Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2

   "Anin dapat pekerjaan di Jakarta, Budhe … Pakde." Anin membuka suara saat dia, budhe dan pakde, serta adik-adiknya duduk santai di ruang tengah.

Budhe Rizka yang merespon cepat. Ia menatap Anin dengan serius. "Terus … bagaimana dengan jawaban kamu?"

"Pak Damar dan istrinya akan ke sini lagi hari selasa, sesuai dengan apa yang kamu katakan tempo lalu," timpal Pakde Fauzan.

"Anin berangkat minggu depan. Jadi, saat keluarga Pak Damar datang kembali nanti … Insya Allah, Anin sudah ada jawabannya," jawab Anin tenang. Setelah malam itu, memang setiap malam Anin selalu meminta pada Sang Kuasa untuk memberikan petunjuk atas semua teka-teki di hidupannya. Ia tidak mau nantinya salah dalam mengambil langkah. Ini perihal masa depan. Salah-salah, Anin bisa menyesal di kemudian hari.

Pakde Fauzan dan Budhe Rizka saling pandang. Mereka tentu saja merasa khawatir. Tapi, Anin sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Mereka tidak mungkin menahan Anin untuk tetap tinggal bersama mereka di sini. Setidaknya, lingkungan tempat Anin bekerja nanti tidak terlalu asing lagi bagi dirinya, karena Anin yang lahir dan tumbuh di Ibu Kota.

"Kakak mau balik lagi ke Jakarta? Ke rumah kita?" tanya Zila polos.

Anin terhenyak mendengarnya. Ia tersenyum pahit. Bibirnya kelu hanya untuk menjawab pertanyaan polos dari adiknya, Zila.

"Zila … tidur, yuk!" ajak Hana langsung sebelum adiknya itu semakin banyak melontarkan pertanyaan.

Anin menatap Hana yang menganggukkan kepalanya. Beruntung Hana peka dan langsung bertindak.

"Pakde sama Budhe nggak bisa nahan kamu buat melakukan apa yang menurut kamu baik. Asalkan itu semua membuat kamu nyaman. Termasuk soal pekerjaan dan pernikahan. Kami tidak akan memaksa kamu," tutur Pakde Fauzan saat Hana dan Zila sudah masuk ke dalam kamar.

"Minta petunjuk sama Allah. Jangan sampai keliru dalam mengambil langkah," timpal Budhe Rizka sambil mengusap lengan Anin.

Anin menatap budhenya sambil tersenyum. "Doakan saja yang terbaik untuk Anin yaa," pinta Anin sambil memeluk budhenya dari samping.

***

   "Bismillahirrahmanirrahim, atas izin Allah … Anin menerima lamaran dari Mas Arka."

Pandangan Arka dan Anin bertubrukan. Tajam dan menusuk. Bulu kuduk Anin sampai meremang ditatap sedemikian intens oleh laki-laki yang sudah menjabat sebagai calon suaminya itu.

"Alhamdulillah!" seru keluarga Anin maupun Arka juga Pak RT, RW, dan beberapa tetangga dekat rumah Pakde Fauzan yang turut hadir malam ini, menjadi saksi Anin dipersunting oleh seorang laki-laki, yakni Arka.

Setelah kemarin memberitahu pakde dan budhe tentang keputusan yang sudah diambilnya, budhe dan pakdenya terus memberitahu orangtua Arka dan beberapa tetangga dekat rumah mereka serta Pak RT dan Pak RW. Budhenya bahkan membuat beberapa kue untuk dihidangkan sewaktu malam lamaran.

"Bagaimana kalau akad pernikahannya kita laksanakan sebelum nak Anin ke Jakarta?" usul Mami Nuha.

"Mana bisa, Mi!" Arka langsung membantah cepat.

"Papi setuju. Akadnya kita langsungkan di sini saja. Biar nanti untuk resepsinya kita gelar di Jakarta." Papi Damar malah sependapat dengan sang istri.

"Apa tidak terlalu tergesa, Pak?" tanya Pakde Fauzan.

"Saya rasa tidak, Mas Fauzan. Lebih cepat lebih baik," sahut Papi Damar.

"Dan biar ada yang jagain Anin waktu di Jakarta nanti," timpal Mami Nuha.

"Tapi, apa nak Arka akan mengizinkan Anin bekerja nantinya?" tanya Budhe Rizka ingin memastikan.

Semua mata tertuju pada Arka. Menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir laki-laki itu. Termasuklah dengan Anin yang ikut menatap Arka.

"Selama itu hal baik dan membuat Anin nyaman, saya rasa tidak ada masalah," sahut Arka sambil menatap Anin dengan ulasan senyum tipis.

Bukan kenyamanan Anin yang benar-benar dimaksudkan oleh Arka barusan. Tapi, lebih kekenyamanan dirinya sendiri. Arka tidak mau direpotkan oleh Anin saat mereka sudah menikah nanti. Tapi, demi menghormati dan menghargai pakde dan budhenya Anin serta menjaga nama baik keluarga di depan orang-orang yang hadir malam ini, jadi Arka memilih kalimat yang bisa membuat seolah-olah Arka memikirkan Anin, bukan dirinya.

Budhe dan pakdenya Anin saling pandang sesaat. Mereka bersyukur karena setidaknya, mereka tidak akan perlu merasa khawatir nantinya. Arka merupakan sosok laki-laki yang bertanggung jawab. Jika Anin menikah dengannya nanti, pastilah laki-laki itu akan menjaga dan melindungi Anin. Sekalipun belum ada tumbuh perasaan cinta di antara mereka.

"Bagaimana nak Anin?" Keputusan dikembalikan kepada Anin.

Anin terdiam. Ia gamang. Tidak tahu harus menjawab apa. Dia mungkin memang sudah memantapkan hatinya untuk dibersamai dengan Arka, namun … bagaimana dengan laki-laki itu sendiri?

Arka menangkap raut bingung dari wajah Anin. "Apa Arka boleh berbicara sebentar dengan Anin? Hanya berdua?"

"Mau apalagi sih, Ka?" tanya Mami Nuha. Ia takut jika anaknya akan berulah dan membuat rencana mereka gagal total.

"Silahkan. Tapi, biarkan Nisa menemani kalian," sahut Pakde Fauzan.

Ketiganya lantas beranjak menuju halaman samping.

"Kamu duduk di sini aja, Nis," pinta Anin pada adiknya.

Nisa hanya menurut. Dari tempatnya duduk, dia masih bisa melihat apa yang dilakukan oleh Anin dan Arka. Namun, untuk menangkap pembicaraan keduanya Nisa tidak bisa.

"Jika kamu ragu, ungkapkan saja." Arka membuka suara tanpa berbasa basi terlebih dahulu.

Anin tersentak. Ia menatap Arka yang juga menatapnya. "Bukankah Mas yang ragu?" Anin berbalik tanya.

Arka tersenyum miring. "Mau kamu bagaimana sekarang?" tanya Arka.

"Jujur saja, Mas sama sekali tidak pernah setuju kan sama perjodohan ini?"

"Tepat sekali."

Anin memalingkan wajahnya. "Batalkan saja," ucapnya. Matanya sudah berkaca-kaca. "Anin hanya tidak mau mempermainkan pernikahan. Anin hanya ingin menikah satu kali seumur hidup." Anin menatap Arka lekat-lekat.

Arka terenyuh. Tatapan Anin benar-benar menunjukkan keseriusan. "Saya juga tidak berniat menikah berkali-kali," sahut Arka berusaha santai.

"Anin serius, Mas."

"Dua hari sebelum kamu ke Jakarta kita menikah," tandas Arka.

Anin menatap Arka tajam. Tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan oleh laki-laki itu.

"Jangan bercanda!" tukasnya kesal.

Arka ini seolah menganggap enteng semuanya. Apa dia belum mengerti apa makna sebuah pernikahan yang sebenarnya?

"Saya serius," tegas Arka. "Sekali pun saya tidak mencintai kamu, tapi saya juga tidak memiliki niat sedikit pun untuk mempermainkan pernikahan."

Anin terdiam di tempatnya. Bingung dengan perkataan Arka barusan. Apakah laki-laki itu tidak memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya nanti? Kenapa dia santai sekali?

Dari tempatnya, Nisa memperhatikan Anin dengan sendu. Merasa prihatin dengan kondisi kakaknya. Nisa hanya berharap, semoga Allah selalu mengulurkan tangan-Nya melalui berbagai perantara untuk membantu kesusahan sang kakak.

*****

Sungai Raya Kepulauan, Minggu 16 Februari 2020


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro