Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 08. Iblis (TAMAT)

Warning!

Sebelum lanjut baca part ini, author cuma mau bilang kalo part kali ini mengandung sedikit konten kekerasan. Bagi readers yang masih tertarik silahkan lanjut dan happy reading~! ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

***

Jesika tertawa di ujung telepon. "Kamu mau bermain denganku lagi?"

"Tidak, kali ini bukan untukku," balas Ringgo.

Jesika sempat terdiam, tetapi beberapa detik kemudian dia langsung mengerti. "Kamu benar-benar mengikuti saran bartender itu?"

"Tentu saja!"

"Dari mana kamu mendapatkan pria kecil?" selidik Jesika.

"Aku menemukannya secara acak di jalan. Dia sedang kabur dari rumah," jelas Ringgo.

"Memangnya kamu yakin dia mau bersetubuh denganku?" tanya Jesika.

"Sudah pasti! Tubuhmu itu sangat seksi, Jes!" seru Ringgo begitu yakin.

"Aku tahu itu! Di motel seperti biasa 'kan?" Jesika hendak menyetujui tawaran Ringgo.

"Iya, cepatlah datang! Tenang saja, akan kuberi tip yang besar." Usai berkata demikian, Ringgo segera mematikan telepon.

Ringgo melangkah ke arah parkiran, dia menunggu kedatangan Jesika sembari mengisap sebatang rokok.

• • •

Rakana duduk di tepi kasur, dia kesulitan tidur, ada banyak hal yang melintas dan mengusik pikirannya. Tiba-tiba pintu terbuka, perhatian Rakana seketika teralihkan. Ringgo masuk ke dalam kamar diikuti seorang wanita yang tampak sangat asing bagi Rakana. Di dalam kamar Ringgo buru-buru mengunci pintu, lalu menyimpan kuncinya ke dalam saku celana. Rakana memandang wanita itu dengan perasaan aneh, pasalnya ukuran dada wanita tersebut tampak tidak normal. Wanita itu juga tampil dengan pakaian minimalis yang begitu ketat hingga membuat lekuk tubuhnya makin terlihat jelas.

"Raka, ini Jesika. Dia ... rekan kerjaku." Ringgo mengenalkan Jesika pada Rakana.

Rakana tidak memberikan respons yang berarti. Ringgo pun tidak menunggu balasan dari Rakana, dia langsung membuka tas hitam besar yang tadi dia bawa untuk mengeluarkan kamera beserta tripod. Ringgo mulai memposisikan kameranya agar bisa menyorot kasur dari sudut pandang terbaik. Jesika berjalan mengitari kasur, perlahan dia beranjak naik, lalu melingkarkan tangannya di leher Rakana. Dalam posisi ini Rakana bisa merasakan keberadaan dada Jesika yang menekan punggungnya.

Ringgo kembali menghampiri tas hitamnya untuk mengambil sebotol alkohol. Ringgo mendekati Rakana, lalu bertanya, "Kamu tahu ini apa? Pernah minum ini sebelumnya?"

Rakana hanya menggeleng.

Jesika mendekatkan bibirnya ke telinga Rakana, dengan nada yang menggoda dia mulai berbisik, "Cobalah sedikit. Rasanya benar-benar nikmat."

Ringgo membuka botol alkohol, lalu menawarkannya ke Rakana. Walau sempat ragu, Rakana akhirnya menyambut botol alkohol dari tangan Ringgo. Rakana memperhatikan botol alkohol, kian dipandangimya makin yakin pula dia bahwa dirinya pernah melihat botol itu di suatu tempat. Pecahan memori berhasil Rakana kumpulkan, dia ingat betul bahwa Arto sempat menggenggam botol serupa sebelum melecehkannya di kamar mandi.

Seketika hati Rakana memanas, rasa kesal yang memuncak mengambil alih segalanya. Rakana menggenggam erat leher botol, lalu memecahkannya tepat di kepala Ringgo. Alhasil botol itu hancur berkeping-keping, darah mengalir deras dari pelipis Ringgo serta menggores tangan Rakana. Ringgo perlahan mundur, kedua matanya terbelalak menatap ngeri pria kecil yang ada dihadapannya. Benar-benar salah pilih sasaran.

Rakana mengambil pecahan kaca guna menikam Ringgo berulang kali dibagain wajah, senjata itu bermata dua, telapak tangannya juga ikut terluka, tetapi kini dia tengah mati rasa. Akhirnya Rakana mencabut nyawa Ringgo dengan satu sayatan di leher yang memutuskan nadi. Di sisi lain Jesika berusaha meninggalkan kamar, dia terus memutar knop pintu, tetapi tentu saja sia-sia sebab pintu itu terkunci. Kini Jesika terjebak bersama mayat dan pria kecil yang baru saja membunuh, bisa ditebak betapa paniknya dia.

Rakana melirik Jesika dan mulai berjalan mendekatinya dengan pecahan kaca yang penuh akan darah. Sekujur tubuh Jesika kian gemetar, dia mencoba mendobrak pintu, tetapi tenaganya terlalu lemah. Tidak ada pilihan lain, Jesika bersimpuh lutut di depan Rakana, dia menyatukan kedua tangannya dalam posisi memohon.

"Ampun ... jangan bunuh aku." Jesika mulai berlinang air mata.

Rakana sedikit menunduk, dia memandangi wajah Jesika yang tampak begitu ketakutan. Rakana mendekatkan pecahan kaca ke leher Jesika sembari bertanya, "Mau kubiarkan hidup?"

"I-iya." Begitu takut, Jesika bahkan tak mampu menyebutkan satu kata dengan benar.

"Jawab pertanyaanku. Kenapa kamu melakukannya? Menempelkan dadamu ke punggungku, itu menjijikan."

"Maaf ... tapi itu memang pekerjaanku. Aku akan dibayar untuk bersetubuh dengan laki-laki," jawab Jesika apa adanya.

"Aku tidak menyukaimu. Kamu wanita yang menjijikan. Jadi, selamat tinggal." Usai berkata demikian, Rakana langsung menusuk leher Jesika.

Pandangan Jesika berubah menjadi hitam pekat sesaat setelah Rakana memutuskan nadinya. Rakana mencabut pecahan kaca, seketika darah mengucur keluar. Tak lama kemudian tubuh Jesika yang telah kehilangan rohnya terbujur di atas lantai.

Rakana berdiri tegap, dia melihat ke arah mayat Ringgo dan Jesika secara bergantian. Rakana mengembuskan napas berat. "Sial! Aku melakukannya lagi."

Rakana memasuki kamar mandi, dia hendak membersihkan kedua tangannya yang bersimbah darah. Ketika tangan kanan Rakana terkena air, saat itulah indra perasanya kembali bekerja. Rakana sempat mengaduh seraya menahan rasa nyeri. Aliran darah tak kunjung berhenti, Rakana memutuskan untuk melepas sweternya, lalu merobek bagian kecil untuk dijadikan pembalut luka.

Rakana berjalan melangkahi mayat Ringgo demi menggapai tas ranselnya. Rakana mengambil kaus polos dan jaket hitam untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Setelah berpakaian, perhatian Rakana kembali tertuju ke mayat Ringgo, dia menggeledah saku celana Ringgo guna mendapatkan kunci dan sebuah dompet yang isinya tak sedikit. Rakana menggendong tas ranselnya, dia menyepak mayat Jesika yang menghalangi pintu, lalu berjalan meninggalkan tempat kejadian perkara. Sepanjang perjalanan keluar dari motel, Rakana menyembunyikan tangan kanannya yang terluka di balik jaket. Untunglah tak ada satu pun orang yang menatap curiga ke arah Rakana, dia berhasil keluar dengan aman.

Rakana berdiri di pinggir jalan sambil meluruskan tangan kiri, sebenarnya sudah larut malam, tetapi dia berharap masih ada kendaraan yang mau berhenti untuknya. Cukup lama Rakana menunggu hingga akhirnya ada sebuah taksi berwarna biru yang mau menepi.

"Dik, ini sudah malam. Mau ke mana?" tanya seorang sopir paruh baya dengan tampang khawatir.

"Bapak tahu kos Bu Sri?" balas Rakana.

"Ya, tahu! Saya orang sini, tidak jauh itu. Ayo cepat naik!" perintah sopir.

Rakana buru-buru masuk ke dalam taksi, dan mengambil kursi belakang. Sopir langsung tancap gas, di jalan dia tiada henti-hentinya menceramahi Rakana tentang betapa bahayanya berkeliaran di luar seorang diri apa lagi saat hari sudah larut malam. Sopir itu khawatir jika Rakana bertemu dengan orang jahat, padahal hal tersebut telah terjadi.

Sekitar tiga belas menit kemudian, taksi yang Rakana naiki berhenti di depan pagar yang cukup tinggi. Rakana melihat ke dalam, tampaklah beberapa kamar kos dengan berbagai hiasan kepala hewan yang terpajang di depan pintunya. Tidak salah lagi, itu pasti kos Ira. Rakana mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dompet Ringgo, lalu memberikannya ke sopir tanpa meminta kembalian sepeser pun. Taksi itu melaju meninggalkan Rakana, kian jauh hingga dia tak dapat melihatnya lagi.

Rakana hendak masuk ke dalam kos, pagar terkunci rapat, tidak ada cara lain selain memanjat. Bukan perihal mudah memanjat pagar dengan satu tangan yang terluka, tetapi walau sempat kewalahan, Rakana tetap berhasil melewatinya. Kini kedua netra Rakana sibuk mencari kamar kos dengan pintu yang digantungi hiasan kepala burung hantu, pasalnya dia ingat betul bahwa Ira pernah mengatakan kalau hiasan itu adalah ciri khas kamarnya.

Kurang dari sepuluh detik Rakana berhasil menemukan kamar yang dia cari, lagi pula kos itu tak terlalu luas. Rakana bisa melihat lampu di dalam kamar masih menyala, kemungkinan besar Ira belum tidur. Rakana menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu sebanyak tiga kali.

Mendengar suara ketukan, Ira lantas menjeda film seri yang tengah dia tonton demi mengecek keluar. Ira membuka tirai, seketika dia syok mendapati Rakana yang mampu berdiri tegap dengan kedua kaki tanpa masalah. Rakana terlihat baik-baik saja sampai Ira menyadari balutan luka di tangan kanannya yang telah dirembesi darah.

"Raka! Kenapa kamu di sini? Sejak kapan kamu bisa berjalan tanpa kursi roda? Oh, astaga! Apa kamu terluka?" Terlalu banyak pertanyaan yang melintas dalam benak Ira.

"Ira, biarkan aku masuk. Aku baru saja membunuh ayah, aku butuh tempat sembunyi sekarang," pinta Rakana.

Pernyataan Rakana membuat Ira benar-benar ketakutan. Ira buru-buru menutup tirai, dia langsung menggapai ponselnya untuk menghubungi polisi. Ira tak peduli fakta bahwa Rakana adalah teman dekatnya, baginya membunuh tetaplah tindakan keji yang tidak bisa ditoleransi. Beberapa menit berlalu, Ira tak kunjung membukakan pintu, tetapi Rakana masih setia menunggu di luar. Tiba-tiba terdengar suara sirene serta terlihat kilatan cahaya berwarna merah dan biru.

Jantung Rakana berdenyut cepat, perasaannya hancur berantakan, dia lantas berseru, "Ira! Kenapa kamu melaporkanku? Padahal aku sudah percaya padamu! Bukankah kita sahabat?"

"Kamu bukan lagi Rakana yang aku kenal!"

"Lalu, Rakana seperti apa yang mau kamu kenal? Rakana yang selalu diperbudak oleh ayahnya!" Hati Rakana terasa nyeri, tanpa sadar air matanya mulai mengalir. "Aku sudah sejauh ini, Ra! Akhirnya aku bebas! Tapi kenapa kamu tega menghancurkan semuanya?"

Ira duduk meringkuk di dalam kamarnya. "Sadarlah, Raka! Kamu pembunuh ayahmu sendiri!"

"Pilihannya cuma dua! Ayahku yang mati atau aku yang mati perlahan-lahan!" Emosi Rakana kian meluap, pipinya telah basah oleh air mata.

Rakana bisa mendengar suara langkah kaki sekumpulan orang dari arah belakang. Dengan lemas Rakana berbalik, dugaannya benar, dia mendapati tiga orang polisi tengah menodongkan pistol ke arahnya. Rakana mengangkat kedua tangannya sebagai pertanda bahwa dia tidak mau melakukan perlawanan. Kedua tangan Rakana diborgol, kemudian dia dituntun masuk ke dalam mobil polisi.

Ira dan beberapa penghuni kos lain yang terbangun akibat suara kericuhan hanya menatap Rakana dalam diam. Mereka semua memandangi Rakana seakan-akan dia adalah pelaku, bukan korban.

Dunia telah mempertemukan Rakana dengan para bajingan, hal itu yang memaksanya menjadi bajingan pula.

***

Akhirnya cerita Bajingan Ulung tamat!

Menurut readers ceritanya gmn? Boleh kasih pendapat atau krisar di kolam komentar ya~! Author bakal seneng banget bacainnya (≧▽≦)

Author punya satu pertanyaan nih. Jadi, siapa yang paling bajingan di cerita ini? 🤔

Apa itu Arto, Ringgo, Ira, atau malah tokoh utamanya sendiri? (. ❛ ᴗ ❛.)

Btw, karna cerita ini udah tamat, kemungkinan besar author akan buat cerita baru lagi. Rasanya mood author buat nerusin cerita Towards Death belum balik. Aduhh, Rania kamu yang sabar ya~~

Okeh! Terima kasih buat readers yang udah ngikutin kisah Rakana. Sampai jumpa di ceritaku yang berikutnya~! ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro