Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sixth Day: Monday

KERAN air wastafel toilet menyala, Iqbaal membasuh mukanya dua kali. Kaca dihadapannya tidak menampakkan wajahnya yang segar, alih-alih mukanya yang kusut nan gusar. Ia kurang tidur semalam karena mesti mengerjakan banyak tugas. Tugasnya tidak begitu banyak, tetapi ada beberapa guru yang serta-merta memberi tugas dadakan melaluinya—yang notabene merupakan ketua kelas—dan Iqbaal membagikannya di grup kelas, mendapati banyak anak melayangkan protes. Iqbaal tak mau ambil pusing, gerutuan mereka tidak dibaca olehnya, bahkan ada yang mengirimkan pesan suara di grup dan Iqbaal tidak mau mendengarkan.

Sekarang masih pagi, sekitar pukul setengah tujuh. Pelajaran pertama akan diisi oleh pelajaran Biologi. Ada tugas yang telah diberikan Bu Rain, membuat sebuah makalah dengan tema tertentu. Iqbaal sudah mengerjakannya, tetapi belum ia cetak karena alat pencetaknya di rumah rusak. Untungnya, di sekolah disediakan alat cetak sendiri. Jadi, ia hanya bermodalkan flashdisk serta beberapa kertas putih kosong. Meski yang kurang hanya tinggal bahan-bahan tuk dijilid, tapi Iqbaal tidak memedulikan itu. Makalah tanpa jilid sesekali tak apa, kan?

Mumpung jarum jam belum menunjukkan pukul tujuh, Iqbaal pergi mendekati meja piket karena tepat di sebelahnya ada komputer juga alat cetak. Manfaatkan waktu sebaik mungkin selagi belum masuk, prinsipnya ketika terdesak. Namun, Iqbaal mesti mendesah pasrah tatkala sedang berlaku antrean panjang di sekitar meja piket. Selidik punya selidik oleh matanya yang sesekali mendongak, banyak anak yang bernasib sepertinya. Terlebih, hari ini ada sekitar tiga kelas dengan pelajaran dan guru yang sama. Iqbaal mesti bersabar.

Masih ada waktu lima belas menit lagi, tetapi fotokopi juga belum buka sepagi itu. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi, kecuali turut mengantre sebelum menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya. Jeda waktu setelah bernyanyi juga tidak banyak, hanya saat inilah kesempatannya.

Aldi, sohibya yang jarang mengerjakan tugas, malah sudah membuat makalahnya dengan baik, bahkan ia sudah menjilidnya dengan dalih mendadak rajin. Iqbaal duga, hari Minggu kemarin Aldi menganggur sehingga tidak ada pilihan lain selain mengerjakan tugas. Meskipun tugas makalah ini dikerjakan dengan baik, tugas-tugas lain tidak dikerjakan Aldi. Tidak seperti Iqbaal, memang anak itu hanya bisa bertahan pada beberapa tugas saja.

Iqbaal tak sengaja curi-curi dengar dari beberapa gadis di depannya yang juga mengantre. Sedetik kemudian ada Zahra yang menghampiri mereka, Iqbaal sontak terkesiap. Ia buru-buru mengambil iPhone yang tidak dinyalakan, mendapatkan wajahnya sendiri di layar hitam sesekali membenarkan posisi rambut dan memerhatikan kondisi permukaan kulitnya. Iqbaal refleks melakukannya, mungkin dengan itu dapat memunculkan sedikit ketertarikan pada Zahra.

Iqbaal sigap memasukkan kembali ponselnya kala Zahra menyapanya. "Halo Ra," sapa Iqbaal balik. "Mau prin makalah juga?"

"Nggak, makalah saya udah selesai. Kemarin rencananya emang mau prin di sekolah, tapi udah saya duga bakal ramai," paparnya yang membuat Iqbaal berseri-seri. Baru kali ini Zahra berinisiatif menjelaskan tanpa diminta oleh Iqbaal. Lelaki yang jago menyanyi itu rasa bahwa Zahra mulai menaruh respek padanya. Iqbaal optimis jika hubungan mereka akan berkembang.

"Oh," Iqbaal berucap lama sambil memikirkan kalimat-kalimat lain, "terus kenapa ke sini?"

Zahra mengendikkan dagunya ke belakang—ke arah teman-temannya—sekilas. "Teman saya meminta kertas lebih karena kertasnya kurang. Untungnya saya bawa kertas tambahan, Iqbaal sendiri? Mau prin makalah? Sebentar lagi nyanyi Indonesia Raya, lho."

"Iya nih, tugasku belum selesai," tuturnya sambil menunjukkan kertas-kertas dan flashdisk bertuliskan 24 gigabyte. "Kalau belum mulai juga nggak apa-apa, kan? Kita juga nyanyinya di koridor."

Mata cokelat tua Zahra menatap skeptis. "Tapi, nggak akan sempat."

"Soal itu gampang, kok." Iqbaal membalas dengan acungan jempol tangan kanannya yang sedang memegang flashdisk. "Oh ya, bagaimana kemarin? Donasiku udah dimasukkan? Aku jadi donatur ya, sekarang?" tambahnya, bermaksud memperpanjang obrolan.

Zahra mengangguk. "Sudah kok, dari kemarin Iqbaal juga sudah jadi donatur. Ceknya udah saya kasih ke bendahara OSIS dan kemarin panitia acara juga senang banget lihatnya. Terima kasih ya, Iqbaal, saya pastikan Iqbaal dapat informasi lebih dulu tentang pensinya," ujarnya. Iqbaal tahu gadis itu hanya memberi kompensasi atas donasinya kemarin. Ya, sepertinya banyak berharap juga tidak mungkin.

"Zahra luang habis pulang sekolah?"

"Tidak, saya ada jadwal sama teman-teman saya nanti," jawab Zahra sambil menunjuk gadis-gadis di belakangnya dengan ibu jari kanannya.

"Oh, oke." Iqbaal menelan kekecewaannya bulat-bulat, tetapi seringai licik muncul di wajahnya tanpa Zahra ketahui makna seringai sebenarnya yang dianggapnya hanya sebuah senyum menghormati.[]

***

Iqbaal mengetuk-ngetuk kakinya di lantai. Meski masih ada beberapa murid di koridor, suara kakinya cukup kentara. Punggung ia sandarkan pada dinding di sebelah pintu kelasnya, sesekali memainkan ponselnya di kala bosan. Kendati, ia sedang menunggu sesuatu. Setelah pintu kelas seberangnya terbuka dan beberapa orang melangkah keluar, Iqbaal siap siaga. Ia berjalan lebih dulu mendahului mereka, keluar menuju pusat perbelanjaan modern yang berada di dekat sekolahnya. Setelah menaiki eskalator menuju lantai dua, ia menunggu beberapa saat di tempat kedai-kedai makanan lalu menuju tempat bermain setelah lima menit berjeda.

Nama tempat bermain yang cukup beken tertulis besar di langit-langit pintu masuk. Iqbaal melirik sekilas lalu masuk sembari mencari eksistensi yang dicarinya. Di dalam didominasi dengan beberapa warna mencolok, sedikit gelap ketimbang kedai-kedai makanan di luar, serta suara bising yang tumpang-tindih. Ada banyak macam permainan di sini, seperti permainan olahraga basket melemparkan bola sebanyak-banyak ke dalam ring guna mencetak poin sebanyak yang dicantumkan lalu ada permainan tembak-tembakan, balapan, bahkan mengambil undian, dan permainan dansa, serta yang permainan yang lainnya. Setelah beberapa saat, presensi yang dinantikannya telah berdiri sambil mengecek ponsel—tidak tahu jika Iqbaal sedang memperhatikannya.

Iqbaal mendekati seraya membuka pembicaraan. "Zahra sendirian aja?"

Zahra tersentak begitu mendapati Iqbaal di sampingnya, buru-buru ia menjawab, "Nggak, sedang menunggu teman."

Iqbaal pura-pura mengiakan. Beberapa saat yang lalu ia telah menemui teman-teman Zahra dan mengatakan sebagai pembawa pesan Zahra bahwa Zahra sedang sibuk mengajarinya hari ini, mereka pun mengiakan sambil berpandang-pandang dan menitipkan pesan bahwa akan pulang lebih dulu dan sepertinya mereka tidak berniat mengabari Zahra melalui pesan daring. Iqbaal jelas akan memanfaatkan situasi ini.

"Selagi tunggu teman-temanmu, bagaimana kalau bermain bareng aku? Aku cukup jago bermain di tempat seperti ini," tawarnya to the point.

"Tapi, aku tidak membawa kartu permainan—"

"Kalau itu jangan khawatir! Aku punya kok, tapi saldonya nggak banyak, sih. Mau isi bareng-bareng?"

Setelah berpikir beberapa saat, Zahra membalas, "Ayo aja, patungan berapa?" Setelah menyepakati jumlah nominal sebagai bentuk patungan, mereka segera menuju kasir guna mengisi saldo pada kartu permainan Iqbaal kemudian kembali ke bagian permainan seraya melihat-lihat, menimbang-nimbang permainan pertama yang akan mereka mainkan.

"Mau bermain apa dulu?" celetuk Zahra sambil memerhatikan permainan memukul gendang besar yang sedang dimainkan oleh dua orang anak kecil, di sebelah anak kecil tersebut ada permainan mengambil boneka dengan mesin yang dimainkan oleh dua orang remaja cewek.

"Mau coba lempar basket? Sebelah sana sedang kosong, mumpung belum ditempati, bagaimana?" Iqbaal memberi tawaran yang langsung disetujui Zahra. Begitu mereka sudah sampai dan berdiri bersebelahan di hadapan dua ring basket, Iqbaal berseru, "Aku tidak akan kalah. Meski aku jago di sepak bola, bukan berarti nggak bisa main basket."

"Saya nggak terlalu bisa, sih. Tapi, saya suka voli dan pernah melempar beberapa toss[2], basket bukan halangan. Teman-teman saya juga pernah mengajarkan basket dan bermain dengan saya." Iqbaal merasa terhura—kata terharu yang sering dipelesetkannya—karena baru kali ini Zahra berbicara panjang selama berinteraksi dengannya.

"Oke, yang menang pertama kali akan mendapatkan hadiahnya dari yang kalah. Aku menantangmu," ucap Iqbaal kegirangan.

Zahra tak mau kalah, dengkusan ia hadirkan sebagai bentuk meremehkan. "Siapa takut? Ayo aja," balasnya sengit.

Setelah papan angka yang menunjukkan hitungan mundur usai, mereka mulai melemparkan bola dengan sengit. Iqbaal berhasil melemparkan lima kali bola dan masuk berturut-turut, sedangkan lemparan Zahra hanya masuk sesekali. Di tengah-tengah permainan, Iqbaal dapat mendengar Zahra merutuk beberapa kali. Sepertinya gadis itu mulai serius dan bersenang-senang secara bersamaan.

Ronde satu telah usai, mereka lolos ke ronde dua, tetapi skor poin menunjukkan bahwa punya Iqbaal lebih besar tiga puluh poin. Iqbaal yang tahu itu langsung menceletuk, "Masih ada satu ronde lagi. Aku yakin kamu nggak bakal puas jika tidak dilanjutkan."

"Challenge accepted," jawab Zahra sambil cengar-cengir. Iqbaal terenyak sepintas karena kalimat itu mengingatkannya akan tantangan yang lain.

Begitu ronde dua dimulai, mereka berdua mulai melemparkan bola dengan gesit ke ring yang kali ini bergeser ke kanan juga ke kiri. Lemparan Zahra mulai lebih baik ketimbang ronde satu, tetapi skor poinnya masih belum menyaingi poin Iqbaal. Iqbaal yang melirik sekilas, merasa tergugah dan gencar melempar bola secara membabi-buta. Zahra tak mau kalah, lemparannya lebih cepat, tetapi tidak seperti lemparan Iqbaal yang merawak.

"Yes, bentar lagi—menyangkut!" pekik Iqbaal panik begitu mendapati bola basket yang dilemparkannya meleset, dan menyangkut di samping ring yang sedang bergeser. "Bolanya kok, nggak jatuh, sih?"

"Kalau lengah, nanti saya susul, lho," ancam Zahra sambil melemparkan bola-bolanya tanpa menengok pada Iqbaal.

Iqbaal kepanikan, dengan sembrono ia lemparkan bola basket ke dalam ring. Kali ini berhasil masuk, tetapi bola basket yang menyangkut tetap tersangkut. Ia sempat kekurangan bola karena bola yang dimilikinya tinggal dua. Belum ditambah ada anak kecil yang tiba-tiba naik ke mejanya dan mengambil satu bola basket miliknya. Iqbaal sempat tergugu-gugu karena anak kecil itu dengan berani berdiri di depannya. Setelah mengingatkan berbagai macam nasihat serta melemparkan bola dengan hati-hati, anak kecil itu pun turun tanpa melepaskan bola basketnya. Iqbaal merutuk setelahnya dan menyadari bahwa waktunya tinggal dua detik lagi. Begitu pertandingan selesai, ia sudah kalah karena Zahra telah mendahului skor poinnya.

"Kalah karena anak kecil? Konyolnya," cibir Zahra sambil tergelak.

Iqbaal cemberut. "Mau bagaimana lagi? Tiba-tiba dia datang ya, pasti bakal keheranan. Baru kali ini aku menemukan anak kecil senekat itu," kilahnya.

"Jangan beralasan. Saya yang menang, lho. Saya yang mendapatkan hadiahnya." Zahra mengingatkan dengan bangga.

Iqbaal menghela napas. "Oke, deh. Mau apa?"

"Hm," jedanya seraya berpikir lamat-lamat, tapi Iqbaal tahu gadis itu sudah memutuskan pilihannya sejak tadi, "traktir saya makanan di food court?"

"Hah?"

"Iqbaal kan, sudah berjanji."

"Tapi, kalau traktir, hm."

"Iqbaal yang membuat tantangannya, kan? Jangan hipokrit, saya yang menang, lho."

Iqbaal mendesah. "Baiklah, tapi nanti, kan?"

"Ya iyalah, saya masih pengin bermain." Untung Zahra cewek juga merupakan targetnya, kalau enggak Iqbaal bisa-bisa keceplosan memakinya. Hari ini sudah ada Aldi yang meminta traktiran karena ditinggalkannya saat Sabtu kemarin. Aldi tak kira-kira mengambil makanan di kantin, jika Iqbaal tak membawa uang jajan lebih, hari ini ia sudah bangkrut; sepertinya terancam bangkrut lagi karena Zahra telah memintanya ditraktir sebagai hadiah pemenang. Untuk pertama kalinya Iqbaal menyesal menantang orang.

"Udah tuh, menang. Aku kapok menantangmu lagi."

Zahra tergelak, jarang sekali Iqbaal melihatnya tertawa. "Nggak, cukup sekali. Kalau saya kalah, saya nggak mau traktir. Mau main dance game? Habis itu bisa main balapan sama tembak-tembakkan, ah—karaoke juga enggak buruk! Ada karaoke di bagian belakang, kali-kali Iqbaal mau mendengarkan suara emas saya."

Iqbaal pura-pura berlagak ingin muntah. "Yang punya suara emas itu hanya aku seorang. Ya udah ayo, begini-begini aku jago dance. Dengan sedih, aku pastikan kamu kalah nanti."

Alis sebelah Zahra terangkat, merasa tergugah. Dengan lagak, sebelah tangannya berkacak pinggang. "Siapa takut?"

Hari ini, Iqbaal merasakan kupu-kupu euforia menghinggapinya di perut.[]

[2] toss: lemparan, biasanya dalam bola voli

TBC

[A/N]

2 part lagi selesai, arrofiatuz94 siap2 ucapkan selamat tinggal

1 Juli 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro