prolog: Tuesday
IQBAAL tak pernah serisau ini jika diajak bertemu. Padahal ini hanya janji temu tuk menongkrong saja. Baginya, menongkrong merupakan kebiasaan orang milenial tuk menghabiskan waktu bercengkerama. Ia sendiri sering melakukannya terutama bersama Aldi yang notabene sudah seperti saudara kandungnya. Namun, kali ini berbeda. Perasaannya waswas. Ia cemas akan sesuatu. Pasalnya, yang mengajaknya menongkrong kali ini adalah Bang Kiki-seniornya di sekolah serta di ekstrakurikuler musik.
Bang Kiki itu baik, Iqbaal tahu itu. Ia lebih tahu dari siapa pun, bahkan dari Aldi. Bang Kiki juga humoris serta bersahabat. Oleh karena itu, Iqbaal akrab memanggilnya "Bang Kiki". Meskipun selain dia, banyak juga yang memanggilnya demikian. Bang Kiki akrab dengan semua orang. Semua orang dipandangnya sama. Tak segan-segan ia suka merangkul teman sesama jenisnya, menunjukkan ikatan pertemanan yang kuat.
Iqbaal menyukai Bang Kiki lebih dari siapa pun. Tentu bukan suka dalam artian lawan jenis, tetapi suka sebagai adik-kakak. Iqbaal telah menganggap Bang Kiki sebagai kakak kandungnya sejak ia dekat pertama kali, yakni berkisar tiga tahun lalu ketika ia berada di bangku kelas VII SMP. Sampai sekarang pun ketika ia berada di kelas XI SMA, Iqbaal tak pernah mengubah cara pandangnya pada Bang Kiki. Meski mereka beberapa kali memiliki perbedaan, tidak pernah sekali pun Iqbaal kehilangan hormat pada senior kesayangannya. Tidak pernah. Kecuali dalam beberapa hal.
Kafe minimalis dengan tampilan estetik yang dijadikan destinasi hanya berjarak beberapa meter. Namun, Iqbaal merasa waktu lebih lambat atau kakinya saja yang beralasan? Dengan berjalan kaki kurang dari tiga menit pun bisa sampai. Jika Iqbaal membawa motornya hari ini, ia bisa sampai kurang dari itu. Apa karena ini efek tidak membawa motor? Entahlah, hanya Tuhan yang mengetahui.
Dalam jarak dua puluh meter saja, Iqbaal sudah dapat menemukan sosok yang akan ditemuinya. Bang Kiki duduk di sudut jendela memanjang, yang mana posturnya terlihat kontras sehingga mudah ditangkap oleh mata. Bang Kiki tidak duduk sendiri, di sebelahnya ada Aldi yang turut menemani. Sebelah alis Iqbaal terangkat heran, ia kira hanya Iqbaal seorang yang diajak Bang Kiki. Meski dibilang hanya tongkrong-menongkrong, ajakan sebelum Bang Kiki sebelumnya tampak lebih personal. Oleh karena itu, Iqbaal kira tidak akan ada orang lain selain dirinya. Ya, tidak apa-apalah. Bukannya bagus jika ada Aldi jadi tidak terlalu canggung?
Tampak Aldi menyadari keberadaan Iqbaal di seberang dan melambaikan tangannya. Bang Kiki langsung menengok dan tersenyum semringah. Iqbaal balas melambai sambil menengok arah kanan jalan yang hanya memiliki satu jalur. Tak lama, Iqbaal pun sudah tiba di meja mereka.
"Lama, ya?" sambar Iqbaal cepat, memastikan mereka tidak menunggu lama hanya karena tingkah bodohnya yang tentu tak disebutkan.
Aldi mendengkus lalu terkekeh mengejek. "Lama banget. Gue kayak mau lumutan aja buat nunggu doang."
Iqbaal mencibir sambil menarik kursi kosong tuk diduduki, "Yee, lo kayak nggak biasa nunggu aja. Biasanya juga sering menunggu balikan sama mantan, tapi nggak jadi-jadi."
"Anjir, jangan buka aib! Malu nih, sama Bang Kiki yang udah taken." Aldi meninju lengan Iqbaal pelan. Mukanya sudah memerah malu seolah-olah ia adalah cowok gagal.
"Terus lo ngapain ke sini?" tanya Iqbaal tanpa mengacuhkan ucapan Aldi tadi.
"Gue kebetulan aja ketemu sama Bang Kiki. Karena gue bosan ya udah ikut aja pas tahu Bang Kiki lagi nungguin lo," sahut Aldi yang tak dibalas lagi oleh Iqbaal.
Bang Kiki tertawa melihat kelakuan dua sahabat sering tengkar itu. "Baal, mau pesan apa? Mending pesan dulu aja," sarannya sambil memberikan buku menu yang terbungkus apik.
Iqbaal mengambilnya lalu melihat daftarnya perlahan. "Kalau bentar gue pesan es kopi aja," katanya.
"Emang nggak lama, kok. Paling lima menit juga selesai," tukas Bang Kiki.
Iqbaal langsung mendongak. "Demi apa? Bentar banget," ungkapnya kecewa. Baginya, menongkrong bersama Bang Kiki itu seperti ia mendapat topi baru-yang sekaligus sebagai barang kesukaannya. Malah, lebih dari itu karena Bang Kiki seperti kakak kandungnya setelah Teh Ody. Makanya, jika berlama-lama dengan Bang Kiki, Iqbaal pasti senang. Kecuali hari ini, harusnya senang, bukan cemas yang ia rasakan sekarang. Ia jadi bingung sendiri, apa nama perasaan cemas di satu sisi juga kecewa?
Setelah mengikuti saran Bang Kiki, pesanan es kopi Iqbaal telah datang. Aldi juga memesan kembali cappuccino untuk kedua kalinya, sedangkan kopi hangat Bang Kiki masih cukup untuk menemani sesi menongkrongnya.
Iqbaal tak tahan untuk mengeluarkan isi pikirannya. Maka dari itu, ia bertanya lebih dulu, "Jadi, kenapa ya, Bang? Kayak nggak ngajak nongkrong biasanya."
"Iyatah? Seperti biasa, ah," elak Bang Kiki sambil menyeruput sedikit kopi hangatnya. Bang Kiki pun melanjutkan dan dihadiahi reaksi bingung Iqbaal, "Tapi, ya, nggak benar-benar seperti biasa juga, sih." Benar, Iqbaal sudah cemas. Mungkinkah ada sesuatu?
Aldi mengejap, menyadari bahwa topik ini akan personal. "Wah, kayaknya gue salah ikut nimbrung, ya? Duh, jadi nggak enak," selanya canggung. Aldi sudah bersiap untuk pergi.
"Nggak apa-apa, Di. Lo mending ikut aja, biar jadi saksi," kata Bang Kiki membikin Iqbaal mengernyit. Saksi? Memangnya mereka-tidak, Bang Kiki ingin melakukan apa?
Aldi terkikik canggung, masih ada rasa tidak enak yang melingkupinya. "Uhh, oke, deh. Tapi, gue diam aja, ya. Palingan juga gue nggak ngerti."
Bang Kiki mendengkus, cukup keras hingga disadari Iqbaal dan Aldi. "Pasti ngerti, kok. Yang kita bicarakan kan, tentang Iqbaal," potongnya cepat hingga Iqbaal mendapatkan dua tatapan sengit serta bingung.
"Gue?" tanya Iqbaal, memastikan. Dapat Iqbaal rasakan-Aldi juga-bahwa atmosfer di sekitar mereka berubah. Rasanya, jadi lebih berat. Mungkinkan tekanan yang Bang Kiki ciptakan tiba-tiba? Iqbaal tak mengerti, jarang sekali melihat Bang Kiki seperti ini. Pandangannya pun berubah dari yang lembut menjadi lebih serius dan juga... tajam.
"Gue pengin lo jujur tentang enam bulan lalu," sembur Bang Kiki ketus.
Perasaan Iqbaal tidak enak. "Enam bulan lalu?" tanyanya mengulangi, dan memastikan bahwa yang didengar dan yang akan didengarnya adalah salah-jika dugaannya benar.
Bang Kiki lalu tersenyum. Senyumnya sangat tajam dan mengerikan, seperti sebuah seringai dan atau memang sebuah seringai? Sekilas Iqbaal dan Aldi bergidik. "Gue nggak mungkin nggak tahu. Begini aja deh, bagaimana kalau lo melakukan sebuah tantangan? Kalau lo menang dari tantangan yang gue kasih, gue nggak akan kasih tau ke 'Sasha' dan Soniq lo. Kalau lo kalah ya sebaliknya," paparnya yang penuh penekanan di bagian tertentu. Iqbaal mengerti sekarang, wajahnya kini kalut lebih dari kehilangan topi-topi kesayangannya.
Aldi yang menjadi saksi mereka tidak dapat berkata-kata. Kalimat candaannya tiba-tiba saja menghilang ketika melihat situasi penuh tekanan ini. Terlebih rautnya tidak bisa digambarkan dengan jelas setelah mendengar ucapan dari Bang Kiki.
"Buat seseorang menyatakan cintanya pada lo."
Iqbaal meneguk ludahnya sendiri. Tiba-tiba saja ia tercenung, bingung memilih iya atau tidak. Namun, satu hal yang pasti, Iqbaal cukup tahu itu mudah dilaksanakan.[]
TBC
29 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro