10. Teror II
Amanda seketika jadi bahan pembicaraan seisi SMAN 189 Bandung saat Arka mengunggah sebuah video. Ya, hasil kerja kerasnya kemarin bisa dikatakan sukses. Sebagai bayaran, awalnya dia akan diberi uang, tetapi tentu saja ditolak. Jadi, Arka pun mengajaknya makan pas malam Minggu.
Arabelle yang juga tak sengaja mendengar pembicaraan cewek-cewek di koridor dasar saat dia baru datang, seketika penasaran. Ketika informasi sudah valid, dia pun mencium bau-bau kekalahan. Sepertinya, jalan pintas yang diambilnya, adalah sebuah trik cerdik untuk menikung lawan.
Dia tinggal mendekati Dika, menyuruh cowok itu seolah-olah dia Arka, lalu membuat "sesuatu" terhadap Arka dan Amanda. Baginya semua itu mudah karena dia punya mantra terkuat di bumi. Uang.
Berbicara soal Dika, Arabelle tidak melihat tanda-tanda cowok itu. Padahal dia sudah datang lebih pagi---dari jadwalnya yang biasa. Tiba-tiba, pikirannya dihantui oleh kejadian kemarin. Hal itu membuat hatinya gelisah tak menentu, bahkan dilingkupi rasa takut.
Dia pun memutuskan untuk mengecek sendiri ke kelas XII-IPS 1. Sampai di sana, suasana kelas sudah ramai. Beberapa siswa sudah menempati bangkunya masing-masing dengan perhatian terfokus pada buku. Pemandangan itu tentu hal yang langka di kelas XI-IPS 1. Di mana, kelas baru akan terisi penuh saat lima menit menjelang bel, terus siswanya juga asyik main ponsel atau merumpi.
Sebuah bangku di barisan kedua pojok kanan kelas masih kosong. Arabelle pikir itu tempat Dika. Semakin gelisahlah dia. Perasaan tersebut terus berusaha diredam, dia tidak boleh terlalu berlebihan karena sangat berbahaya. Lagi pula, mengapa dia begitu khawatir terhadap cowok itu?
Pusing berdebat dengan diri sendiri, Arabelle memutuskan pergi. Namun, saat dia berbelik, jantungnya serasa mau copot karena nyaris menabrak seorang cowok. Dika yang hendak masuk kelas. Langkahnya terpaksa tertahan lantaran dipertemukan kembali sama Arabelle.
Dika menghela napas sebelum berbelok dan masuk kelas. Dia kira, Arabelle akan berhenti mengganggunya. Cukup kemarin malam dia sampai meriang gara-gara dibawa ngebut oleh Arabelle. Jujur, dia trauma akan hal tersebut. Sewaktu kecil, Arka pernah melakukan hal sama. Alhasil, sepeda yang mereka tumpangi lepas kendali dan menabrak pohon. Dika tidak terluka parah, tetapi Arka sebaliknya. Dia tak sadarkan diri dengan beberapa luka menghiasi tangan dan kaki.
Awalnya Dika juga masih mau mengistirahatkan diri, tetapi tidak ingin membuat Arka dan mamanya khawatir. Jadi dia memaksakan diri untuk sekolah. Datang lebih awal seperti biasa, lalu diam di perpustakaan. Tempat itu tenang, cocok buatnya yang tengah tidak enak badan.
Arabelle masih diam di tempatnya beberapa menit, sebelum akhirnya memutuskan pergi dengan perasaan campur aduk.
Kejadian kemarin mungkin sebuah kesalahan fatal untuknya. Seharusnya dia lebih hati-hati agar rencana berjalan baik. Sebab, kejadian kemarin dijadikan alasan kuat untuk Dika menolak semua rayuannya.
Arabelle tentu kesal. Dia sudah mengorbankan harga dirinya dan repot-repot menghabiskan waktu hanya demi membujuk. Membujuk. Sungguh hal memuakan baginya.
Seandainya saja dia tak terikat sebuah perjanjian hidup dan mati, mungkin saat ini dia masih merasakan kebebasan. Namun, posisinya sekarang terjepit. Membujuk Arka, jelas-jelas sebuah kesia-siaan. Amanda juga sudah satu langkah di depannya.
Dia merasa, maju kena mundur kena. Jalan yang diambilnya salah dan terlalu gegabah. Nasi sudah menjadi bubur, pilihan satu-satunya sekarang adalah terus maju.
Jadi, pada hari ke sekian aksi merayu seorang Arabelle, Dika yang sudah muak karena terus diganggu oleh syaiton bandel, hanya bisa cuek saja saat tiba-tiba Arabelle datang, memberikannya novel-novel dalam paper bag.
"Gue jadi teman lo, ya?" Dika tak ingat berapa kali telinganya bosan mendengar kalimat serupa.
Berbicara soal buku, bukankah dulu Arabelle pernah memperlakukan benda kesayangannya itu dengan tidak berperikebukuan.
Selain buku, Dika juga sering kali dirayu dengan kalimat, "Gue bayar lo deh, asal lo mau jadi pacar gue."
Arabelle pikir, dirinya ini barang apa, yang bisa dibeli dan ditawar. Dika semakin muak saja dengan segala tingkah adik kelasnya itu. Hari-harinya sudah tak senormal dulu. Seringkali saat tengah fokus membaca di perpustakaan, Arabelle datang dan mengusik. Atau ketika berjalan di koridor, Arabelle mengikuti. Pas mau pulang ke rumah juga, kadang cewek itu menguntit.
Dika jadi berpikir, apakah dia punya bodyguard sekarang? Atau dia perlu ke tempat ruqyah guna membumihanguskan syaiton di dekatnya?
Arabelle bukan tipe pantang menyerah, justru keras kepala sepertinya. Sebab, sikap cuek, dingin, dan judes Dika tak mampu menghentikannya. Bahkan kata-kata pedas---yang sebenarnya enggan Dika ucapkan karena tak ingin melukai hati orang---Dika yang menyinggung soal harga diri Arabelle pun tak mempan.
***
Amanda benar-benar sudah selangkah di depan Arabelle. Bahkan dua langkah karena kini, satu per satu sahabatnya mengibarkan bendera putih. Mereka gugur, tak tahan dan habis amunisi untuk menyerang benteng yang dibangun Arka.
Katakan Amanda ini gadis cerdik, sebab dia belum mendapat "pukulan" dari Arka sampai hari ini. Trik demi triknya berjalan mulus dan lancar. Kini, lawan di dekatnya hanya Vita.
"Aku udah siapin dana nih," kata Dara seraya bergeliatan. Dia baru saja selesai membaca sebuah buku tentang hubungan sosial di lingkungan.
"Sama," sahut Mey-Mey. Wajahnya menyiratkan rasa tak ikhlas yang begitu mendalam. Bagaimana tidak, dana untuk jajan seminggu lepas begitu saja.
"Kalian masih belum nyerah?" tanya Dara yang kini merebahkan kepalanya, bertumpu tangan, di meja.
"Kalo kita nyerah, pemenangnya siapa dong?" sahut Vita seraya mengatup-ngatupkan bibir.
"Iyaps. Yang pasti aku, sih. Karena aku udah selangkah di depan kalian," kata Amanda dengan penuh percaya diri.
"Ah, taruhan dapetin kak Arka beneran enggak asik. Ubah objek aja deh," usul Mey-Mey yang masih tak rela akan kekalahannya. Namun, jika dipaksakan juga dia bakal tidak kuat menghadapi sikap Arka.
Tanpa mereka sadari, ternyata seseorang tengah mengamati dan menyadap pembicaraan. Lumayan, duit, batinnya seraya beranjak pergi setelah dirasa cukup. Posisinya yang berada di meja belakang kelompok Amanda, jelas memberi kemudahan untuk beraksi.
***
"Gue cuma mau jadi temen lo. Apa susahnya, sih?" Arabelle berkata dengan nada ketus kepada Dika yang tetap fokus pada buku-buku di rak perpustakaan.
"Gue juga udah usaha sebaik mung---"
"Kamu keluar!" tegur Bu Dina yang jengkel karena di saat jadwalnya bertugas, sudah dua kali ada siswa yang berulah. Siapa lagi kalau bukan Arabelle, yang tumben-tumbenan datang ke perpustakaan. Padahal aturan 'dilarang bicara keras-keras' sudah dipasang nyaris di tiap penjuru ruangan.
Arabelle menghela napas kesal. Bu Dina benar-benar mengganggunya. Dia jadi ingin melakukan "sesuatu" terhadap guru yang sok tegas padanya itu.
Ruangan yang biasanya menenangkan, kini berubah menyeramkan jika ada Arabelle. Dika benar-benar merasa stres seminggu belakangan. Hidupnya jauh dari kata damai setelah Arabelle tak henti mengganggunya. Kedatangan cewek itu juga membuat lingkungannya tak bersih lagi. Dia beberapa kali berada dalam kesulitan karena cewek-cewek mulai mengejar. Mereka pasti terkontaminasi sama tindakan gila Arabelle yang tak tahu tempat dan situasi. Oleh sebab itu, belakangan dia juga mengurangi interaksi di dunia luar. Kalau ada jam kosong atau istirahat, dia lebih memilih diam di pojokan kelas sambil mengenakan jaket yang kupluknya dipasang sampai menutup seluruh wajah.
Gosip sudah menyebar. Itulah pemantiknya. Anggota klub Roomphits yang melihat tindakan Arabelle, langsung menjadikan topik baru di web. Tak tanggung-tanggung, mereka pun mulai beraksi layaknya detektif yang akan mengusut pembunuhan berantai. Dika dalam posisi gawat. Jika sampai penyamarannya terbongkar, habislah sudah.
Arabelle sendiri tak peduli dengan gosip-gosip selama bukan merendahkan harga dirinya. Dia lebih memilih fokus pada Dika. Sore ini, dia berencana untuk mengantar Dika pulang. Tentu saja hal itu sia-sia karena rupanya, Dika sudah naik ojol lebih dulu.
Tak menyerah, Arabelle pun mengikuti Dika sampai di depan rumahnya. Dia jadi tahu bahwa cowok itu tinggal di perumahan Calistha Dago Residence. Lokasi tersebut cukup dekat dengan kediamannya.
"Dika!" panggil Arabelle saat baru turun dari mobilnya.
Dika yang hendak masuk rumah, seketika menoleh dan terkejut. Namun, dia buru-buru masuk rumah.
"Woi!" teriak Arabelle seraya berusaha mengejar. Baru sepuluh langkah, dia seketika berhenti. Kalau dia teriak-teriak di depan rumah orang, bukannya memalukan?
Arabelle menunggu sekitar 20 menitan dan sia-sia saja. Dia pun memilih pulang.
Sementara dari kamar di lantai dua, Dika yang sedari tadi mengintip dari balik gorden putih, menghela napas lega. Walau di waktu bersamaan dia langsung panik. Apa yang akan dilakukan Arabelle selanjutnya?
"Woi!"
Dika mendelik kaget. Ternyata yang berteriak itu Arka. Dia baru pulang karena tadi ada acara dulu.
"Kenapa lo?" Arka melempar tasnya ke kasur, lantas melonggarkan dasi.
"Anu ... itu aku dike ...." Dika memilih untuk bungkam. Tiba-tiba merasa ngeri jika Arka tahu dia dikejar cewek. Bisa-bisa, dia dijadikan bahan olokan. Kan serem.
"Dike apa? Nama lo sejak kapan jadi kecewek-cewekan gitu?" Arka memang kalau bicara suka pedas dan tidak menggunakan kaidah bahasa yang benar.
"Bukan apa-apa," tukas Dika seraya berdiri tegak.
***
"Gue ada info baru nih," celetuk seseorang saat mengecek situasi sudah sepi.
"Info apa?" tanya Sisil penasaran. Pagi-pagi saat baru tiba di ruang klub, Metha datang dan mengajaknya bicara empat mata.
"Tebusan dulu dong." Metha mengedipkan matanya.
Begitulah di dalam lingkungan Roomphits. Sekalipun mereka bekerja sama untuk memajukan klub, permainan tetaplah ada. Setiap informasi bernilai uang, itulah semboyannya. Jadi, entah ke atasan atau sesama teman, pasti diduitkan jika mengenai informasi rahasia.
"Cepek?" tawar Sisil.
Metha menggeleng.
"Dua ratus ribu deh." Sisil mengajukan penawaran terakhir.
Kebetulan Metha menyetujui. Dia segera memberikan rekaman setelah Sisil meneransfer sejumlah uang ke rekeningnya.
Saat rekaman tersebut dibuka, betapa terkejut dan bahagianya Sisil. Ladang uang, i'm coming, batinnya.
Di kelas XII-IPA 1 sendiri, Dika tengah bimbang. Dia lapar dan lupa belum makan dari pagi, tetapi cari mati jika ke kantin. Seperti malaikat tak bersayap karena sayapnya dijadikan fried chicken, Arabelle datang membawakan makanan. Cewek itu mencegat jalan Dika di depan pintu.
Tanpa berkata apa-apa, Arabelle memberikan plastik di tangannya. Dia lalu pergi. Dika heran kenapa Arabelle tak secerewet biasanya. Padahal saat itu, Arabelle tengah tidak mood melakukan sesuatu setelah pertengkarannya semalam dengan sang ayah.
Renal lagi-lagi mengomentari hidupnya, mengait-ngaitkan dengan masa lalu, dan mengeluarkan kalimat memuakkan. Arabelle hanya tak habis pikir, kenapa Renal mau merawatnya jika memang dia bukan anak kandung pria itu. Sementara, seandainya saja Daffin tak meninggalkan amanat agar dia tetap bertahan di samping Renal, mungkin sudah sejak lama dia minggat.
"Kakak mohon, kamu tetaplah dampingi ayahmu. Bagaimanapun kenyataannya, dia yang sudah membesarkan kita. Kamu harus sabar dan yakin, suatu saat ayah akan memanggilmu anak."
Itu kalimat yang diucapkan Daffin setiap malam. Saat itu, Arabelle begitu membenci kalimat tersebut---hingga sekarang---karena keadaan yang sangat memuakkan. Arabelle dan Daffin sering jadi korban pelampiasan amarah Renal. Mereka tak bersalah, tetapi mereka dianggap salah. Salah karena telah lahir ke dunia.
Memikirkan semua itu, Arabelle butuh waktu tenang. Emosinya tidak stabil, meluap-luap, dan butuh dilampiaskan.
Sisil sendiri tengah beraksi, melempar umpan dan memilah korban. Dia sudah dapat, umpannya juga sudah dimakan. Saat ini, dia tengah duduk manis di kursi ruang klub. Seorang cowok datang dan segera menghampirinya.
"Apa info penting lo?" Raden langsung bertanya ke inti.
"Duit dulu. Ini menyangkut artis kita," kata Sisil seraya berdiri dan tersenyum manis.
Tawar-menawar pun berlangsung dan menemukan titik kesepakatan. Sisil langsung mengirim informasi penting itu ke kontak WA Raden dan sebagai imbalan, dia mendapatkan uang.
Dia memang cerdik. Berurusan dengan geng Amanda sama saja bohong. Mereka pernah terlibat masalah dulu. Jadi, langsung menggaet pusatnya adalah jalan pintas. Pekerjaannya berbuah manis.
***
Arabelle memacu mobilnya dengan kecepatan penuh saat menemukan jalanan sepi. Jika dia tidak bisa melampiaskan emosi dengan segelas "minuman", maka ngebut adalah solusi kedua. Nahas, ternyata emosi benar-benar menguasai dirinya. Dia membanting setir dan menginjak pedal rem saat mobil tiba-tiba lepas kendali.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro