhatikan dia, di dunia ini banyak orang yang mirip tapi tidak sama persis!"
Kemudian, Kinara ke luar dari ruangan itu. Dia duduk di sebelah Kirana yang keheranan menatapnya.
"Apa ada hal yang serius, Kin?"
"Enggak ada apa-apa. Tenang saja!" sahut kinara.
"Apa pengacara itu tak mempercayai aku?"
Seketika itu, Kinara berputar menghadap ke arah Kirana. Dia menatap dengan sorot tajam.
"Aku yakin kau saudara kembarku!"
Kirana tersenyum lebar mengetahui hal itu. Tak lama kemudian, pengacara Sinaga pun bergabung dengan mereka. Dia mengeluarkan beberapa berkas tebal. Dalam salah satu berkas ada wasiat dari ibu kandung mereka, Marcella.
"Dalam salah satu wasiat ini, dan sudah pernah saya bacakan menyebutkan bahwa seluruh kekayaan ibu Marcella jatuh ke tangan Kinara Ayu Amella. Di dalam berkas ini, tidak disebutkan jika Kinara memiliki saudara kembar. Sehingga kamu hanya bisa memberi uang bulanan pada Kirana, Bukan membagi warisan. Kecuali, Kirana bisa membuktikan bahwa benar dia adalah saudara kandung Kinara!" tegas pengacara Sinaga.
"Kirana, aku tidak berminat dengan uang. Bertemu dangan kamu aku sudah senang."
"Nah, dia bisa terima itu Kin."
Kinara langsung melotot ke arah lelaki itu.
"Saya minta Bapak atur setiap bulan pencairan dana untuk Kirana dari laba usaha sebesar lima persen."
"Haaah! Apa tidak terlalu besar Kin?"
"Pak, itu uang saya!"
"Baik Kin! Aku akan atur semua."
"Terimakasih, Pak."
Dua gadis cantik itu pun pergi meninggalkan kantor itu. Mereka bergandengan erat.
"Kamu tidak akan hidup susah lagi seperti di panti, Kirana."
Kirana langsung memeluk saudaranya.
"Terimakasih, Kin. Kamu sangat baik padaku."
"Kamu tunggu di mobil sebentar ya!" ucap Kinara.
Gadis itu berbalik arah menuju kantor Sinaga.
"Pak, saya ingin menanyakan soal Brian. Bagaimana dia?"
"Aku sudah suruh anak buahku mendampinginya. Dia harus wajib lapor. Sepertinya pihak kepolisian mempunyai suatu bukti, bahwa gadis itu mati dibunuh!"
"Haaah! Dibunuh?"
"Iya, dan orang terakhir yang menemui mereka adalah dirimu."
Deg!
"Tapi, tenang! Kamu masih berstatus sebagai saksi dalam kasus ini."
Kinara menjadi sedikit gelisah. Dia ke luar dari ruangan itu dengan perasaan yang mulai tak tenang. Gadis itu seperti mencoba mengingat kembali kejadian satu minggu yang lalu, saat menemui Brian di apartementnya.
Kirana melihat perubahan di wajah saudaranya.
"Ada apa? Kamu sepertinya tegang."
Kinara hanya menggeleng. Tak lama mereka mengendarai mobil, sekitar sepuluh menit. Sebuah panggilan masuk ke ponsel Kinara.
Derrrt derrrt derrrt!
"Hallo!"
{ Kenal dengan Alesha? }
"Enggak, Pak! Kenapa?"
{ Bukannya dia mantan kekasih Brian? }
"Haaah! Kenapa aku tak pernah tau?"
{ Dia ditemukan tewas terjun dari sebuah gedung }
"Pak Sinaga mendapat informasi dari siapa?"
{ Pengacara yang menangani kasus Brian }
"Bagaimana dengan Brian?"
{ Dia sekarang di kantor polisi, untuk dimintai keterangan }
"Huuufh!"
Kirana hanya menatap Kinara dengan raut wajah cemas. Hingga dia tak berani menanyakan apa yang sedang terjadi.
***
Sesampai di rumah, Kinara langsung berjalan menuju kamar nenek. Dia ingin membicarakan perihal permintaan pengacara Sinaga tentang kehadirannya di kantor itu.
"Nenek tak mempunyai bukti otentik mengenia hal itu, Kin. Hanya saja mama kamu pernah bercerita, kalau kamu mempunyai saudara kembar yang di bawa pergi oleh papa kamu."
Kinara langsung terdiam cukup lama. Dia berdiri mematung. Dari lantai atas Kirana menyaksikan mereka cukup lama. Seolah ingin tahu, mereka sedang membicarakan tentang apa?
Ting tung!
Bel rumah berbunyi. Buru-buru Bik Minah berjalan ke ruang depan. Tak lama kemudian, wanita itu berjalan mendekat kea rah Kinara.
"Ada tamu, Non!"
"Siapa, Bik?"
"Seorang lelaki, belum pernah datang ke sini sepertinya. Tony Ferdiand Non."
Kinara melangkah ragu. Dia berjalan pelan dan mengintip dari jendela ruang tengah. Sejenak gadis itu, mengamatinya cukup lama. Terlihat dia masih berdiri dengan mengamati seluruh ruang tamu.
"Tony Ferdiand, siapa dia?" tanya Kinara lirih.
Dia pun muncul dari balik pembatas ruangan. Tony Ferdiand sedikit terperanjat melihat sosok Kinara. Dia tak menyangka, jika gadis itu jauh lebih cantik dari pada fotonya.
"Anda Kinara Ayu Amella?"
"Iya, dan siapa anda?" tanya KInara serius.
"Boleh saya duduk?"
"Silahkan!"
"Saya detektif yang menyelidiki kasus kematian beberapa gadis Keyno Brian, Lolita Ghaiya dan Alesha. Tolong ceritakan pada saya secara detil, apa yang anda lakukan pada malam itu?"
Dengan raut wajah kesal, Kinara mengulangi lagi kronologi malam itu. Ada sekitar tiga puluh menit mereka berbicara serius.
"Kali ini yang saya takutkan adalah, diri anda target berikutnya!" ucap detektif itu.
"Kenapa saya?" tanya Kinara seolah tak percaya.
"Anda tahu, berapa jumlah mantan kekasih calon tunangan anda?" tanya detektif itu seolah sedang mengejeknya.
Gadis itu hanya menggeleng. Ada terbersit kecemasan yang terpancar dalam aura wajah cantiknya.
"Yang masuk dalam daftar ada lima belas gadis cantik. Namun, yang mempunyai kriteria seperti yang dimiliki oleh Lolita dan Alesha hanya ada lima orang, salah satunya diri anda," ucapnya tegas.
"Haaah! Saya?"
"Cantik dan kaya. Pilihan yang sangat tepat."
"Apa maksud anda detektif?"
"Pilihan sangat tepat bagi lelaki play boy miskin seperti Keyno Brian, Kinara."
Raut wajah Kinara berubah semburat merah. Dia terlihat mulai geram dengan kalimat yang dilontarkan oleh detektif itu.
"Sepertinya kamu tak percaya dengan asumsiku. It's oke, Kinara. Aku hanya perlu ingatkan dirimu, berhati-hati dengan orang di sekitar lingkunganmu."
Kemudian, lelaki tampan itu berpamitan pulang. Kinara hanya bisa mendengkus kasar mengantar kepergian detektif yang mengesalkan itu. Dia bersandar pada daun pintu yang telah tertutup rapat.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" ucapnya lirih.
Perlahan dia berjalan menaiki beberapa anak tangga. Sekilas dia melihat pintu kamar Kirana sudah tertutup rapat. Kinara pun berjalan masuk ke dalam kamar.
Masih terngiang ucapan detektif itu, bahwa dia harus lebih berhati-hati lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro