Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Mantan TKW

Aku sedang berjalan mengelilingi padang rerumputan. Tak lupa sesekali aku berlenggak-lenggok sambil umak-umik menyanyikan lagu Dil Hai Tumhara tanpa bersuara. Soalnya kan aku lagi cosplay jadi Pretty Zinta. Lalu dari kejauhan muncullah sosok Saif Ali Khan dengan lesung pipinya. Beh! Tampan rupawan bikin jantungku jumpalitan jedag jedug hampir terlepas dari sarang. Untung kagak jadi lepas. Kalau lepas, aku udah masuk ke liang tanah. Dan aku belum pengin mati. Belum kawin, bok!

"Yuyun Zinta!" sang Saif Ali Khan memanggil namaku.

Aih, aku tak bisa berdiam diri begitu saja. Akhirnya aku berlari sambil merentangkan kedua tangan dimana baju sari yang kupakai ikut berterbangan tertiup angin. Plus selendang yang melingkar di kedua tanganku bagai terbang dengan epiknya.

"Mas Saiiiif," teriakku.

Aku terus berlari, berlari dan berlari. Hingga jarakku dengan Mas Saif tinggal beberapa meter saja. Senyumku makin melebar, pokoknya Mas Saif jodohku, calon suamiku. Aih bahagianya.

Akhirnya aku dan Mas Saif semakin mendekat, mendekat dan kami siap berpelukan. Kupejamkan mataku karena yakin, Mamas Saif yang ganteng rupawan bakalan menyambutku dalam rengkuhan dada bidangnya.

"Yuyun Zinta," ucapnya bak suara si Mas Penyanyi dari Pantura.

"Mas Saif, oh!" Aku pun segera saja menubruk tubuh gagahnya.

Namun ....

Bruk! Suara sesuatu terjatuh terdengar keras sekali.

"Aduh!" Aku memekik keras.

Ternyata aku yang terjatuh saudara-saudara! Sakit banget. Mana ini jidat kayaknya mentok sisi ranjang lagi.

Mataku terbuka dan mencoba duduk. Ternyata tubuhku sudah terbelit selimut pula. Haish. Segera saja aku melepaskan diri dari belitan selimut. Dan dengan kesadaran yang belum pulih kuedarkan tatapan ke segala penjuru. Tampak sebuah kamar berukuran 4x3 meter dengan cat dinding warna hijau. Lalu langit-langit gipsum berwarna putih. Aku mengernyit sambil mengusap-ngusap dahiku yang sudah nonong sepertinya bakalan tambah nonong.

"Ya Allah, aku mimpi rupanya? Ah, Mas Saif. Hiks hiks hiks ternyata sosokmu hanya bisa kulihat di layar kaca, layar pipih dan yutub. Di dunia nyata, kamu gak ada. Hah?!"

Aku segera bangun, bermaksud kembali menggapai Mas Saif lewat mimpi. Namun baru sebentar tubuh ini nempel di kasur, suara gedoran dan lengkingan khas Mak Paijah menggema hingga kekuatannya menggetarkan dinding-dinding kamar bagai getaran gempa berskala 7,8 SR.

"Yuyuuuuun! Tangi, perawan wes esuk, esih bae turu. Tangi! Aja kalah karo jago, mengko bojomu dicaplok jago, kawus!"

(Yuyuuuun! Bangun, anak perawan kok masih tidur saja. Bangun! Jangan kalah sama ayam jago, nanti suamimu dimakan jago, rasakan!)

Kembali suara gedoran menggema di balik pintu dan rambatannya kembali terasa memenuhi dinding dan ranjang kamar.

"Yuyuuun!" teriak ibuku.

Kembali suara gedoran terdengar.

"Tangi!" teriakan dari balik pintu rupanya masih bakalan awet.

Mau tak mau aku akhirnya bangun. Melepas selimut, melipatnya, dilanjut membersihkan ranjang lalu menata kembali sprei, membenarkan bantal, guling dan berakhir menaruh selimut yang sudah terlipat di bagian ujung kasur.

"Yuyun!" teriakan ibuku kembali terdengar.

"Nggih, Yuyun bangun Mamake." Aku pun ikutan berteriak sambil menuju ke arah pintu.

Ketika pintu terbuka tampaklah wajah ibuku terlihat sangar dan hendak memuntahkan kembali amarahnya.

"Gak usah marah-marah lah Mak, Yuyun sudah bangun ini. Wes tangi!"

"Ck. Anak prawan kok ndableg kayak kamu."

Ibuku menggerutu sambil berjalan menuju ke dapur berdinding kayu di samping timur rumah kami. Aku pun mengikutinya. Kulirik jam di dinding yang menunjuk angka tiga. Aku menghembuskan napas dengan sedikit keras. Teringat jika masih di Hongkong, aku pasti bangunnya jam lima. Bukan jam tiga. Belum lagi jika di Hongkong aku hanya fokus bersih-bersih rumah, mengantar anak sekolah dan memasak. Kalau semua penghuni sudah tak ada aku bisa HP-an sambil bikin konten buat tik-tok, IG atau akun Youtub milikku. Kerja keras yang menyenangkan pokoknyan karena selain nambah subscribe juga nambah saldo duit yang bakalan nangkring di tabungan. Aih, ngomongin Hongkong jadi pengen balik ke sana lagi.

Di sana nyari duit gampang banget, sebulan lima juta dapet. Lah tiga bulan di sini aku sedikit stres. Nyari seratus ribu saja harus jungkir balik sampai pinggang rasanya encok pula.

Ngomong-ngomong kita udah kenalan belum ya? Kalau belum kenal yuk kita kenalan. Perkenalkan, namaku Yuyun Setiyowati, asli Gumilang Banyumas. Daerah ngapak pokoknya. Di Banyumas gak ada sego adanya sega ya. Terus logat kita gak alus tapi macam orang lagi marah-marah. Dan keras banget. Tapi orang Banyumas ramah-ramah kok. Yuyun saksinya.

Oh iya, aku ini temennya Mbak Ambar dan Mbak Tuti. Usiaku kini dua puluh tiga tahun. Aku adalah anak semata wayang pasangan Mak Paijah dengan Bapak Wasto. Bapakku sudah berusia enam puluh tahun sementara ibuku berusia lima puluh lima tahun. Keduanya butuh waktu lama untuk mendapat momongan. Setelah menikah hampir sebelas tahun barulah aku bisa hadir di antara mereka. Bapak biasa bekerja di sawahnya orang alias cuma tukang garap bukan pemilik sawah. Ibuku sendiri berjualan gethuk lindri.

Meski gethuk lindri hasil buatan ibuku terkenal enak dan banyak pelanggannya, namun taraf kehidupan kami sekeluarga tetap kategori berada di garis kemiskinan. Bahkan untuk sekolah hingga lulus SMA, aku harus ikut-ikutan membantu ibu berjualan dan mengantarkan lima puluh biji gethuk ke koperasi sekolah, tempat aku menuntut ilmu.

Lulus SMA aku langsung bekerja. Hampir sembilan bulan aku bekerja sebagai pelayan di toko Kelontong milik Cici Mey. Menyadari gajiku sebulan yang hanya empat ratus ribu dan sangat kurang untuk menunjang hidup, aku nekat bekerja di Hongkong. Butuh tiga bulan aku berada di PT penyalur TKW hingga bisa berangkat dan bekerja selama empat tahun di sana. Selama empat tahun bekerja di Hongkong, aku bisa mengumpulkan uang untuk membuat rumah permanen yang layak huni buat kedua orang tuaku. Belum lagi aku bisa membeli beberapa petak sawah sehingga bapak tidak perlu lagi garap sawahnya orang.

Ketika rumah sudah bagus dan sawah sudah ada, bapak dan ibuku meminta aku pulang. Padahal aslinya aku masih ingin nyari duit yang banyak, tapi menyadari kedua orang tuaku sudah tua, aku pun memutuskan pulang.

Dua bulan pertama setelah tinggal di kampung, aku merasa biasa saja. Banyak saudara, teman dan tetangga yang suka datang sekedar mampir atau bertanya pengalaman hidupku menjadi TKW. Namun menginjak bulan ketiga, para saudara, teman dan tetangga mulai nyinyir dengan kehidupanku dan hal yang paling menyebalkan adalah pertanyaan 'kapan kamu kawin?'

Nyebelin! Padahal helooow, umurku baru dua tiga, Mbak Ambar aja mau tiga puluh masih santuy. Dan Mbak Tuti aja yang nikah muda akhirnya ceremai sama suaminya udah lama betah-betah aja menjadi singgle mom. Terus lagian aku mau nikah sekarang apa besok, emangnya ngaruh sama hidup mereka? Beh, netizen +62 emang nyebelin banget.

Untung saja aku sudah terlatih hidup susah sedari kecil. Hingga netizen mau ngomong apa pun, gue mah EGP! Lagian, aku makan juga gak minta sama mereka.

"Mak, kenapa gak berhenti jualan aja sih. Capek. Mak istirahat aja, nyari kesibukan lain yang gak bikin capek," usulku sambil membantu membuat api lewat Pawon. Kalian tahu Pawon kan? Tungku alami dari bahan dasar tanah dan dibuat sedemikian rupa dimana kayu bakar menjadi bahan bakar utama meski bisa juga kita gunakan merang, atau tapes kelapa. Tapi tetap kayu menjadi primadona.

"Kan udah ada sawah, emang gak cukup ya Mak?" Lagi-lagi aku mempertanyakan alasan ibuku masih saja mau berjualan gethuk lindri.

"Sawah kan ada mangsane Yun. gak setiap hari menghasilkan duit. Buat kebutuhan harian tetep kudu nggolet," ucap ibuku sambil mulai mengupas kulit singkong.

Aku sendiri fokus dengan pawon, kayu, korek dan sisa-sisa kertas untuk membantu menyalakan api. Setelah api sudah menyala, aku mulai menyiapkan dandang untuk merebus singkong yang sudah bersih. Kami bekerja dengan sekali bercerita.

"Tapi kan capek, Mak. Apa Yuyun bikinin warung aja ya?"

"Lah, gak enak sama Mbak Nikem. Dia kan juga punya warung. Nanti dikira nyerobot rejekinya."

Benar juga!

"Apa nyewa ruko di pasar Mak?" usulku.

"Lah, nyewa saingannya banyak. Belum tentu juga laku."

Aku terus berpikir lalu sebuah ide mampir di otakku.

"Aku bikin konten aja ya Mak, nant—"

"Gak ada! Berhenti main itu tik tok tik tok. Ngapain jogat-joget gak jelas juga. Malu!"

Aku memberengut. Semenjak balik kampung aku emang sudah jarang posting video menari dengan kostum dan musik dari Negara Vrindavan. Emakku ngelarang soalnya. Padahal dari aksi joget di tik tok, aku mendapat banyak tawaran endorse dan penghasilannya lumayan. Kini tik tokku sedikit sepi dari komen orang-orang. Karena aku emang sudah tidak lagi tebar aksi joget-joget. Tapi kalau nyanyi lipsing masih terus. Dan endorsan juga masih ada walau tak sebanyak ketika aku masih di Hongkong.

Tak berapa lama, dari arah dalam rumah, sosok satu-satunya lelaki di keluarga kami, datang. Bapak tersenyum dan menyapa kami.

Biasanya Bapak bagun pagi juga, namun hari ini beliau sedikit kesiangan. Beliau bangun ketika azan subuh mulai menggema di beberapa masjid atau mushola. Setelah bangun, Bapak akan menjalankan sholat malam beberapa rakaat. Dan setelah itu segera membantu kami, namun tadi malam bapak habis begadang di rumah orang hajatan dan kata ibu baru pulang jam dua. Mungkin karena itulah beliau telat bangun.

"Kopi ya Nduk," ucapnya sebelum menuju ke sumur untuk berwudhu.

"Nggih, Pak."

Aku yang sedang membungkus gethuk lindri dengan daun pisang, menghentikan aksiku dan segera membuat kopi untuk bapak.

Sebenarnya, aku sudah membuat kamar mandi yang bagus dan dapur yang bagus juga. Tetapi, ibuku meminta tetap membuat dapur khusus untuk tempat Pawon yang berada di samping timur rumah dan berdekatan dengan sumur. Di lokasi inilah tempat ibu dan bapak membuat gethuk. Sementara dapur yang sudah berkeramik hanya digunakan untuk memasak.

Selesai membuat kopi, aku bergegas menuju ke kamar mandi dalam untuk membersihkan diri. Sementara ibu membersihkan diri di sumur. Kami bertiga akan menjalankan sholat wajib dengan berjamaah di mushola barat dekat rumah kami. Mushola yang katanya hasil wakaf salah satu penduduk sini yang termasuk orang terpandang.

Aku keluar dengan sudah memakai mukena atasan. Sementara bagian bawah dan sajadah aku sampirkan di pundak sebelah kiri. Ketika sedang menggunakan sandal tiba-tiba mataku terfokus pada sosok tampan dengan tinggi menjulang. Sosok yang berjalan itu rupanya melihatku. Buktinya dia mau tersenyum saat melewatiku..

Deg. Jantungku tiba-tiba berdetak dengan kencang bahkan ketika sesosok tampan sudah sampai di pelataran mushola aku masih diam terpana.

Sebuah tepukan dan pekikan khas Mak Paijah menggema. Aku jadi sadar dengan realita.

"Kamu kenapa kok bengong? Lihat apa kamu?" tanya ibu.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata lalu memeluk ibuku dengan erat.

"Eh, kamu kenapa? Kesambet?"

Aku senyum-senyum tak jelas.

"Yun!" teriak  ibuku.

"Kamu kesambet?" tanyanya lagi.

"Iya Mak. Yuyun kesambet Mas Saif."

"Hah?" Ibuku melongo. Sementara aku tak menggubris pertanyaannya karena kini kakiku dengan ringan sudah berjalan menuju ke mushola. Aih, aku musti kenalan sama Mas Saif KW. Biar aku bisa Weka-Weka. Waktunya mElancarKan Ajian cinta. Hiak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro