Esai
Amorphophallus titanum adalah nama Latin dari tanaman itu. Sebuah tanaman besar dengan putik memanjang, lebih tinggi dari tangkai dan batangnya. Aromanya lebih busuk daripada tumpukan baju kotor satu bulan, keju, kotoran manusia, bahkan bangkai yang membusuk.
Tanaman itu menarik perhatianku berkat cerita kakakku semasa kecil. Dulu Babeh pernah menanam tanaman dengan rupa sangat elok di halaman rumah. Setiap sore aroma busuk memenuhi sepanjang jalan menuju rumah hingga lewat adzan maghrib. Para tetangga protes dengan bau itu. Akhirnya, Babeh tebang tanaman cantik yang baru kakakku ketahui belakangan setelah menjadi mahasiswa Biologi. Cerita kakakku turut mengilhami salah satu karakter dalam ceritaku, Kyo Ragalli. Si ahli botani maniak tanaman akut yang terobsesi dengan bunga bangkai.
Titan arum, alias bunga bangkai, merupakan salah satu flora khas Indonesia seperti halnya sesamanya raflesia, anggrek bulan, dan melati. Ia pula berkerabat dekat dengan konnyaku, makanan jeli dari umbi-umbian favorit orang Jepang. Butuh waktu 5-7 tahun akar tumbuh dan mekar sempurna. Tanaman ini merupakan tanaman asli pulau Sumatera. Meskipun begitu, banyak ahli botani dari seluruh dunia berhasil membudidayakan tanaman ini di negara asalnya. Momen mekarnya titan arum bahkan sama berharganya seperti halnya foto dengan orang terkasih.
Ironisnya, di saat para ahli botani di luar sana mengabadikannya, penduduk negeri ini acuh tak acuh. Bunga bangkai ini sama terancamnya seperti orang utan, penduduk suku Kubu, penduduk desa yang menggantungkan hidup pada nikmat Tuhan berupa permata hijau hutan, dan para inyek di pedalaman Sumatera.
Pembabatan liar merusak habitatnya. Setiap musim kemarau, jerebu melanda. Itu adalah curahan hati si kembar negeri Jiran yang tak bisa bermain di Kampung Durian Runtuh. Habitat aslinya tergerus, tidak sesuai dengan statusnya sebagai salah satu flora nasional. Pohon-pohon tropis kokoh yang selama ini menaunginya di hari terik kemarau lenyap lalu berganti hamparan sawit muda. Isu pemanasan global terus berdengung, namun negeri ini lebih peduli ikan asin daripada bunga bangkai.
Butuh waktu lama bagi bunga ini untuk tumbuh dan bereproduksi. Seperti halnya vanila yang tak sanggup membuahi dirinya sendiri. Ia juga rentan busuk setelah mekar. Perlu waktu bertahun-tahun lagi untuk mekar dan memancing hewan-hewan penggemar bangkai untuk menjatuhkan setitik serbuk sari. Jika hutan habis, siapa lagi yang akan menolongnya membuahi diri?
Hewan-hewan kecil nan malang tergolek pasrah berkat manusia serakah. Manusia berhati lembut pun tak kuasa. Sekuat apapun mereka berjuang, birokrasi busuk dan harta menumpuklah yang menang. Terlebih ketika masyarakat menutup mata dan telinga lalu berpaling pada gawai mereka. Haruskah kita menunggu klaim negara luar baru sadar akan seonggok tanaman cantik berbau busuk ini? Haruskah kita rogoh kocek dalam-dalam demi menonton langsung bunga mekar di herbarium luar? Ironis.
Titan arum memang busuk namun cantik. Sayangnya tangan-tangan nakal negeri ini selalu mengusik setiap detik.
******
Tulisan ini hanya opini ngawur seorang penyuka tanaman yang miris melihat keadaan hutan negeri ini termasuk titan arum di dalamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro