Part 7
"Udah semua?" tanya Arka saat akan keluar dari dalam kamarnya.
Hari ini, rencananya mereka akan pulang ke rumah Arka. Rumah yang dibeli oleh laki-laki itu tahun lalu. Yang sengaja dibeli karena lebih dekat dengan kantor Arka. Dan beruntungnya Anin, rumah mereka juga dekat dengan kantor tempatnya bekerja nanti.
"Udah, Mas," jawabnya sambil memasukkan handphone ke dalam sling bag.
Setelahnya mereka turun dan berpamitan dengan Papi Damar dan Mami Nuha. Tidak terkecuali si kecil Ridha. Anak kecil itu nampak sedih karena Anin harus pergi. Padahal, dia sudah sangat sayang dengan Anin. Wanita yang bahkan memberikan kasih sayang yang tidak didapatkan dari ibunya sendiri. Anin pun demikian. Ia juga sedih. Ia sudah sangat sayang dengan Ridha. Tapi, dia berjanji akan berkunjung seminggu sekali, jika tidak ada halangan. Hal itu cukup membuat keponakannya memeluknya dengan gembira.
Ibu mertuanya pun sempat memberikan sedikit wejangan yang akan selalu Anin ingat. Mami Nuha benar-benar baik. Dia tidak seperti ibu mertua yang sempat hinggap dalam bayangan Anin. Yang kejam terhadap menantunya. Mungkin Anin terlalu banyak menonton film sinetron. Makanya, pikirannya jadi ikut tercuci. Kasihan juga dirinya, malah menjadi korban sinetron. Papi Damar pun demikian. Sama baiknya seperti Mami Nuha.
***
Setelah menempuh waktu perjalanan sekitar setengah jam, mobil hitam mengkilat milik Arka memasuki sebuah halaman rumah yang tidak terlalu besar, namun nampak mewah sekaligus asri. Banyak tanaman hias juga beberapa pohon rindang di halaman depan sampai belakang rumah. Membuat suasana tidak terlalu panas. Tanaman hias yang beragam macam pun jadi menambah kesan hidup pada rumah Arka. Lingkungan sekitarnya juga sangat bersih dan rapi. Sepertinya, Arka membayar orang untuk melakukan semua ini. Karena tidak mungkin juga suaminya yang pasti sibuk dengan berbagai urusan kantor itu sempat melakukan ini semua.
Saat kakinya menapak lantai rumah bagian dalam, tubuhnya mendadak membeku. Senyumannya perlahan memudar. Kondisi di dalam rumahnya sangat jauh berbeda dengan kondisi luar. Suram. Warna yang ditangkap netranya setelah menguliti seisi rumah ialah hitam, putih dan abu-abu, serta coklat. Sangat kontras dengan bagian luar yang terkesan berwarna. Bagaimana bisa? Anin jadi dibuat heran sendiri.
"Kamu mau tidur sama saya?"
Ditanya begitu, tentu saja Anin bereaksi terkejut. Ia menatap Arka dengan mata membulat. Apakah Arka akan menagih haknya? Tapi, tidakkah ini terlalu cepat? Begitu pikirnya. Namun jika dia menolak, pasti akan sangat berdosa. Tapi, Anin juga belum siap. Bahkan, mereka sama sekali belum mengenal lebih dekat satu sama lain.
Rasa panik mulai merasukinya.
Arka bingung sendiri melihat reaksi Anin. Apa dia terlalu berlebihan? "Ya sudah. Kamu tidur dengan saya. Kamu istri saya. Ayo!" Arka sudah berjalan lebih dulu di depan Anin. Mendahului wanita itu yang bahkan belum beranjak sedikitpun. Sibuk dengan pikirannya sendiri.
Wajah Anin mendadak pias. Arka benar. Saat ini Anin sudah menjadi istri sah dari laki-laki itu. Sah di mata agama maupun negara. Tidak ada alasan bagi Anin untuk menolak. Apapun itu. Tapi, Anin benar-benar merasa belum siap. Ia harus memikirkan banyak hal sebelum menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang suami. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Terutama masa depannya. Bagaimana jika suatu saat nanti … ternyata Arka akan meninggalkannya? Bukannya berdoa, hanya mencoba memikirkan hal terburuk jika seandainya dia sudah bersedia nanti.
Jantung Anin berdegup kencang. Ia sangat deg-degan. Apa yang harus ia lakukan dan katakan? Jujur atau bagaimana? Tapi Anin sungkan, jika harus menolak secara terang-terangan. Ia takut menyinggung perasaan Arka. Tapi, jika diiyakan saja … pasti akan menjadi beban pikirannya nanti.
Jadi, Anin harus bagaimana?
Di satu sisi … Arka adalah suaminya. Tapi, di sisi lain … Anin juga belum siap sama sekali.
Atau mungkin Anin mencoba berbicara baik-baik. Agar tidak menyinggung perasaan Arka dan membuat laki-laki itu kecewa atau mungkin marah. Dia mungkin bisa meminta agar Arka mau menunggu sampai dia benar-benar siap lahir dan batin. Mungkin, Anin bisa mengajak Arka saling mengenal lebih dalam, tanpa harus tergesa-gesa. Ya, itu mungkin lebih baik.
Di saat Anin sibuk dengan segala pemikirannya, Arka seperti baru tersadar, jika Anin tidak menghiraukannya sama sekali. Ketika berbalik, benar dugaannya. Anin belum beranjak sedikit pun dari tempatnya. Arka mengehela napas. Kakinya kembali melangkah menuruni anak tangga.
"Saya tau, mungkin rumah ini tidak sebesar rumahmu yang dulu. Tapi, setidaknya ini cukup untuk kita tinggali berdua. Tapi, jika kamu merasa kurang nyaman … mungkin saya akan coba cari rumah yang lebih luas dan membuatmu merasa nyaman." Panjang lebar Arka berkata, namun Anin ternyata sama sekali tidak merespon. Wanita itu masih sibuk dengan dunianya sendiri.
Arka mengernyit. "Anin ...." Ia mencoba memanggil nama sang istri. Namun, Anin tetap tidak menyahut. Istrinya melamun.
Tangan Arka bergerak pelan menyentuh bahu Anin.
"Apa ini tidak terlalu cepat, Mas?" Anin yang merasa kaget, tanpa sadar langsung mengeluarkan pertanyaan yang seharusnya bisa ia tahan.
Arka mengernyit. "Cepat? Cepat apanya?" tanya Arka sama sekali tidak mengerti. Ia menatap Anin bingung.
Anin balas menatapnya dengan tatapan tidak enak hati. Bibir wanita itu menyunggingkan senyuman canggung. "Anin minta maaf," ucapnya pelan. Berusaha agar Arka tidak salah paham.
"Maaf? Untuk apa?" tanya Arka lagi. Semakin tidak mengerti.
"Maaf karena Anin belum siap." Akhirnya … Anin bisa mengatakan yang sesungguhnya. Dia merasa percuma berbasa-basi, lebih baik to the point saja.
"Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa nggak pas sebelum menikah?" tanya Arka sambil duduk di kursi yang tidak jauh dari posisi mereka.
Anin menunduk. Berjalan pelan, lalu ikut duduk di kursi sebelah Arka. Jemarinya saling bertaut. "Maaf," ucapnya sekali lagi.
Arka menghembuskan napasnya pelan. "Jadi, kamu maunya bagaimana sekarang?" tanya Arka kemudian.
Anin terdiam sejenak. "Bagaimana kalau kita memulai dari yang paling dasar. Saling mengenal, maybe. Jangan terlalu tergesa-gesa, itu tidak baik juga, kan? Lagian … masih banyak waktu. Dan juga … Anin kayaknya masih sedikit lelah. Mas juga pasti lelah, kan? Mami sama Papi juga sepertinya belum membahas ini, kan? Dan … ada Ridha juga. Pasti, mereka tidak akan menuntut lebih." Anin mengakhiri ucapannya dengan senyuman lebar yang sangat terlihat polos. Ia tidak begitu yakin, jika apa yang dikatakannya barusan bisa membuat Arka paham. Tapi, semoga saja bisa.
Sedangkan Arka terdiam. Ia berusaha mencerna apa maksud dari ucapan Anin barusan.
Hingga akhirnya, dia membulatkan mata dan menyemburkan tawa. Membuat Anin menjadi bingung.
*****
Sungai Raya Kepulauan, Jumat 6 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro