
Part 5
"Jadilah istri yang patuh pada suami. Jaga kehormatan suamimu, saat dia ada maupun tidak ada. Karena mulai sekarang, surgamu ada pada suamimu."
Nasihat Budhe Rizka saat sebelum dirinya dan Arka berangkat menuju Jakarta terus terngiang-ngiang di pikirannya. Sebelumnya, Budhe Rizka juga Pakde Fauzan meminta maaf karena baru memberitahu perihal kondisi bundanya yang sebenarnya. Anin tidak marah kepada mereka sebenarnya. Dia hanya sedikit kecewa. Mungkin jika marah … Anin lebih marah kepada dirinya sendiri. Bagaimana bisa, dia yang notabenenya ialah anak kandung tidak tahu sama sekali perihal penyakit yang diderita oleh bundanya. Anin merasa dibodohi. Ia bahkan tidak bisa menyadari gelagat aneh sang bunda selama ini. Suatu penyesalan yang membuatnya seolah marah pada dunia. Padahal tidak. Anin marah pada dirinya sendiri.
Anin melirik sekilas ke arah Arka yang tengah fokus pada iPad-nya. Suaminya itu, sejak mereka berangkat dari Surabaya terus saja sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi panjang tersebut. Anin juga tidak tau apa yang suaminya lakukan. Tidak terlalu peduli juga. Kemudian, netranya kembali menatap ke luar jendela mobil. Pemandangan yang masih saja sama seperti saat dirinya belum pindah ke Surabaya. Macet. Asap kendaraan di mana-mana. Suara bising kendaraan. Serta rasa pengap. Sudahlah hari semakin terik, keadaan jalan yang nampak seperti tidak ada celah untuk mobil yang ditumpanginya menyelip itu pun menambah kegerahan untuk Anin. Sekalipun mobil yang ditumpanginya memiliki AC. Tetap saja.
Tririring … Tririring …
"Halo, Mi."
Anin kembali menoleh ke arah Arka yang nampak tengah mengangkat telepon dari … mungkin maminya.
Arka melirik sekilas ke arah Anin. "Tapi, Mi--"
Anin mengernyitkan keningnya, saat Arka menghembuskan napas kasar. Ada apa sebenarnya?
"Baiklah-baiklah."
"Ada apa?" Anin tidak dapat menahan dirinya untuk tidak bertanya saat Arka baru saja menutup telepon.
"Mami nyuruh kita ke rumahnya dulu. Menginap di sana dan baru pulang ke rumah saya besok atau lusa," jelas Arka. Namun, laki-laki itu nampak tidak senang, jika mereka harus ke rumah mertuanya dulu. Tapi, Anin berusaha masa bodoh. Lagipula, mungkin itu hanya perasaannya saja. Jadi, Anin hanya membulatkan mulutnya. Seolah paham dan menandakan jika dia setuju.
Setelah itu, tidak terjadi percakapan. Mereka saling diam. Sibuk dengan dunia masing-masing. Hingga mobil berhenti di depan sebuah halaman rumah yang cukup mewah dan luas.
Padahal, Anin sudah bertemu bahkan mengobrol dengan mertuanya, tapi tetap saja. Saat bertatap muka langsung di istana mereka … rasanya Anin seperti seorang gadis yang baru akan dikenalkan oleh sang pacar pada keluarganya.
Mertuanya menyambut dengan senyuman lebar. Mata mereka juga berbinar. Sedikit membuat rasa gugup yang dialaminya mereda. "Anggap saja seperti rumah sendiri. Jangan sungkan-sungkan," ucap Mami Nuha yang tengah merangkul Anin. Mereka berjalan menuju ruang tengah.
Sejak Anin menginjakkan kaki ke dalam rumah mertuanya, matanya tidak bisa lepas dari setiap objek yang ada di dalam rumah tersebut. Dia tidak bisa untuk tidak memperhatikan sekelilingnya. Merasa takjub.
"Mami, Anin pasti capek. Biarkan dia beristirahat." Teguran dari Papi Damar membuat Mami Nuha sedikit menampakkan wajah merajuk. Terlihat lucu.
"Hm … tidak apa-apa kog, Pi." Anin jadi merasa bersalah.
"Benar apa kata Papi. Anin harus istirahat." Tanpa banyak bicara lagi, Arka langsung saja menariknya menuju lantai atas.
"Mas!" Anin langsung menyentak tangan Arka saat mereka sudah berada di sebuah kamar yang segala perabotannya tertata dengan rapi. "Nggak sopan, tau nggak sih! Anin jadi ngerasa nggak enak kan, sama Mami," cerca Anin.
"Tapi kamu beneran capek, kan? Bersih-bersih lalu istirahat. Saya tidak mau kalau kamu sampai sakit." Pipi Anin tiba-tiba saja merona. Ia merasa, jika Arka mulai mencintainya. Terbukti dari laki-laki itu yang sangat perhatian dan juga mencemaskan kondisi kesehatannya. "Jika kamu sakit, saya bisa dimarahi habis-habisan oleh Mami. Jadi, jangan sampai kamu membuat saya repot." Namun, semuanya tidak bertahan lama.
Dan tanpa merasa bersalah sedikitpun, suaminya itu melenggang masuk ke dalam kamar mandi.
"Tadi dia sendiri yang nyuruh bersih-bersih. Tapi, malah dia sendiri yang bersih-bersih. Dasar aneh! Untung suami." Mulut Anin terus menggerutu sambil membuka kopernya dan mengambil pakaian yang dibutuhkan.
Sambil menunggu Arka yang mungkin tengah mandi, Anin duduk di tepian ranjang. Netranya menatap seisi kamar sang suami dan terhenti pada sebuah figura berisi foto Arka dan keluarganya.
Anin kemudian menunduk. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah. Ia merindukan orangtuanya. Ayah dan bundanya yang selalu mencurahkan kasih sayang. Yang selalu menjadi malaikat pelindung saat dia tengah terpuruk. Dan kini … mereka sudah tidak ada. Menyisakan kenangan yang membuat rindu berubah menjadi sesak di dada.
"Kenapa kalian nggak pernah jujur sama Anin?" gumam Anin. Pengelihatannya kabur oleh genangan air mata.
Allah begitu adil. Setelah kepergian orangtuanya, Allah mengirimkan Arka sebagai pengganti. Yang akan menjadi tempat Anin pulang, meski akan terasa berbeda. Namun Anin yakin, jika di balik semua ini ada sebuah rencana besar. Tentunya sebuah rencana baik untuk kehidupannya, setelah segala perjuangan yang akan dilaluinya nanti. Jadi, Anin tentu akan berjuang. Tidak hanya berjuang, ia juga akan bersabar dan tabah dalam menerima semua yang telah terjadi. Qodarullah. Tentu tidak dapat diganggu gugat.
Anin melirihkan sebuah janji dalam hati, jika dia akan berusaha menjadi istri yang sholeha untuk sang suami. Anin tidak mau menjadikan pernikahan yang seharusnya bisa dijadikan ladang pahala, malah berubah menjadi ladang dosa. Masalah cinta tidak cinta, bisa diurus belakangan. Yang terpenting adalah Anin melakukan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri.
Tok tok tok
Lamunan Anin buyar saat seseorang mengetuk pintu kamar. Ia segera menghapus air matanya dan beranjak membuka pintu.
Ternyata salah satu pembantu yang membawakan segelas susu, secangkir kopi, dan roti serta buah yang sudah dipotong-potong.
"Terima kasih, Bi," ucap Anin dengan senyum ramahnya.
Pembantu itu balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lantas berpamitan kembali ke dapur.
Setelah menutup pintu, Anin meletakkan nampan yang tadi dibawa oleh pembantu yang usianya nampak hampir setengah abad itu ke atas meja.
Namun, kembali Anin dibuat kaget saat mendengar suara lebih dari satu orang yang nampak berdebat. Anin jadi ngeri sendiri mendengarnya.
"Salah satu alasan kenapa saya nggak setuju bawa kamu ke sini."
Anin langsung mengalihkan fokusnya pada Arka yang duduk bersandar pada kepala ranjang sambil memainkan iPad-nya. Laki-laki itu sudah berganti pakaian dengan kaos rumahan dan celana pendek selutut.
"Maksud, mas?"
*****
Sungai Raya Kepulauan, Minggu 1 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro