24. our night
Warning : mature konten
Nggak kerasa hari udah malem, padahal kami cuma ngabisin waktu dengan ngobrol, makan, dan makan camilan.
"Cepet abisin makanan lo, kita mau pergi ke suatu tempat," titah Lay saat gue masih ngabisin mie instan cup buat menu makan malem kali ini. Gue pun langsung makan dengan sedikit buru-buru sampe keselek. Lay langsung membuka botol air mineral dan memberikan ke gue yang masih terbatuk.
"Jangan buru-buru, keselek kan lo!" kata Lay sambil nepuk nepuk punggung gue.
Gue pun langsung minum air yang dia kasih buru-buru sampai habis setengahnya. "Kan lo yang bilang suruh cepetan tadi!" bales gue sewot setelah selesai minum. Sementara dia cuma diem aja kayak nggak ada rasa bersalahnya.
"Yaudah ayok lah," ajak gue. Males juga nerusin makan kalo udah kayak gini.
"Makanan lo belum abis." Lay menolak ajakan gue.
"Ya nggak papa,"
"Abisin dulu!" ucapnya sedikit memaksa.
Aduh gue bingung deh kapan sih gue nggak berdebat sih ama dia?
Pada akhirnya dia nungguin gue makan dengan sabar tanpa protes. Kami berdua ninggalin mobil dan jalan ke arah hutan yang lebih dalam dengan bergandengan tangan.
Satu-satunya penerangan cuma senter yang ada di tangan Lay sama di kepala gue.
Kami jalan cukup lama sampai Lay tiba-tiba matiin senternya yang bikin gue panik. Gue takut ditinggalin sendirian di tengah hutan begini. Tapi pas dia memeluk gue dari belakang dan juga matiin senter yang ada di kepala gue, gue nggak jadi takut.
Gue pun nolehin kepala gue ke belakang dan ngeliat muka Lay yang kelihatan samar karna cuma sinar bulan yang ngasih penerangan.
"Fokus sama depan lo, gue nggak ninggalin lo," ucapLay yang membuat gue nolehin kepala gue ke depan.
"Kunang kunang..." ucap gue reflek saat ngeliat pemandangan di depan gue.
Indah banget ngeliat kunang-kunang terbang berlarian ke sana kemari. Udah lama banget gue nggak ngeliat kunang-kunang. Terakhir waktu gue masih kecil. Saat Ayah dan Ibu masih bersama. Mengingat hal itu membuat tersenyum miris.
Badan Lay nggak beranjak dari posisi meluk gue, tapi gue nggak banyak protes. Dengan adanya dia di sini gue nggak merasa terlalu 'kosong'. "Kenapa lo suka kunang-kunang?" tanya Lay yang membuat gue tersadar dari lamunan.
"Mereka indah, punya cahaya sendiri," jawab gue pelan.
"Cuma itu?"
"Enggak. Mereka keliatan indah kalo bareng-bareng dan bisa jadi sumber penerangan, tapi kalo sendiri, mereka nggak akan keliatan. Sama kaya kita... tanpa temen-temen dan juga keluarga kita nggak mungkin bisa 'bercahaya' kayak sekarang."
Air mata gue perlahan menggenang. Bagaimana pun juga gue sampai titik ini karena kedua orangtua gue juga. Lay nggak merespon omongan gue, tapi gue bisa merasakan pelukannya mengerat. Sepertinya dia mengerti.
Gue bisa ngedenger suara jangkrik, hembusan angin yang bergemerisik diantara pepohonan, dan juga napas teratur Lay yang ada di belakang gue.
Kalo bisa, gue pengen berhentiin waktu sekarang....
Kami cukup lama berdiam diri buat ngeliat kunang-kunang itu sampai hujan rintik mulai turun. "Sial kenapa ujan!" umpat Lay kesal.
Dia langsung nyalain senter di kepala gue dan di tangan dia, lalu dia menarik tangan gue untuk kembali lagi ke van sambil berlarian di tengah rintik hujan. Karena jarak van yang lumayan, baju kamiudah basah semua pas masuk mobil.
Lay langsung mengambil handuk kecil dan naruh handuknya di atas kepala gue, dan dia mulai ngeringin rambut gue pake handuk itu.
"Rambut lo juga basah," kata gue saat melihat tetesan air yang mengalir dari rambutnya secara perlahan. Kondisi kami sama-sama kuyup sebenernya, tapi dia malah lebih milih ngeringin rambut gue lebih dulu.
"Rambut gue nggak sepanjang lo, lebih cepet kering pastinya."
Gue memilih diam dan membiarkan tangan Lay bekerja untuk mengeringkan rambut gue. Suhu di luar menurun drastis karna hujan makin deras. Gue cuma bisa nundukin kepala gue saat ini, dan di saat gue nunduk, gue baru sadar daleman gue tercetak jelas karena baju gue yang basah. Walaupun penerangan di dalem mobil minim, itu masih keliatan jelas.
Gue bisa ngerasa Lay yang tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya yang membuat gue reflek melihat ke arahnya. Dan gue ngeliat mukanya memerah. Gue pun ngambil anduk kecil di tangan dia untuk nutupin apa yang harus ditutup.
Kondisi kami canggung parah...
"Baju lo basah, nanti masuk angin."
"Gue gak ada baju lagi. Baju tadi sore kan udah kotor,"
"Ya udah, lo lepas aja, bisa pake selimut kan," kata Lay sambil nunjuk selimut yang ada di bagian belakang. Gue nggak pernah kepikiran untuk terjebak dalam keadaan kayak gini sama cowok brengsek macam Lay. Gue ngerasa serba salah sekarang.
Lay kemudian pindah posisi ke balik kemudi dan dia ngelepas bajunya yang basah tanpa aba-aba. Hal itu membuat gue bisa ngeliat otot perut dan tangannya yang tercetak jelas. Ini bukan pertamakalinya gue ngeliat dia telanjang dada. Tapi ini pertamakalinya gue ngeliat dia buka baju di depan gue, dan itu nggak bagus buat kesehatan jantung gue.
"Gue di sini aja, lo aman kok ganti di belakang."
Gue pun akhirnya membuka baju gue dan ngumpet di balik selimut di belakang van. Sedangkan Lay masih dalam posisinya di balik kemudi.
"Sorry lo jadi gak bisa liat kunang-kunangnya lebih lama," kata Lay membuka percakapan di keadaan kami yang canggung ini.
"Gak apa-apa, makasih udah menuhin permintaan gue dan ngebawa gue ke sini," ucap gue dengan tulus. Dia cuma nganggukin kepalanya mengiyakan sebagai respon. Keadaan kembali hening sampe gue ngedenger suara gigi Lay yang bergemeletuk. Mungkin kedinginan.
"Lo kedinginan?"
Lay menggeleng tapi giginya masih bergemeletuk. Posisinya kini meringkuk di balik kemudi. Kakinya nekuk gitu dan keliatannya nggak nyaman. Gue ngerasa nggak enak juga dia yang udah bawa gue kesini dan nyetir lama harus tidur dengan posisi nekuk gitu. Sedangkan kasur yang gue tempatin masih luas.
"Space-nya masih lega. Lo masih bisa di ujung sana dan gue di ujung sini. Kita bisa bagi selimut," tawar gue. Kami udah sering tidur bareng kan? Seharusnya nggak masalah.
"Lo nggak takut sama gue?" tanya dia dengan suara yang bergetar.
Gue tau dia nggak suka dingin dan dia lagi kedinginan sekarang. "Gue lebih takut kalo lo sakit dan kita nggak bisa pulang dari tempat ini," jawab gue jujur.
Akhirnya dia pun memberanikan diri untuk pindah ke belakang dan kami berbagi selimut. Gue mencoba tidur tapi nggak bisa karena jantung gue memompa darah dengan lebih cepat dari biasanya, dan udara juga semakin dingin. Bibir gue kayaknya juga udah biru sekarang.
Gue tersentak kaget pas Lay tiba-tiba meluk gue dan nyembunyiin mukanya di ceruk leher gue. Gue bisa ngerasain kulitnya yang nempel sama kulit gue yang nggak terhalang apapun. Tubuh gue oleng dan kemudian Lay udah ada di atas gue dan mencium bibir gue dengan terburu-buru.
Sial suasananya mendukung banget lagi!
Gue pun membalas ciumannya sebisa gue. Ciumannya membuat suhu tubuh gue naik.
"Maaf," kata Lay setelah melepas pagutannya. Kami sama sama terengah.
Gue ngeliat Lay memejamkan mata dan menyatukan dahinya dengan dahi gue. Dahi kami bersentuhan dan napas kita udah sama sama memberat. Dia ngebuka matanya, dan mengecup bibir gue singkat.
"Boleh kan?"
Gue mengigit bibir gue gugup sebelum mengangguk mengiyakan. Lalu tangan Lay mulai bergerilya di atas tubuh gue yang bikin gue pusing.
Gue menahan tangannya yang udah siap nyentuh gue lebih jauh. "It's my first," kata gue gugup.
Gue bisa ngeliat dia mengeluarkan senyum gentle-nya, dan ngomong "jangan gugup, ikutin alurnya dan nikmatin aja." Dan setelahnya dia mencium kening gue.
And then... we do it.
Mobil van dan juga hujan jadi saksi bisu gimana gue menghabiskan malam dingin yang tiba-tiba berubah jadi panas itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro