Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12

   Arka mengendarai mobilnya dengan perasaan campur aduk. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Dengan sangat terpaksa, Arka harus tetap berada di kantornya. Mengundurkan niat untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Anin. Tersebab schedulenya yang sangat padat. Dan semua jadwalnya hari ini sangat berpengaruh pada kokohnya perusahaan. Jika Arka salah ambil langkah apalagi lengah sedikit saja, ia akan menaaskan nasib ratusan karyawannya. Bukan hanya karyawan yang bekerja di perusahaan induk, tapi juga di beberapa anak perusahaan. Arka tahu, kemungkinan besar Anin pasti sudah lelap dalam buaian mimpi. Tapi, Arka hanya ingin memastikan jika istrinya itu tetap berada di rumah dan tidur di dalam kamar mereka. Entahlah, Arka hanya khawatir jika Anin nekad pergi dari rumah. Seperti apa yang ada di sinetron yang sering ditonton maminya. Arka sampai sangat hafal alurnya, saking seringnya diminta sang mami menemaninya menonton sewaktu Arka memiliki waktu senggang. Membosankan, tapi tidak mengapa jika hal itu bisa membuat cinta pertamanya bahagia dan merasa nyaman.

Sampai di rumah, keadaan nyaris gelap gulita. Bi Atika nampak terkantuk-kantuk saat membukakannya pintu. Pasti wanita paruh baya itu menungguinya hingga tertidur di sofa. Lain kali, Arka akan meminta Bi Atika untuk tidak menunggunya pulang.

"Anin mana, Bi?" Pertanyaan pertama yang Arka lontarkan.

"Di ruang kerjanya, den. Sejak tadi kembali dari kantornya aden, non Anin ndak keluar-keluar." Bi Atika buka suara. Menjawab sekaligus menjelaskan.

Arka menyerahkan tas kerja beserta jasnya kepada Bi Atika. Meminta tolong untuk dibawakan ke ruang kerjanya. Sedangkan dirinya berjalan cepat menuju ruang kerja Anin. Dengan patuh, Bi Atika melaksanakan perintah dari majikan mudanya.

Tanpa mengetuk atau berseru memanggil, Arka langsung menerobos masuk. Gelap. Lampu ruangan tidak dinyalakan. Tangan Arka mencoba menyalakan lampu. Setelah cahaya menerangi ruangan, Arka dapat melihat Anin yang sedang duduk menatap ke luar jendela. Wanita itu belum tidur. Anin pun seolah tidak hirau akan kehadiran seseorang di dalam ruangannya.

"Sayang ...." Arka hendak menyentuh pundak Anin.

"Anin ingin sendiri." Tapi gerakannya langsung terhenti saat mendengar tiga kata itu.

Anin beranjak berdiri. Berbalik dan berjalan menuju pintu ruangan yang sebelumnya kembali Arka tutup. Membukanya, dan memberikan isyarat untuk Arka keluar. Anin sadar. Mungkin apa yang baru saja ia lakukan telah sangat berdosa. Mengusir suami sendiri. Istri macam apa dia. Tapi ... hatinya tidak bisa bersandiwara. Hatinya tidak sekuat itu untuk tetap menguatkan raga bekerja seolah tidak ada masalah apa-apa.

Arka menelan ludahnya. Ia nanar menatap Anin yang terus menatap lurus dengan pandangan kosong. Bahkan, istrinya itu tidak meliriknya sedikit pun. "Anin ... kamu salah--"

"Please," sela Anin dengan nada rendah.

Sikap Anin yang dingin membuat Arka sangat yakin jika istrinya itu benar-benar marah.

Kepala Arka berdenyut. Ia memijat pelan pelipisnya. Sudah terlalu larut juga untuk mereka membahas masalah tadi. Arka pun dalam keadaan lelah. Jika memaksakan, yang ada malah perang dunia yang terjadi. Membiarkan Anin mendinginkan kepalanya mungkin merupakan cara yang terbaik. Arka pun perlu istirahat. Besok dia harus terbang ke Kalimantan. Ada urusan penting yang cukup mendadak. Tadi sore, sekretarisnya baru memberitahukan hal tersebut, yang juga baru diketahuinya lima menit sebelum dia memberitahukannya ke Arka.

Menghembuskan napas, Arka melangkah gontai. "Istirahatlah. Sudah sangat larut. Besok aku akan ke Kalimantan, sebelum aku pergi ... aku harap semua ini sudah membaik. Good night." Setelah mengatakan hal tersebut, Arka keluar dari ruangan sang istri menuju kamar mereka di lantai dua.

Sepeninggal sang suami, Anin menutup pelan pintu. Tubuhnya merosot. Memejamkan mata, memori masa lalu kembali terputar. Anin membiarkan. Tidak mencoba menghalau seperti yang sering dilakukannya. Masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran, bukan penyesalan. Masa lalu hadir kembali untuk memperingati agar di masa depan, hal serupa tidak terulang kembali. Dan harapan Anin demikian. Persis. Ia juga sangat tidak ingin, jika apa yang pernah dialaminya kembali terulang.

***

   Adzan berkumandang. Menyeru, mengajak para umat muslim untuk bersujud pada Ilahi Rabbi. Arka sedikit terlambat bangun. Jadi, ia melaksanakan sholat di rumah dengan Anin sebagai makmumnya. Entah sejak kapan, istrinya itu sudah berada di dalam kamar. Di pojok dekat sofa pun sudah tersedia koper mini miliknya.

Arka melengkungkan bibir. Meski dalam keadaan marah dan kecewa, Anin tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Terbukti. Selain menyiapkan perlengkapannya selama di luar kota nanti, Anin juga turut mempersiapkan sarapan dengan menu kesukaan Arka. Pakaian yang akan Arka gunakan pun sudah siap di atas ranjang mereka saat Arka keluar dari dalam kamar mandi.

Selesai bersiap-siap, Arka mendapati Anin tengah duduk di depan meja riasnya. Turut bersiap untuk berangkat kerja.

Arka tidak punya banyak waktu. Ia melangkah mendekat. Lalu memeluk Anin dari belakang secara tiba-tiba, sampai membuat wanita itu berjengit kaget. Nyaris berteriak. Nampaknya, tadi Anin asik melamun.

"Namanya Anneke Felicia. Sahabat aku dari kecil. Aku bahkan udah menganggapnya seperti adikku sendiri." Arka membuka pembicaraan dengan posisi yang tidak berubah. "Seharusnya dia masih di London, tapi ... dia tiba-tiba saja datang ke Jakarta dan menceritakan sebuah kejadian buruk yang menimpanya sewaktu di London." Tidak ada niat sedikit pun untuk Arka melepas pelukannya. Ia tersenyum tipis saat melihat ekspresi Anin melalui pantulan cermin yang sudah menunjukkan ketertarikan. "Feli cerita kalau dia hamil. Yang jelas, janin itu bukan darah dagingku." Anin dapat melihat seringai Arka melalui pantulan cermin.

Anin berdecak pelan. "Lantas? Anak sepupunya? Yakali," ketus Anin menyahut. Atau mungkin lebih bisa dikatakan menyela.

"Yes. Itulah alasan kenapa Feli sangat panik dan cemas."

Anin langsung berbalik dan menatap Arka lekat. "Jangan bercanda!" tukasnya.

"Apa hal yang seperti ini bisa dianggap main-main?" balas Arka dengan sebelah alis ternaik.

Anin membulatkan matanya tidak percaya. Apa Feli sudah tidak waras?! "Bagaimana mungkin?" tanya Anin nyaris menjerit.

"Accident. Mereka mabuk dan akhirnya semua terjadi tanpa bisa dicegah," jawab Arka sambil menangkup wajah sang istri. "Jangan salah paham. Aku nggak pernah bermain curang dan nggak akan pernah. I'm promise, my perfect wife."

Satu kecupan lembut mendarat di kening Anin. Wanita itu memejamkan matanya. Tangannya dilingkarkan di pinggang sang suami. Lantas memeluk Arka. Meminta maaf atas sikapnya yang mungkin terlalu childish. "Mas boleh kog, marahin Anin," ucapnya polos.

Arka tersenyum. Kepalanya menggeleng. "Nggaklah. Aku malah senang. Karena itu berarti ... kamu mencintaiku."

Anin mendelik dan mencibir pelan. Namun, pipinya yang merona tidak dapat diajak bekerja sama.

*****

Sungai Raya Kepulauan, Kamis 19 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro