The Haunting
Sukses, tampan, dikelilingi kemewahan, dan memiliki kelas sosial yang yang tinggi, menjadikan Yan an, seorang pengusaha muda sukses kota Shanghai menjadi sosok yang dipuja. Penampilannya yang sempurna, selalu menjadi pusat perhatian di setiap acara. Mengundang tatapan kagum sekaligus iri, setiap kali tubuh bak modelnya berbaur didalam pesta para kelompok elit. Tapi pasti tak akan ada yang menyangka bahwa di balik tatapan matanya yang tajam, tersimpan kegelapan yang mendalam. Bagaimana wajah dan kepribadian mempesona itu menjadi sosok yang berbeda. Ia bukan lagi pria pujaan, melainkan pemburu kejam yang haus darah.
Yan an mendapati dirinya mengingat kembali segala hal yang terjadi di dalam mansion megah yang dia tempati saat ini. Disini, di balkon mansionnya, Yan an menyaksikan bagaimana rintik hujan membiaskan cahaya senja. Membuat wajah pualamnya terlihat makin mempesona, karena semburat merah yang dihadirkan langit sore kota Shanghai. Hembusan dingin yang dihasilkan bulir bening dari langit, membawa nuansa yang sama dimana sebuah kenangan yang menarik bermain didalam kepala Yan an. Sebuah kenangan yang membuat ujung bibirnya terangkat membentuk senyuman dingin yang mempesona tapi juga menakutkan.
"Kapan terakhir kali? Dua bulan yang lalu? Atau...tiga bulan yang lalu?" Monolog Yan an seraya mengingat hal menarik yang mampir kedalam pikirannya ketika menikmati rintik hujan.
Memejamkan mata beberapa hitungan, Yan an melebarkan kurva dibibirnya sebelum kemudian kembali mengarahkan pandangan pada langit senja.
"Apa sudah saatnya kembali membuat daftar baru?" Kembali Yan an bermonolog.
Diam sesaat, Yan an bangkit ketika angin mulai semakin kencang bertiup. Tidak, Yan an tidak menghindari udara dingin yang membuat bulu di kulit mulusnya berdiri. Dia juga tidak menghindari hujan yang sedikit masuk ketempatnya duduk. Yan an pergi, karena dia harus melakukan hal menarik yang tiba-tiba saja ingin dilakukannya saat melihat hujan yang semakin deras membasahi kota Shanghai.
********
Seminggu sudah, dan hujan masih membasahi kota Shanghai. Meski matahari sempat memberi kehangatan, tapi hari itu hujan kembali turun dengan derasnya. Hari itu bahkan hujan turun lebih lebat dari biasanya, memberikan nuansa suram pada mansion mewah milik Yan an. Yan An duduk di ruang kerjanya, memandangi sebuah foto yang ada di tangannya. Menarik senyum dingin, kepala Yan An memainkan hal-hal menarik yang menjadikan adrenalin mengalir dalam dirinya, sensasi yang membuatnya merasa hidup.
Bersamaan dengan suara gemuruh kecil, suara bel pintu berbunyi. Mengalihkan atensi Yan an yang semula fokus pada foto ditangannya. Segera bangkit, Yan an melangkah melintasi ruang tamu yang sepi. Karena memang mansion mewah itu hanya diisi oleh Yan an.
"Owww...selamat datang nona Mei Lin, maaf membuatmu harus menembus badai." Memasang senyum semenewan mungkin, Yan an menyambut tamu cantiknya.
Sang tamu tersenyum, sebelum membalas dengan bibir bergetar.
"Tidak masalah tuan An. Aku merasa terhormat akhirnya anda menerima tawaranku untuk di wawancara."
Yan an melebarkan senyumnya, lalu memberi ruang agar sang tamu bisa memasuki mansionnya.
"Silahkan masuk, terlalu dingin diluar. Aku khawatir nona bisa sakit." Siapapun pasti akan meleleh ketika Yan an memasang gaya gentle nya seperti saat itu.
Mengangguk, tanpa ragu wanita berprofesi sebagai jurnalis itu memasuki mansion Yan an. Tidak banyak yang pernah di undang ke mansion itu. Karena itu Mei Lin tak bisa menyembunyikan senyumnya saat berada di mansion mewah sang pengusaha tampan.
"Tea or coffe?" Yan an menawarkan minuman hangat itu dengan suara rendah dan lembut, namun karena Mei Lin sibuk menjelajahi setiap sudut mansion Yan an dengan lensa matanya, menjadikan dia sedikit terkejut.
"Aku ingin secangkir teh, terimakasih." Sungkan Mei Lin membalas
Yan an mengangguk, lalu menunjuk sofa kosong yang ada di ruang tengah.
"Silahkan buat dirimu nyaman nona, aku buatkan teh untukmu dulu." Usai mengatakan itu, Yan an berlalu meninggalkan Mei Lin yang kembali menjelajahi setiap sudut mansion mewah Yan an.
Tempat itu benar-benar sepi. Selain suara hujan, tak ada suara lain yang tertangkap rungu Mei Lin. Sebenarnya itu cukup membuat sang junarlis bingung, namun kemegahan yang mempesona matanya segera mengusir kebingungan itu. Menempati sofa dengan nyaman, Mei Lin mengeluarkan laptopnya. Dia harus segera melakukan sesi wawancara, saat Yan an kembali dari membawa teh miliknya, begitu batin Mei Lin.
"Aku tidak membuatmu menunggu kan?" Kembali Yan an membuat Mei Lin yang sibuk dengan folder di laptopnya terkejut.
Mei Lin benar-benar tak mendengar suara langkah mendekat. Mansion terlalu tenang, sehingga benar-benar hanya suara hujan yang mendominasi tempat itu.
"Tidak." Mengadahkan pandangannya menatap Yan an yang meletakkan secangkir teh diatas meja, Mei Lin menjawab.
Sang junarlis sempat merasa gugup, karena wajah Yan an cukup dekat dengannya saat dia mengadah.
"Minumlah dulu, agar tubuhmu sedikit hangat." Setelah mengatakan itu, Yan an segera menempati kursi di seberang sofa yang ditempati Mei Lin.
Tak banyak membantah, Mei Lin meraih cangkir teh itu. Dia sempat kagum pada desain cangkir teh tersebut, sebelum kemudian meneguk cairan hangat dengan rasa menenangkan yang disajikan oleh Yan an.
"Tuan An, keberatan jika kita mulai wawancara sekarang?" Mei Lin berujar setelah meletakkan kembali cangkir minumannya diatas meja.
"Tentu." Yan an menjawab seraya menyandarkan nyaman tubuhnya di sofa.
Mengagumkan adalah kata yang berputar dikepala Mei Lin, saat pria tampan dihadapannya menyilangkan kaki dan menatap lurus padanya seraya tersenyum hangat.
"Jadi tuan An..." Mei Lin menahan ucapannya, saat melihat Yan an yang menekuk satu persatu jemarinya. "....apa yang anda lakukan?" Mei Lin menahan pertanyaan yang semula akan menjadi pembuka wawancara itu, dan menganti dengan sesuatu yang membingungkan yang saat itu terjadi didepannya.
"Menghitung mundur." Tanpa menghentikan gerakan menekuk jarinya, Yan an menjawab.
"Huhh?" Kerutan samar tergambar dikening Mei Lin, dan hal itu membuat Yan an merekahkan senyumnya lebar.
"Sekitar lima menit, mungkin...atau kurang. Karena tadi aku tidak benar-benar menakar dosisnya." Yan an terus menekuk setiap jemarinya.
"Maksud anda?" Mei Lin merasa keningnya sakit, dan dia mengira itu karena dia terus mengerutkan keningnya.
Namun rasa sakitnya perlahan meningkat, dan Mei Lin yakin rasa sakit itu muncul bukan dari sesuatu yang sederhana yang terlintas didalam kepalanya.
"Sepertinya sudah mulai bekerja." Seiring dengan senyum Yan an yang semakin melebar, pandangan Mei Lin mulai kabur.
Hal itu membuat Mei Lin panik. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, bangkit dari duduknya seraya mengusap matanya, namun pada akhirnya ambruk karena rasa sakit dikepalanya membuat Mei Lin kehilangan kesadarannya.
********
Suara besi yang bergesek membuat ngilu. Menjadikan Mei Lin yang perlahan terbangun segera menoleh ke sisi kirinya tempat sumber suara berada. Mematung sesaat karena belum benar-benar meraih kesadarannya, mata Mei Lin membulat saat melihat Yan an sedang mengasah sebuah pisau besar tepat didekat Mei Lin. Reflek ingin bangkit, Mei Lin kembali jatuh terbaring karena ternyata tubuhnya dalam kondisi terikat kuat diatas ranjang. Rasa takut segera merayapi wanita cantik itu, terlebih ketika matanya bertemu dengan manik tajam Yan an yang kini tak lagi terlihat mempesona dimatanya.
"Sudah bangun." Itu jelas bukan sapaan hangat dari seseorang yang perduli pada Mei Lin. Karena ucapan itu terdengar dingin dan menakutkan bagi sang jurnalis.
"Tuan An, kenapa kau mengikatku?" Harusnya Mei Lin tidak bertanya, tapi rasa takut membuat IQ nya terasa berkurang.
"Tentu saja agar kau tidak melarikan diri." Dingin, dan tanpa beban Yan an menjawab.
"Tuan An..." Bibir Mei Lin bergerak tanpa suara.
Yan an tersenyum lebar, seraya mengikis jarak diantara dirinya dan Mei Lin.
"Tuan An, bisa lepaskan aku. Aku..."
"Tidak bisa, kau sudah tertangkap olehku. Kau tidak boleh pergi." Yan an menggeser kursi dan duduk tepat disisi tempat Mei Lin dibaringkan.
Mei Lin semakin ketakutan, terlebih ketika pisau besar ditangan Yan an menyentuh perpotongan lehernya.
"Tidak...akan terlalu cepat jika aku memotong bagian ini lebih dulu. Aku ingin sebuah proses lambat dan menarik. Jadi aku akan mencari bagian lain dulu." Airmata Mei Lin mengalir mendengar ucapan mengerikan yang meluncur dari bibir pria tampan seperti Yan an.
"Tuan An...kau tidak berniat membunuhku kan?" Dengan suara bergetar Mei Lin bertanya.
"Tentu saja itu niatku." Jawaban Yan an membuat airmata Mei Lin mengalir deras.
"Kenapa? Kenapa kau ingin melakukan itu?" Pertanyaan tersebut membuat raut wajah Yan an berubah.
"Artikelmu menganggu." Mei Lin menatap tak percaya Yan an karena jawabannya. "Bagaimana kau menulis segala sesuatu tentangku tanpa izin, itu menganggu." Lanjutnya kemudian.
Yan an bangkit dari duduknya, dan menatap datar wajah Mei Lin yang ketakutan.
"Siapa yang memberimu hak, menulis semua hal tentangku uhmm?" Tepat diakhir kalimat tanya nya, Yan an menancapkan pisau pesar yang ada ditangannya ke punggung tangan Mei Lin.
Jeritan wanita itu menjadi musik baru, di mansion mewah Yan an yang sepi. Bagaimana pisau tersebut menembus tangan Mei Lin, hingga tertancap sempurna diatas ranjang tempatnya berbaring jelas menggambarkan rasa sakit yang diwakili suara rintihan keras sang jurnalis.
"Itu pelecehan, aku merasa harga diriku terluka. Setiap bagian artikel yang kau tulis dengan tanganmu, membuatku kesal." Dan kembali teriakan Mei Lin menggema, saat tanpa perasaan Yan an mencabut pisau besar itu.
Mei Lin menangis keras, karena rasa sakit yang tak tertahankan. Sang junarlis bahkan sempat berteriak minta tolong hingga tenggorokannya sakit, namun usahanya tak ada hasil. Mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan oleh Mei Lin dimulai. Jeritan Mei Lin memenuhi ruangan, namun tak ada yang bisa mendengarnya. Di luar, hujan terus mengguyur, seolah alam pun menangis menyaksikan kengerian yang terjadi. Yan an menikmati setiap detik penyiksaannya, setiap teriakan kesakitan yang keluar dari bibir Mei Lin. Baginya, ini adalah bentuk seni, ekspresi tertinggi dari kuasa dan kontrol.
Malam semakin larut, dan akhirnya, Mei Lin terdiam untuk selamanya. Yan an memandang karyanya dengan senyum lebar penuh kepuasan. Tak ada rasa bersalah, Yan an justru terlhat mengagumi pemandangan mengerikan dihadapannya. Warna pekat darah, aroma anyir, dan bagian tubuh yang sudah tak lagi sempurna, semua itu membuat senyum diwajah Yan an semakin melebar.
"Ku kira kau cukup tangguh, ternyata kau sangat cepat menyerah." Mengusap kepala Mei Lin yang nyaris terpisah dari tubuhnya, Yan an berujar.
Menikmati sisa adrenalin yang perlahan mulai normal setelah kegiatan menyenangkan yang baru dia lakukan, Yan an membawa matanya menatap beberapa bagian tubuh Mei Lin yang sengaja dia pisahkan saat sang junarlis masih bernyawa. Memikirkan ide-ide menarik, Yan an memulai proses pembersihan. Tidak ada waktu tidur, semua dilakukan Yan an sepanjang malam. Bahkan meski terjaga karena kegiatan menyenangkan yang dia lakukan, Yan an masih bisa menatap langit pagi dengan tersenyum saat sudah selesai membereskan seluruh mainannya.
Menikmati secangkir cairan merah pekat berbau anyir, Yan an menghirup udara lembab. Sisa hujan masih ada, meski tak selebat semalam, memberi efek dopamine setelah kegiatan pacu jantung yang dilakukannya sepanjang malam. Siapapun yang melihat pemandangan mengagumkan yang ditampilkannya itu, tak akan pernah menyangka, bahwa ekspresi tenang itu didapatkan dari peristiwa mengerikan.
"Aku jadi tak sabar, menunggu hari hujan selanjutnya." Membuka matanya, Yan an merekahkan senyum cerah yang pasti akan memikat banyak mata jika melihatnya. Sebuah senyum yang menyembunyikan sisi gelap dari sosok pengusaha muda sukses yang terlihat begitu sempurna sepertinya.
_END_
Sorry for Typo
Thanks For VOTEMENT
❤️🌻HAEBARAGI🌻❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro