Fourth Day: Saturday
YANG dihabiskan Iqbaal kemarin kurang lebih sama dengan lusa kemarin. Ia hanya belajar, menyimak Zahra menjelaskan dengan khidmat lalu mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh. Sisi lainnya, Zahra cukup membantu Iqbaal mengerjakan soal-soal sulit dan menjelaskan asal mula ia mendapat jawaban itu. Iqbaal sendiri jadi makin terlatih mengerjakan soal begitu sampai di rumah malamnya.
Bagus, tapi menjemukan.
Iqbaal jemu karena hubungan mereka tidak kunjung berkembang. Hanya berupa teman yang membantu tuk belajar. Hanya itu saja, bahkan tumbuh lebih pun tidak. Sudah empat hari berlangsung, pertemuannya dengan Zahra tidak lebih dari tutor sebaya. Di sekolah pun bertegur sapa mereka jarang. Iqbaal pernah menyoba menyapanya dan hanya dibalas anggukan atau tidak dibalas sama sekali.
Aldi yang acapkali di sebelahnya selalu menepuk pundak Iqbaal lalu berkata dan bertingkah dramatis seolah-olah ia turut prihatin, padahal tertawa di dalam hatinya. Iqbaal tahu itu, ia tidak bodoh. Aldi menertawakan nasibnya. Menjengkelkan.
Hari ini orangtua Iqbaal sedang keluar hingga sore menikmati undangan makan siang juga malam dari rekan bisnis mereka di luar kota. Iqbaal diberi tahu jika mereka akan pulang terlambat atau kemungkinan lainnya pulang esok hari karena telah larut malam. Kakaknya yang biasa ia panggil Teteh (dalam panggilan khas orang Sunda) juga tengah sibuk akan tugas kuliahnya. Mengingat fakta bahwa kakaknya akan segera lulus dengan predikat Sarjana Kedokteran Gigi, Iqbaal mafhum jika bantal tidur selalu dibawa kakaknya nyaris setiap hari. Fakultas kedokteran, bagaimana tidak sibuk?
Maka dari itu, ia sendiri di rumah sambil kurang kerjaan. Aktivitasnya selama Sabtu pagi setelah tahajud, tidur hingga subuh lalu mengaji menunggu matahari terbit selagi mengantarkan orangtuanya ke garasi. Setelahnya, ia membantu Teh Ody membuat sarapan dan menikmatinya bersama. Ia dan kakaknya memilih nasi goreng sebagai bentuk yang simpel dan enak dinikmati. Seusai sarapan, barulah Iqbaal mengantarkan kakaknya hingga ke depan pagar. Tadinya mereka sempat berdebat karena Teh Ody meminta Iqbaal mengantarkannya hingga ke perpustakaan kota. Namun, Iqbaal tak berani karena jalan di sekitar situ sangat ramai dan penuh akan razia polisi. Iqbaal belum genap 17 tahun, ia tak mau ambil risiko mendapat surat peringatan hingga orangtuanya mesti pulang atau menelepon untuk menceramahinya. Hari Sabtu yang tenang pun, Iqbaal masih berpikir panjang.
Dan setelah kepergian Teh Ody sejam yang lalu, Iqbaal bergelut malas di kasur ukuran 180x200 sentimeter itu. Ia hanya mondar-mandir ke sekitar kamar, mengambil komik di rak sudut atau bermain gitar yang tersampir berdiri disokong dengan alat bantu. Atau jika jenuh, ia bermain alat musik lain yang ada di kamarnya. Iseng-iseng, ia bermain keyboard, jarinya bergerak asal, sehingga nada yang dikeluarkan juga tidak selaras. Lalu menuju drum set yang berada di dekat jendela kamarnya yang besar memanjang dari dasar lantai sampai atas.
Selama bermain drum dengan dentum gedebak-gedebuk, pemandangan luar jendela sedikit menarik minatnya. Tempo permainan drumnya mulai memelan, begitu sepasang stik drum ditaruh asal di atas genderang, Iqbaal berdiri mendekati jendela. Gorden satu lapis tebal berwarna abu-abu itu disibak, menyaksikan keadaan lapangan kosong dari lantai dua rumahnya.
Benar-benar kosong, tidak banyak anak kecil yang bermain di sana. Barangkali hanya satu-dua anak.
Iqbaal jenuh setengah mati. Kamarnya yang luas serta fasilitas yang mumpuni seolah tidak berguna hari ini. Komputer terbaru; televisi yang dapat memuat permainan-permainan PSP-nya; berbagai alat musik penghibur lara; serta rak-raka dengan bermacam-macam komik dari Marvel hingga Manga. Isinya raknya tidak jauh-jauh dari aliran para cowok, seperti pahlawan, aksi, misteri atau thriller, bahkan jenis shounen[1] seperti Detective Conan atau Attack on Titan. Ia nyaris mengumpulkan semua serinya hingga rak lima tingkat dengan dua kolom di masing-masing kotak yang berukuran 50x50 senti itu memadat. Namun, hari ini seolah semua itu sirna, tidak ada apa-apanya.
Ia suntuk juga frustrasi memikirkan tantangan yang baru berjalan lima hari. Otaknya memerintah untuk mundur dari tantangan, tetapi hatinya tidak menerima. Konflik batin tak akan bisa dicegah. Sudah empat hari ini, tetapi Zahra belum juga menunjukkan ketertarikannya pada Iqbaal. Tak bisa dicegah, dari tiga hari kemarin mereka juga hanya berjanji belajar bersama. Terlebih, Iqbaal sudah kehabisan ide untuk mendekati Zahra. Kemarin hari terakhirnya belajar bersama Zahra, ia tidak mungkin meminta gadis itu mengajarinya lagi. Ia sudah memaksanya pada hari pertama, gadis itu terlihat enggan. Jika Iqbaal meminta lagi, ia yakin Zahra akan menolaknya.
Rambut hitamnya ia kucek-kucek kasar. Ia ingin menongkrong, melepaskan penatnya pada sebuah kopi. Aldi sudah dikontaknya tadi dan bersedia menemani Iqbaal selama siang ini, lagi pula anak itu memang sama-sama bosan seperti dirinya.
Rumah dan garasa ia kunci, motor dikemudikan menggunakan helm selama perjalanan. Sekitar setengah jam kurang untuk tiba di kafe dekat sekolahnya setelah melewati terminal serta pasar-pasar padat yang tidak pernah sepi pengunjung. Kafe tersebut buka setiap hari, dengan jam buka-tutup yang tidak jauh berbeda.
Parkiran di depan dan samping kafe lumayan padat, tidak ada ruang untuk motor Harley Davidson Iqbaal. Ia terpaksa memarkir di toko buku persis sebelah sekolahnya. Untungnya, masih ada beberapa tempat yang tersisa, dan Iqbaal bebas memilih di antara tempat itu.
Sebelum turun dari motor, dicek kolom pesannya bersama Aldi. Aldi belum juga memberi tahu keberadaannya sejak terakhir bilang, "OTW". Ketimbang masuk lebih dulu ke kafe, ia memilih menunggu balasan di atas motor. Ia tidak mau masuk ke kafe seorang diri. Terakhir dia masuk sendiri, ia dihampiri oleh cewek-cewek berseragam dikecilkan dari sekolah tetangga. Kapok datang sendirian lagi, ia sering meminta sohibnya, Aldi.
Sembari menunggu, Iqbaal becermin merapikan rambutnya. Jari-jarinya mengibas poninya yang sudah seperti mangkok—bagaikan salah satu karakter animasi Jepang yang sedang beken.
Begitu denting pesan menyentak, Iqbaal buru-buru mengambil iPhone-nya dari balik saku.
"Iqbaal kenapa ke sini?"
"Eh?"
"Iqbaal, kan?" Iqbaal mengangguk lamat-lamat. "Lo, kayak enggak kenal gue. Gue ini, Babas," sahutnya sambil cengar-cengir.
Iqbaal membulatkan mulutnya. "Oh, Babas, toh! Tumben orang kayak lo ke toko buku, kesambet apa?"
"Gue pinter keles," elak Bastian, bibirnya mengerucut tersinggung. Iqbaal meminta maaf sambil bercanda. "Gue kan, OSIS, habis rapat tadi dan beli beberapa buku agenda yang habis," balasnya sebagai bentuk kompensasi atas permintaan maafnya.
Iqbaal tak menunggu Bastian melanjutkan karena ia tahu setelahnya. OSIS rapat karena acara sekolah yakni pensi akan segera tiba sebelum penilaian akhir semester. Wajar, salah satu rekan ekskul musiknya ini sedang masa-masa sibuk karena ia anggota OSIS sejak kelas X.
Namun, pikiran Iqbaal bukan tertuju pada itu. Jika Bastian rapat, maka dia juga rapat? Bukankah itu berarti, iya? Oh, Iqbaal mengucapkan terima kasih pada Bastian sehingga membuatnya bingung makna terima kasih Iqbaal. Iqbaal tahu Bastian tidak membantunya secara nyata dalam beberapa menit yang lalu, maka dari itu buat apa Iqbaal berterima kasih padanya? Hanya Iqbaal yang dapat menjelaskan, tetapi tanpa tedeng aling-aling ia meninggalkan Bastian yang masih terpaku seolah Iqbaal bersikap aneh hari ini.
Iqbaal melihat gang selebar satu mobil dan dua motor itu sepi, tidak tampak presensi lain kecuali pedagang kaki lima dan tukang fotokopi. Diduga, rapatnya sudah selesai sejak tadi karena Bastian mampir ke toko buku. Jadi kecil harapan ia terhadap gadis yang kadang hiperaktif—tentunya jika bersama teman-temannya—itu.
Pandangannya menangkap sesosok berpakaian bebas kasual itu yang baru keluar pagar sekolah seorang diri. Iqbaal dengan sigap menghampiri dan menggenggamnya menjauhi sekolah.
"Lah? Perasaan kemarin ketemunya deh, kenapa sekarang mesti ada lagi?" celetuk Zahra yang tampaknya setengah heran dan setengah muak pada eksistensi Iqbaal.
Iqbaal tertohok, bertingkah dramatis seolah-olah ia adalah makhluk paling menderita di dunia. "Duh, sakit, Ra, aku cuman pengin ketemu kamu," semburnya langsung.
Zahra mengernyit skeptis. Ia ragu perkataan Iqbaal tidak sesuai hatinya, Iqbaal membatin khawatir jika akan ketahuan. "Oh? Mungkin kebetulan? Lagi pula, saya juga ingin pulang. Permisi."
"Eits, eits!" Iqbaal bergerak merentangkan tangan, mencegah Zahra pergi. "Temani aku jalan-jalan, deh," pintanya yang langsung disesali dalam hati. Mengapa ia tiba-tiba begini? Pasti Zahra akan menilainya buruk sebagai tukang paksa orang.
Zahra mengulum bibir, kesal juga bingung. "Nggak," jawabnya.
"Jahat banget, astaghfirullah... kamu tidak boleh jahat padaku, Ra. Aku meminta tolong, kamu harus bantu."
Zahra terdiam sejenak, terlihat enggan berbicara. "Tapi kan, dua orang cewek-cowok juga nggak boleh jalan berdua."
Iqbaal bungkam seketika. Ia yang sebagai anak rohis mestinya lebih tahu. Kehabisan alasan, Iqbaal menimpal asal, "Kemarin kita juga berdua, kan? Kemarin-kemarinnya lagi juga gitu."
"Lusa kemarin dan kemarin itu beda. Saya kan, mengajarkan Iqbaal, beda kalau sekarang." Iqbaal kehabisan ide. "Saya nggak mau kalau Iqbaal beralasan yang sama lagi seperti kemarin-kemarin. Udah ya, saya mau pulang."
"Tunggu! Aku mau minta saran!" Seharusnya juga, Iqbaal tahu itu adalah hal paling bodoh dari yang terbodoh yang ia lakukan.
[1] shounen: manga/anime yang dikhususkan pembaca laki-laki [sumber: wikipedia]
TBC
30 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro