Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 07. Bebas

Warning!

Sebelum lanjut baca part ini, author cuma mau bilang kalo part kali ini mengandung sedikit konten kekerasan. Bagi readers yang masih tertarik silahkan lanjut dan happy reading~! ✧◝(⁰▿⁰)◜✧

***

Rakana mengangkat pisaunya setinggi mungkin, lalu menghujamkan tepat ke dada Arto. Arto yang menerima rasa sakit tiada tara berusaha memohon ampun pada Rakana, tetapi dia justru mengeluarkan suara tak jelas akibat lidahnya yang telah putus. Dipenuhi perasaan dendam, Rakana menusuk Arto berulang kali secara membabi buta dan tanpa henti. Rakana sudah tidak peduli di mana mata pisaunya mendarat, entah itu dibagian wajah, dada, perut, bahkan kelamin sekalipun. Rakana ingin menciptakan luka sebanyak mungkin, agar Arto bisa mengerti apa itu penderitaan.

Rakana terus melancarkan serangan hingga dia tidak sadar bahwa Arto telah mengembuskan napas terakhir sejak tadi. Rakana baru menyadari bahwa ayahnya sudah tiada ketika sekujur tubuh Arto telah penuh oleh luka tusukan dan sayatan yang dia buat. Rakana berhenti menggenggam pisau yang berlumuran darah, lalu menjatuhkannya ke lantai begitu saja. Perlahan-lahan Rakana turun dari atas kasur, dia memandangi jasad Arto yang bersimbah darah, kemudian tertawa puas. Usai menghabisi nyawa ayahnya sendiri, Rakana tidak merasa bersalah sedikitpun, dia justru merasa bebas seolah belenggu yang selama ini menahan dirinya telah lenyap.

Ada lubang besar menganga dibagian perut Arto yang menyebabkan organ dalamnya hancur berantakan, bahkan Rakana bisa melihat usus yang menjuntai turun dari kasur. Wajah Arto juga tak kalah mengenaskan, terlalu banyak luka tusukkan hingga sulit dikenali, sekilas sayatan-sayatan itu tampak seperti ulah binatang liar. Rakana sama sekali tidak berniat untuk membersihkan semua kekacauan yang telah dilakukannya, dia hanya menutupi mayat Arto dengan selimut, lalu beranjak dari kamar.

Rakana berjalan menuju kamar mandi, rasanya sangat menyenangkan dapat terbebas dari kursi roda. Sesampainya di kamar mandi Rakana segera melepas semua pakaiannya yang kotor terkena darah. Rakana menyalakan keran, dia menunggu bathtub penuh seraya menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin tanpa busana. Rakana mendekati cermin, dia memperhatikan darah yang ada di tubunya dengan ekspresi datar. Beberapa menit kemudian, akhirnya bathtub penuh, Rakana langsung berendam untuk membersihkan badannya. Air yang semula jernih sekarang berubah warna menjadi kemerahan akibat tercampur dengan darah. Meski begitu, Rakana tidak peduli, dia memejamkan matanya seolah sedang menikmati spa.

Setelah membersihkan diri dari darah, Rakana melangkah ke luar kamar mandi tanpa sehelai benang pun. Tidak apa-apa, tak akan ada yang akan melihat Rakana juga. Rakana kembali ke kamarnya, dia melalui mayat Arto seakan tidak terjadi apa pun. Rakana membuka lemari, dia memandangi semua pakaiannya dan mulai mencobanya satu per satu di depan cermin. Rakana hendak menemukan pakaian terbaik yang akan dia gunakan untuk meninggalkan rumah dengan sejuta kenangan buruk.

Pilihan Rakana jatuh pada sweter putih dan celana dengan warna yang berkebalikan dari sweternya. Rakana memasukkan beberapa set pakaian ke dalam tas ransel, dengan begini dia merasa sudah siap untuk pergi dari rumah. Rakana mengambil kunci dari dalam laci meja, dia membuka pintu rumah, lalu melangkah ke luar.

Rakana melangkahkan kakinya menyusuri jalan sambil mengamati gemerlap bintang di langit malam. Ini adalah kali pertama Rakana berjalan-jalan di luar rumah tanpa adanya pengawasan dari Arto. Langkah Rakana terhenti di persimpangan, dia meluruskan tangannya dengan harapan ada mobil yang akan berhenti. Benar saja, dari kejauhan Rakana bisa melihat ada mobil putih yang perlahan menepi ke pinggir jalan. Mobil putih itu berhenti tepat di depan Rakana, kaca jendelanya turun dan tampaklah seorang pria yang tengah duduk di kursi pengemudi.

"Adik mau ke mana?"

"Ke kota depan, Kak," balas Rakana.

"Oh, tujuan kita sama. Naik saja, Dik!" Pria itu mempersilakan Rakana masuk.

Rakana mengucapkan terima kasih, dia berjalan ke sisi lain mobil guna mengambil tempat duduk di kursi depan. Pria itu kembali menyalakan mobil, lalu mengendarainya menuju kota tujuan. Jalanan cukup sepi, pria tersebut mencoba untuk mengajak Rakana berbincang agar dia bisa sedikit mencairkan suasana.

"Aku Ringgo. Namamu siapa, Dik?" Pria yang diketahui bernama Ringgo itu memulai percakapan.

"Rakana," jawab Rakana cepat.

"Kelihatannya kamu masih muda. Umurmu berapa?" selidik Ringgo.

"Aku ... empat belas tahun."

Mendengar jawaban Rakana, Ringgo tak dapat menyembunyikan senyumnya. Ringgo melirik ke arah Rakana, lalu bertanya, "Kamu masih sangat muda. Kenapa bisa sendirian di luar malam-malam begini?"

Rakana terdiam, dia sempat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku kabur dari rumah."

"Oh, ya? Kenapa?" Ringgo sedikit penasaran.

"Aku tidak suka ayah, dia selalu mengatur-ngatur hidupku." Rakana mengatakan yang sejujurnya.

"Orang tua memang menyebalkan! Dulu aku juga sama sepertimu. Aku sering kabur dari rumah untuk bertemu teman-teman. Aku tidak pernah minta izin orang tua, percuma saja! Mereka tidak akan pernah mengizinkan," ujar Ringgo sambil tertawa kecil. "Tapi, itu waktu aku tujuh atau delapan belas tahun, sedangkan kamu masih empat belas tahun," lanjut Ringgo.

Rakana hanya mendengarkan tanpa memberi respons apa pun. Alhasil percakapan di antara keduanya terputus, Ringgo pun mengalihkan semua fokusnya ke jalan. Tiga jam berlalu, mereka tak terlalu banyak berbicara sepanjang perjalanan, keduanya tampak tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rakana mulai merasa lelah, tetapi perasaan itu seketika hilang kala dia melihat kelap-kelip lampu kota dari balik jendela.

"Kak, apa kita sudah sampai?" tanya Rakana memastikan.

"Iya," jawab Ringgo singkat.

"Kakak boleh antar aku ke kos ... Bu Sri?" pinta Rakana.

Ringgo pura-pura menguap, lalu berkata, "Boleh, tapi besok pagi saja, ya? Aku sangat lelah, bagaimana kalau malam ini kita menginap di motel dulu?"

"Kos Bu Sri masih jauh?"

"Iya, masih tiga puluh menit lagi," dusta Ringgo. "Memangnya kamu tidak mau istirahat dulu?"

"Bukan begitu, aku tidak bawa uang," ucap Rakana sedikit menundukkan kepalanya.

"Aku tahu kamu tidak punya uang. Santai saja, biar aku yang bayar," balas Ringgo enteng.

Usai sepakat, mobil mereka berhenti di area parkir sebuah motel. Keduanya turun dari dalam mobil, Ringgo sempat membuka bagasi untuk mengembil tas hitam besar yang entah isinya apa. Tanpa menaruh curiga, Rakana mengikuti langkah Ringgo masuk ke dalam motel. Ringgo memesan satu kamar untuk semalam, setelah mendapatkan kunci dia segera meninggalkan resepsionis.

Ringgo membuka pintu kamar, seketika tampaklah ruangan yang begitu nyaman dengan kasur besar yang muat ditempati oleh tiga orang dewasa. Rakana melangkah masuk bersama Ringgo, keduanya sama-sama langsung meletakkan tas di atas meja. Rakana memutuskan untuk melepas penat dengan cara berbaring di atas kasur, sementara Ringgo beranjak ke luar kamar sebab dia hendak menelepon seseorang. Di luar kamar Ringgo sempat menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa tak ada orang lain di sekitar situ.

"Hei! Jesika!" Ringgo berbicara pada seseorang di ujung telepon.

"Ada apa?" sahut Jesika.

"Aku punya pekerjaan untukmu."

***
Hullo! Readers~!

Author mau bilang part selanjutnya adalah part terakhir dari cerita Bajingan Ulung.

Makasih buat readers yang udah ngikutin cerita Rakana sampai sejauh ini~! (ノ◕ヮ◕)ノ*.✧

Author akan update part terakhir secepatnya, pantengin terus ya~! (◍•ᴗ•◍)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro