5. Dinner? Wah, Gila!
Dika benar-benar dijadikan tumbal. Dia hanya bisa pasrah saat setelah menyetujui permintaan Arka, dirinya dipermak sana-sini. Dia juga harus bisa memerankan tokoh Arka yang memang berbeda jauh dengan kepribadiannya. Ya walau, jika dipikir, mereka lebih banyak kesamaan.
Arka itu narsis, sementara dia enggak. Itu yang utama.
Sekarang, Dika harus bisa senarsis Arka. Pasalnya, selama ini dia lebih sering pacaran sama buku, bukan ponsel. Jangankan main Instagram, akun Facebook-nya aja bersarang. Namun, itulah perjuangan. Dia tidak mau jika Arka sampai harus pindah ke Surabaya lagi.
"Lo mau ke mana?" tanya cewek di sampingnya yang sedari tadi fokus mengemudi.
"Terserah lo. Bukannya lo udah nentuin?" Dika bertanya balik. Lidahnya agak aneh saat bilang lo.
"Hm, enggak. Sebelumnya, makasi banget, ya, lo udah mau jalan sama gue." Dalam hati, Arabelle cepat-cepat menarik semua perkataannya. Jijik dia bilang terima kasih sama sejenis Arka yang sombong enggak ketulung.
Dika hanya berdeham. Dia tidak tahu harus merespons apa dan hanya bisa memperbanyak stok sabar. Dia masih kesal sama cewek yang malam ini dinner sama dia.
Dinner? Wah, kita lihat, isi dinner -nya. Sebab, Dika sudah menyusun plot untuk melancarkan pembalasan. Malam ini harus tuntas walau dia bakal tidak puas kalau hanya sekali saja.
"Orofi Cafe." Dika akhirnya memilih. Kebetulan letak kafe itu cukup dekat dari posisi mereka.
Dika sebenarnya tidak terlalu tahu mengenai seluk beluk kota Bandung. Jangankan nama kafe, nama jalan aja yang dia ingat cuma Jalan Cigadung Raya Barat---karena itu rute sekolah-rumah. Atau beberapa toko buku sebagai tempat memenuhi rutinitas bulanannya; kuliner buku. Itu pun hanya sebulan sekali dan memanfaatkan Google Map sebagai pemandu jalan. Dia tadi sempat browsing singkat.
"Arah mana?" tanya Arabelle.
"Lembah Pakar Timur nomor 99," jawab Dika.
Arabelle menghela napas. Empat hari perjuangannya ternyata berbalas dinner di tempat yang hanya sepelemparan batu. What the .... Dia membatin dan menoleh tajam kepada cowok yang asyik sama ponsel di sampingnya.
Hanya berselang sepuluh menit, dan mereka pun tiba di area parkir Orofi Cafe by The Valley. Ini malam Minggu, jadi tempat yang dijuluki Santroni-nya Kota Kembang itu lumayan ramai walau baru menginjak jam lima sore.
Dika turun lebih dulu. Oke, dia berharap tidak ada fans atau sejenis cewek-cewek hobi teriak yang akan menyerbunya. Namun, itu tidak dikabulkan.
"Kak Arka! Astaga! Kakak aku minta foto." Seorang cewek berbaju kurang bahan---begitu Dika menilainya---berlari menghampiri Dika. Tanpa basa-basi, langsung mengacungkan ponsel dan mereka pun berfoto.
Dika belum sempat bergaya, malah bingung harus bergaya seperti apa.
Di dalam mobil, Arabelle mendesis melihat pemandangan di samping kiri mobilnya.
"Dasar cowok narsis!" cibirnya yang kepalang emosi.
Dia segera turun dan menyibak kerumunan cewek yang semakin banyak. Dika terselamatkan.
"Woi, bubar!" sentak Arabelle.
"Eh, apa-apaan lo!" Yang dibentak balik mendorong sambil teriak dua kali lipat lebih kencang.
Dika meneguk ludah. Astaga, barbar semua. Dia lalu berusaha mencari cara sebelum suasana kian keruh.
"Tenang-tenang. Kalian enggak boleh berantem. Oke?" Dika merentangkan tangannya. Bersamaan, kedua belah pihak mundur mencipta jarak. "Gue tahu gue ganteng dan lo semua nge-fans berat sama gue. Jadi, lo jangan bikin kekacauan di depan gue. Oke?"
Sungguh, Dika ingin membasuh lidahnya pakai tanah, air, dan kembang tujuh rupa setelah mengucapkan kalimat sakti saudaranya.
Cewek-cewek yang tadi menyerbu---dan Dika duga masih remaja usia di bawahnya---menurut. Mereka segera membubarkan diri.
Dika menghela napas, lalu tersadar ternyata dia ditinggal. Arabelle sudah memasuki pintu kafe tanpa mengajaknya.
Mereka datang di waktu yang tidak salah-salah amat. Ya, suasana kafe di kawasan Jalan Lembah Pakar Timur, Dago Atas itu memang ramai, tetapi tidak sampai padat. Jadi, Arabelle sudah bergerak menuju lantai atas. Pandangannya mengedar menelusuri setiap sudut kafe yang mengusung tema design Yunani. Kafe yang ternyata terdiri dari tiga lantai itu didominasi warna putih biru. Ditambah lampu-lampu, membuat suasana semakin khas.
Naik ke lantai dua, Arabelle disuguhi design interior yang ala-ala garden dengan konsep semi outdoor. Lalu, terus naik dan sampailah di lantai tiga. Tempat di mana roof cafe tersedia, dengan "wajah" kota Bandung sebagai background.
Dia belum pernah datang ke tempat ini. Namun, rasanya tidak terlalu buruk juga. Beberapa kursi masih kosong, sementara satu-dua pelanggan tengah asyik mengobrol atau berswafoto di beberapa sudut kafe.
Arabelle memilih tempat duduk di kursi dekat pembatas kafe, menghadap langsung ke matahari yang mulai bergerak turun, sinarnya menerpa wajah tirusnya. Angin berembus pelan, menyapa lembut dan menenangkan. Di belakang Arabelle, pohon-pohon menari lembut seiring ritme angin.
Dika ikut duduk, membuat cahaya matahari terhalangi, dan Arabelle segera tersadar dari keterpukauannya. Dia membuang muka. Terlalu awkward rasanya jika ketahuan tengah mengumbar senyum hanya karena langit senja di depan manusia.
Kesan kalem dan sadisnya akan hilang.
Seorang waitress menghampiri. Bertanya ramah dan memberikan dua buku menu. Dika terlihat lebih lama menimbang daripada Arabelle yang langsung memesan.
Fettuccine Mushroom, kayanya enggak buruk juga, batin Dika setelah menilik lama tulisan di buku.
"Fettuccine Mushroom, sama Cold Lemon Surprise." Dia akhirnya memutuskan.
Waitress itu langsung mencatat.
"Eh, sebentar!" sergah Dika saat melihat waitress berambut sebahu itu hendak pergi. "Menu lo gue ganti."
Arabelle mendelik. Apa-apaan!
"Pesenan dia diganti sama Rice Bowl Oxtail Sambal Matah, minumnya kopi pelangi," imbuh Dika.
Arabelle tambah melotot tajam. Kalimatnya menggantung di tenggorokan, berganti ritme napas yang berangsur memburu. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa.
"Lo harus bersyukur karena gue udah mau jalan sama lo. Jadi, sebagai pengganti waktu gue yang terbuang sia-sia, lo kabulin satu permintaan gue ini. Gak susah, kan?"
Terlebih setelah mendengar kalimat super menyebalkan Dika, dia semakin tak berkutik. Selain menghela napas dan pasrah.
Sembari menunggu pesanan, Dika mengamati penjuru kafe. Pilihannya tidak buruk juga, bahkan tak menyangka jika di Bandung punya tempat seindah itu.
Senja. Walau tidak begitu suka, Dika berhasil terbius suasana. Sinar jingga semakin kental menerpa benda-benda di bumi. Dipadu sepoi angin dan atmosfer sejuk, suasana ini berhasil membuat angan tenggelam.
Pesanan datang. Dika tersadar dan segera menyantap makanannya. Dia melupakan sesuatu.
Dika meraih ponsel dan memainkannya sebentar. Seingatnya, Arka tak pernah lepas lama dari "pacarnya" itu. Bahkan di meja makan, sendok di tangan kanan, ponsel di kiri. Itu pemandangan lumrah sebulan belakangan. Beberapa kali bahkan Arka iseng live Instagram saat makan, membuat Dika mau tak mau harus cepat kabur dari sorotan kamera jika Arka tak menyadarinya.
Arabelle sendiri beberapa kali meneguk ludah. Dia tak suka pedas. Dia benci pedas. Pedas bak bom yang lebih dahsyat dari Little Boy (bom yang meledakan Hiroshima). Ada dua kemungkinan: perutnya akan perang atau luluh lantak.
"Kenapa gak dimakan?" Dika sengaja bertanya. Senyuman sinisnya merekah beberapa saat sebelum buka suara.
"E-eh. Lo aja gak makan kok." Arabelle membetulkan posisi duduk dan tangannya merapikan helai rambut yang agak berantakan.
"Gue makan nih." Dika menyuapkan Fettucine Mushroom-nya. Rasa keju yang kental seketika melumer di mulut. Sebagai pencinta keju, itu rasa yang bombastis.
"Kalo lo gak makan, berarti malam ini sia-sia dong."
Entah apa maksud kalimat Dika, yang jelas Arabelle tidak ingin mendengar apa pun lagi. Pikirannya sudah kacau balau gara-gara semangkuk makanan yang didominasi warna merah dan cabai---walau masih ada warna hijau dan putihnya.
Arabelle akhirnya menyerah berdebat. Dia mulai menyendok makanan dan mencicipinya.
Lidahnya bak digigit sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Wajahnya seketika berubah merah padam bercampur hawa panas. Lalu, di perutnya mulai ada sesuatu yang tidak beres.
Arabelle segera meneguk kopi pelanginya. Sungguh, sensasinya luar biasa. Semoga cacing-cacing di perutnya tidak langsung memanggil ambulans.
Dika belum puas sampai titik ini. Ponsel Arabelle berdering. Di tengah suasana yang masih kacau, Arabelle ber-hah saat meraih ponsel di samping kirinya. Tertera seseorang melakukan telepon.
Arabelle memutuskan beranjak untuk menjawab telepon, sekalian mencari toilet kalau sempat.
"Halo?"
Tidak ada jawaban. Masa gak ada sinyal, sih? Arabelle kembali melangkah ke sudut yang lebih jauh dari kursi mereka. Nomor "gaib" itu kembali menelepon. Dia penasaran siapa si penelepon dan kenapa merahasiakan nomornya.
"Halo, lo siapa?" Arabelle mulai geram. Mana perutnya semakin tak karuan.
panggilan telepon berakhir. Arabelle memutuskan ke toilet sebentar. Perutnya semakin tak beres.
Sementara itu, Dika mengendap pulang. Dia memesan ojek online meski harus jalan kaki dulu dari kafe. Sekitar 20 menit kemudian, dia pun sudah ada di rumah.
Dia mengembuskan napas kencang. Lega tiada terkira. Penderitaan sudah berakhir.
"Kerja bagus." Arka masuk dengan sepiring kentang goreng dan duduk di pinggiran kasur.
"Jangan makan di kasur! Entar banyak semut." Dika ngomel, seperti kebiasaannya. Arka cuek-cuek saja.
"Gimana dinner-nya?" Arka mulai memakan kentang sambil memutar ulang hasil take video untuk barang yang ia endorse. Hasilnya masih sama, belum memuaskan.
"Berhasil dong." Dika tertawa sendiri, membuat Arka mengalihkan fokus dan teheran.
"Bahagia banget. Gue rasa ada yang enggak beres. Lo suka, ya sama tuh cewek? Baguslah. Jadi, nama gue gak bakal tercoreng sebagai kembaran si Jones," cerocos Arka.
"Terlalu berlebihan." Dika meraih sweater hitam dan dikenakan. Dia juga memakai kaus kaki, serta sendal bulu.
"Dasar anak cewek," cibir Arka yang tetap geli melihat ritual sebelum tidur saudaranya di kala cuaca dingin.
"Aku, suka sama dia? Hahahahhaah!" Dika ngakak kencang.
Arka sampai keselek kentang. "Bapak lampir." Dia mencibir.
"Terus aja cibir aku, Ka. Aku kuat aku hebat," sahut Dika yang tak menyurutkan senyuman di wajahnya. Dia mendadak sengklek memang kalau sedang bahagia.
"Lo kenapa, sih? Gue heran deh. Saraf lo putus? Atau, lo perlu konsul ke dokter RSJ?" Arka langsung mendapat jitakan kencang.
Sementara itu, Arabelle masih tertahan di kafe. Dia tak bisa membayar karena mendadak dompetnya hilang. Dia juga tak bawa uang cash.
Apes! Arabelle memaki diri sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro