Chapter 7 : Penguji Kesabaran
Selesai sholat maghrib Ibrahim bersiap untuk pergi ke acara tausiyah. Undangan tausiyah menjadi pekerjaan Ibrahim sekaligus jalur dakwahnya sejak usia Ibrahim menginjak remaja.
"Aku berangkat sekarang ya!" Ibrahim memberikan tangannya ke arah Azalea yang sedang duduk bermain ponsel. Azalea segera mencium tangan suaminya lalu kembali fokus pada ponselnya.
"Kalau kamu bosen, kamu bisa pergi ke musholla santriwati, jam segini disana biasanya banyak santriwati ngaji, kamu bisa gabung sama mbak Sania," ujar Ibrahim sebelum pergi.
Awalnya Azalea mengabaikan ucapan Ibrahim, tapi beberapa lama kemudian dia mulai bosan dengan ponselnya. Akhirnya dia mengikuti saran Ibrahim dengan pergi ke musholla santriwati untuk menghilangkan rasa bosannya.
Terlihat banyak sekali santriwati yang bersama-sama mengaji di sana, sampai Azalea bingung karena tidak menemukan keberadaan Ning Sania.
"Ning Aza!" Seseorang dengan suara lembut menyapa Azalea dari arah belakang. Sontak Azalea menoleh dan ternyata suara itu milik Ustadzah Naila, salah satu Ustadzah di pondok pesantren milik keluarga Ibrahim.
"Ning Aza, mau ngaji bareng?" tanyanya dengan sopan.
Azalea mengangguk. "Aku juga lagi cari mbak Sania, belum ketemu," kata Azalea.
"Ning Sania hari ini menemani Gus Yusuf menghadiri acara, Ning," jawab Naila yang langsung dibalas dengan anggukan mengerti oleh Azalea.
Lalu keduanya mencari tempat kosong dan duduk. Ustadzah Naila langsung mengikuti bacaan para santriwati sedangkan Azalea bingung mau baca apa. Dia saja tidak tahu mereka sedang membaca apa. Akhirnya wanita itu hanya diam sembari memperhatikan orang-orang di sekelilingnya.
Setelah adzan isha, semua orang langsung mengambil wudhu untuk menunaikan ibadah shalat isha berjama'ah. Tak terkecuali Azalea. Sekarang dia mulai lancar dalam berwudhu, meskipun kadang-kadang masih butuh bantuan Ibrahim atau tata cara wudhu di Internet.
Azalea memukul pelan dahinya seraya berdecak. "Ah iya! Aku kan gak bawa mukenah!"
"Ning tidak bawa mukenah?" tanya Ustadzah Naila. Nyatanya wanita itu mendengar decakan Azalea.
"Iya, kamu punya mukenah 2 nggak?" tanya Azalea. Sebenarnya dia bisa saja pulang dan mengambil mukenahnya tapi Azalea terlalu malas untuk melakukan itu.
"Tapi saya tidak punya mukenah yang masih baru Ning," katanya seraya menundukkan pandangannya. Dia benar-benar sopan.
"Ah gak masalah, yang penting bisa buat shalat, yuk diambil keburu mulai shalatnya!" Azalea langsung menggandeng Ustadzah Naila dan merekapun segera mengambil mukenah untuk Azalea.
Saat Azalea sedang melihat mukenah, ponselnya berbunyi. Segera Azalea mengangkat panggilan dari suaminya itu.
"Assalamu'alaikum, Istriku!"
"Wa'alaikumussalam, ada apa?"
"Hari ini kayaknya aku pulang sedikit larut, aku bertemu teman lamaku dan dia mengajak berbincang selesai acara, kamu bisa minta tolong salah satu santriwati untuk menemani kamu di rumah kalau kamu takut sendirian," kata Ibrahim.
Azalea menghela napasnya. "Iya," jawabnya singkat.
"Maaf ya istriku, aku tutup telfonnya, Assalamu'alaikum!" ujar Ibrahim seraya mematikan sambungan teleponnya setelah mendengar jawaban salam dari Azalea.
Azalea langsung berdecak kesal seraya meneruskan melihat mukenah milik ustadzah Naila.
"Ustadzah Naila, habis ini masih ada kegiatan?" tanya Azalea.
"Tidak ada, Ning."
"Bagus kalau begitu, aku minta tolong kamu temenin aku di rumah malam ini ya? Ibrahim pulang malem, aku takut sendirian di rumah," kata Azalea yang langsung dibalas anggukan oleh Ustadzah Naila.
Azalea membawakan minuman dan beberapa cemilan untuk ustadzah Naila yang sedang menunggunya di ruang TV.
"Silahkan diminum, kamu santai aja gak usah tegang gitu," gurau Azalea seraya menghidupkan TV untuk menghilangkan bosan keduanya.
"Oh iya, aku boleh tanya-tanya gak sama kamu?" kata Azalea membuka pembicaraan di antara keduanya. Lagi-lagi Ustadzah Naila mengangguk.
"Kamu udah lama tinggal di pesantren?" tanya Azalea.
Ustadzah Naila mengangguk. "Kurang lebih 11 tahun, Ning. Saya tinggal di sini sejak lulus sekolah dasar," kata Ustadzah Naila. Mata Azalea langsung melotot. Di usia semuda itu Ustadzah Naila sudah tinggal di pesantren.
"Jadi kamu udah lama dong kenal sama orang-orang di sini," ujar Azalea.
Ustadzah Naila menggeleng kecil. "Tidak begitu dekat Ning, saya hanya santri," jawabnya merendah.
"Is, padahal aku mau tanya-tanya tentang Ibrahim ke kamu. Kamu tau gak sih kalau Umi dulu pernah mau jodohin Ibrahim sama seseorang tapi gak jadi?" Azalea menatap lewat ke arah Ustadzah Naila tapi wanita itu hanya diam sampai keduanya di kagetkan dengan dering ponsel Azalea.
Setelah melihat nama penelfonnya yang tak lain adalah Mamanya, Azalea langsung pergi ke kamar untuk mengangkat telfon.
Malam semakin larut, beberapa kali Ustadzah Naila menguap karena mulai merasa mengantuk. Sedangkan Azalea sudah terlelap di atas sofa setelah puas berbicara dengan ibunya di telfon.
"Assalamu'alaikum!"
Suara Ibrahim langsung membangunkan Ustadzah Naila yang belum sepenuhnya terlelap. Mata Ibrahim melebar saat mendapati Ustadzah Naila berada di dalam rumahnya padahal malam sudah larut. Melihat Azalea yang terlelap di samping Naila, Ibrahim langsung mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Laki-laki itu pun tersenyum singkat seraya berjalan menghampiri keduanya.
"Ustadzah Naila ada di sini, terima kasih sudah menemani Aza, maaf merepotkan, Ustadzah Naila bisa kembali ke pesantren sekarang," ujar Ibrahim. "Ini juga ada makanan, diterima ya Ustadzah," sambung Ibrahim seraya memberikan bingkisan berisi makanan kepada Ustadzah Naila.
"Ibrahim, kamu udah dateng?" Azalea bangun tepat saat Ustadzah Naila menerima bingkisan dari Ibrahim. Sontak pandangan Azalea langsung tertuju pada bingkisan itu.
"Kalau begitu saya kembali ke pesantren Ning, Gus, Assalamu'alaikum!" pamit Ustadzah Naila lalu pergi.
Azalea dan Ibrahim menatap punggung Ustadzah Naila yang semakin menjauh hingga hilang setelah melewati pintu.
"Gitu banget liatnya!" sindir Azalea. Ibrahim langsung mengalihkan pandangannya dan tersenyum melihat wajah Azalea yang terlihat kesal.
"Kamu cemburu ya?" goda Ibrahim. Azalea mengabaikannya dan langsung masuk ke kamar.
~~~
Azalea pagi ini kembali memasak tempe penyet untuk sarapan. Dia tidak tahu mau memasak apa lagi karena hanya ini menu yang Sania ajarkan kemarin dan Ibrahim terlihat suka dengan masakannya kemarin.
"Kayaknya ada aroma-aroma masakan enak nih!" goda Ibrahim saat memasuki dapur. Azalea hanya diam tidak menggubris. Ibrahim langsung mengambil piring bersiap untuk makan.
"Rasanya kok gak seenak yang kemarin ya?" ujar Azalea dengan wajah bingungnya. Dia sampai mencicipi sambelnya beberapa kali tapi tetap rasanya aneh.
Ibrahim ikut menyipi sambelnya. Memang terasa agak berbeda dari kemarin, tapi rasanya masih lumayan menurut Ibrahim.
"Enak kok, Za," kata Ibrahim.
"Nggak ini beda sama yang kemarin, pasti ada yang kelupaan," Azalea berdecak seraya mengeluarkan ponselnya untuk melihat resep yang kemarin sudah dia ketik di ponsel.
"Cabe udah, tomat udah, terasiii... terasi itu yang mana?" tanya Azalea pada Ibrahim.
"Yang baunya menyengat, Za," kata Ibrahim.
"Ah iya! Yang baunya gak enak itu ya? Bentar-bentar aku tambahin terasi dulu." Azalea lalu pergi ke lemari dapur dan mengambil terasi untuk ditambahkan ke sambelnya.
Wanita itu lalu mengulek sambelnya dengan gaya yang masih kaku karena dia belum pernah ngulek sebelumnya. Setelah dia kembali mencicipinya terlihat wajahnya yang sangat puas karena sudah menemukan akar permasalahan dari keanehan rasa sambelnya.
"Kamu jeli banget, Za. Kataku si enak-enak aja," ujar Ibrahim. Sang istri hanya tersenyum tipis lalu memulai makannya.
~~~
Sekitar jam 10 siang, Ibrahim kembali ke rumahnya setelah berbincang dengan abinya mengenai perluasan bangunan pesantren. Laki-laki itu mendapati istrinya sedang menonton TV dan kelihatannya sangat fokus sampai dia tidak menyadari kedatangan Ibrahim.
"Za!" Ibrahim menyentuh bahu Azalea dan wanita itu langsung terperanjat, dia terkejut padahal suara Ibrahim sangat pelan. Setelah puas mengomeli Ibrahim akhirnya wanita itupun bisa tenang.
"Kamu udah makan?" tanya Ibrahim. Azalea menggeleng.
"Mau makan di luar?" tanya Ibrahim lagi.
"Terserah kamu aja," sahut Azalea.
"Oke, kita makam siang di luar, kamu siap-siap dulu ya," kata Ibrahim dan dibalas dengan anggukan oleh Azalea.
"Assalamu'alaikum! Ibra!"
Suara Ning Aliya membuat Azalea yang sedang merapikan hijabnya terkejut. Begitu juga Ibrahim yang sedang bersiap untuk pergi.
Karena Ibrahim tau Ning Aliya tidak terlalu akrab dengan Azalea. Dia pun menghampiri kakak iparnya itu.
"Ada apa, Mbak?" tanya Ibrahim.
"Mbak kesini mau anterin ini buat kamu, kepiting saus padang, kesukaan kamu," kata Ning Aliya seraya memberikan lauk itu kepada Ibrahim.
"Makasi Mbak," kata Ibrahim.
"Kita jadi pergi sekarang?" tanya Azalea yang muncul dari dalam.
"Kalian mau pergi kemana?" tanya Aliya.
"Mau pergi ke restoranku, Mbak," jawab Ibrahim.
"Ngapain? Mau makan disana? Ih gak usah kan mbak sudah bawain kamu lauk," ujar Ning Aliya dengan wajahnya yang mulai terlihat menyebalkan di mata Azalea.
"Aku cuma mau lihat keadaan disana, Mbak," kata Ibrahim.
Ning Aliya memutar bola matanya. "Kamu gak usah ngelak Ibra, Mbak ngerti kalau istri kamu ini gak bisa masak, makanya kamu ngajak dia makan di luar, gitu kan?" cerocosnya. Azalea yang muak langsung pergi ke kamarnya. Dia tidak mau kalau sampai harus menangis di depan wanita menyebalkan itu.
"Nggak mbak, tapi memang aku yang mau ngajak dia keluar, Aza bisa masak kok." Ibrahim masih berusaha membela Azalea.
"Iya deh, mbak pulang dulu kalau gitu," pamit Ning Aliya lalu pergi dari rumah Ibrahim.
Setelah kakak iparnya itu pergi, Ibrahim segera menghampiri Azalea di kamarnya. Istrinya itu tampak murung berada di atas tempat tidur dengan memainkan ponselnya.
"Za, kita makan sekarang yuk!"
Azalea melirik sekilas ke arah Ibrahim lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa bersuara.
"Maafin mbak Aliya ya," sambung Ibrahim.
Azalea langsung meletakkan ponselnya. Menatap Ibrahim tajam. "Harus sabar sampai kapan aku ditindas kayak gini sama mbak Aliya?" ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Ibrahim meraih tangan Azalea dan menggenggamnya. "Maafin aku ya, aku gak bisa melawan mbak Aliya karena aku menghormati Mas Musa. Tapi aku janji sampai kapanpun aku akan tetap membela kamu di depan mbak Aliya. Maaf ya!" ujar Ibrahim. Azalea hanya diam dan melepaskan tangannya dari tangan Ibrahim.
"Sekarang makan ya!"
Azalea tidak menjawab dan langsung pergi dari kamarnya ke arah dapur. Ibrahim hanya tersenyum lalu pergi menyusul Azalea.
"Aku makan sama telur aja, aku males makan makanan itu!" kata Azalea seraya mengambil wajah untuk menggoreng telur. Ibrahim tidak mau memaksa Azalea agar tidak memperpanjang masalah dengan istrinya itu.
Baru sesuap Ibrahim langsung menghentikan makannya. "Ini masakan Ustadzah Naila," ujarnya.
Bersambung ...
Jangan lupa vote and comment ya 💜
Next?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro