Part 8
Matahari dengan malu-malu mulai menampakkan wujudnya. Tersenyum cerah, menatap semua penduduk bumi. Memberikan semangat hidup pada mereka yang akan memulai aktivitas. Pun membakar semangat dalam jiwa para pejuang hidup. Para pejuang yang tidak kenal kata lelah. Meski acap kali teriknya mentari membuat mereka nyaris kehilangan kesadaran. Namun, demi melawan arus kehidupan yang amat terjal, mereka rela terus mendayung hingga akhirnya mencapai pulau tujuan.
Di kediaman sepasang pasutri yang baru-baru ini menikah, suara riuh di dapur membuat salah satu penghuni terbangun. Dengan langkah cepat, ia menghampiri seorang wanita yang nampak meringis di sudut dapur sambil memegangi tangannya. Keadaan dapur di rumah itu bisa dibilang berantakan. Entah apa yang terjadi sebelum dirinya datang tadi.
"What happen?" tanya sang suami pada istrinya. Ia mentap bingung bercampur cemas.
"Tadi Anin nggak sengaja nyenggol wajan, terus minyaknya kena tangan--"
"Astaghfirullah! Ya udah, ayo! Biar saya obati." Tanpa perlu diceritakan lagi, Arka sudah bisa menebak apa yang terjadi sebelumnya. Ia lantas menuntun Anin menuju meja makan dan menyuruh wanita itu untuk duduk diam dan menunggunya yang beranjak mengambil kotak P3K.
Setelah selesai mengobati luka di tangan Anin, Arka beranjak membereskan perkakas yang berserakan. Berikut bumbu-bumbu yang turut tumpah dan mengotori lantai, semuanya ia bersihkan.
Anin yang terus memperhatikan setiap gerak-gerik sang suami mengulum senyum. Ia merasa beruntung karena Arka tidak memarahinya. Laki-laki itu malah mengobatinya. Sungguh perhatian. Bersyukur juga, karena hanya tangan yang terkena tumpahan minyak panas. Tidak bisa dibayangkan, jika yang terkena adalah wajah atau badannya, pasti lebih sakit dibanding sekarang.
Ingatannya tiba-tiba tertarik pada kejadian, saat dia baru saja pindah ke rumah ini. Sebuah kejadian yang membuatnya sungguh malu. Apalagi saat melihat ekspresi suaminya yang benar-benar menyebalkan. Membuatnya kesal sekaligus juga malu.
Meski sudah seminggu berlalu, tapi tetap saja. Anin bahkan sempat tidak mau bertatap wajah dengan Arka karena saking malunya.
Baru dua hari ini, ia berani berinteraksi kembali dengan Arka. Walau masih sedikit canggung.
"I'm sorry ...."
Arka menoleh ke arah Anin yang sedang menunduk. Ia menghela napas. Anin pasti kelelahan. Setahunya, semalam Anin begadang. Pekerjaan istrinya itu sepertinya sangat banyak sampai-sampai harus dibawa pulang ke rumah. Ditambah ia yang harus bangun pagi untuk membersihkan rumah serta membuat sarapan … pasti Anin merasa kelelahan hingga tidak fokus.
"Besok Bi Atika yang bekerja di rumah Papi, kita minta buat kerja di sini." Arka rasa ia harus bertindak.
Anin mengangkat kepalanya dan menatap Arka protes. "Mas, kita kan sudah membicarakan ini sebelumnya!" Ia membantah.
Arka menatapnya datar dan berjalan mendekati sang istri. "Dan membiarkan semua kekacauan ini kembali terulang?" tanyanya dengan nada rendah.
Anin mengerucutkan bibirnya. "I see, I'm wrong. But--"
"You know? I don't like being denied." Arka menatap lekat mata sang istri. Auranya benar-benar mampu membuat Anin merasa terintimidasi.
Anin menelan salivanya. Ia tidak mungkin membantah Arka. Bagaimanapun, Arka suaminya. Laki-laki yang sudah seharusnya dia hormati. Dan akhirnya, Anin mengangguk pasrah. Lantas berdiri dan melenggang menuju salah satu kamar yang sudah disulap menjadi ruang kerja sekaligus ruang baca untuknya.
Arka menghela napas pelan. Dia bukannya tidak menghargai keputusan Anin yang ingin menjadi ibu rumah tangga merangkap wanita karier. Hanya saja, melihat dari kejadian beberapa hari belakangan ini, diperkuat dengan kejadian barusan … Arka merasa jika dia memang perlu mengambil sebuah keputusan. Lagian, Arka juga tidak mau, jika Anin sampai kelelahan apalagi sakit. Entahlah, ia hanya tidak mau repot. Maybe.
***
"Tentang asisten rumah tangga … Anin mau kalau Bi Atika jangan sampai mengerjakan pekerjaan yang memang menjadi tugas seorang istri." Usai makan, Anin langsung membuka suara. Semalaman ia sudah memikirkan ini semua. Dan mencoba untuk mencari jalan tengahnya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk langsung membahasnya sekarang.
Arka langsung menatapnya. "Anin," desisnya.
"Seperti mencuci pakaian kita, lalu mengurus makan dan minum Mas, sampai menyiapkan segala keperluan Mas. Itu semua menjadi tugas mutlak Anin sebagai seorang istri. Anin mohon ...."
"Baiklah." Arka akhirnya luluh. Apalagi tatapan yang Anin berikan tadi, sungguh membuatnya tidak kuasa menolak keinginan sang istri.
Senyuman mengembang sempurna di wajah Anin. "Terima kasih suamiku," ucapnya terlihat begitu ceria.
"Tapi, itu semua berlaku saat kamu sudah benar-benar sembuh. Paham?" Arka memberikan tambahan.
Anin mengerucutkan bibirnya kesal. Tapi, apa yang dikatakan Arka barusan ada benarnya. Ia tentu tidak bisa melakukan tugasnya, jika masih dalam keadaan sakit. "Okay ...." Alhasil, ia setuju. Meski sedikit tidak ikhlas.
Arka tersenyum kecil. Merasa menang dari Anin. "Istirahat sana! Biar ini semua saya yang bereskan." Arka sudah akan mengambil piring bekas mereka makan. Tapi, Anin segera mencegahnya.
"Eh! Tapi, ini kan tugasnya Anin, Mas."
"Memang tugas kamu, seandainya tangan kamu itu baik-baik saja," sahut Arka.
Setelahnya, Arka membawa piring, gelas, mangkuk dan lainnya ke wastafel. Kemudian mencucinya.
Anin memilih diam di tempat. Memperhatikan sang suami yang nampak sudah terbiasa melakukan pekerjaan yang seharusnya ia lakukan. Terbesit rasa bersalah dalam benaknya. Ini salah Anin. Dia terlalu tidak berhati-hati. Dan sekarang, malah jadi semakin menyusahkan Arka.
"Saya kan, suruh kamu istirahat tadi." Saking seriusnya, Anin sampai tidak sadar jika Arka sudah selesai mencuci piring.
"Eh?"
"Kalau perlu apa-apa, bilang." Arka berjalan mendekat dan mengusap lembut kepala Anin yang terbalut hijab sebelum akhirnya melenggang pergi.
Memang, hingga saat ini, Anin belum berani menampakkan auratnya kepada Arka. Sekalipun Arka suaminya. Tetap saja, Anin merasa belum siap. Mungkin nanti, saat hatinya benar-benar sudah mantap dan tidak menyisakan keraguan barang secuil sekalipun.
Netra Anin mengikuti punggung Arka yang semakin menjauh, hingga hilang ditelan pintu coklat di lantai dua. Ruang kerja suaminya. Seulas senyum terbit. Anin harus segera bangun. Ia harus bisa menghadapi dunia nyata. Tanpa harus dibayangi dengan kelamnya masa lalu. Mungkin, semuanya tidak sesulit seperti yang ia bayangkan. Intinya niat.
Anin tidak mau terus menerus seperti ini. Ia harus mampu mencoba membuka kembali hati demi keutuhan rumah tangganya. Allah sudah sangat baik mengirimkan Arka sebagai imamnya. Jadi, mungkin inilah saatnya Anin berubah. Tidak mungkin juga dia terus-menerus terjerat masa lalu. Tidak semua laki-laki sama. Contohnya saja ayah dan pamannya. Mereka tidak seperti masa lalunya yang benar-benar bisa dikatakan brengsek.
Mencoba tidak ada salahnya, bukan? Dan Anin akan melakukannya, mencoba. Perlahan tapi pasti.
*****
Sungai Raya Kepulauan, Minggu 8 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro