Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

First Day: Wednesday

GAMPANG? Tidak! Mana Iqbaal tahu jika Bang Kiki punya syarat-syaratnya tersendiri. Ia mesti mendekati seseorang selama seminggu serta menjadi batas waktunya tersendiri untuk membuat seseorang menyatakan suka padanya. Untuk yang terakhir itu mudah, apalagi jika orang terkait adalah penggemar Iqbaal. Harusnya, sih.

Akan tetapi, bolehkah kali ini Iqbaal menganggap Bang Kiki gila? Ceweknya tidak bisa ia tentukan. Bang Kiki juga tidak menentukannya secara langsung. Lantas? Bang Kiki bilang satu-satunya syarat cewek yang bisa didekati Iqbaal adalah yang akan menolongnya. Ini konyol, sangat konyol. Apa maksudnya itu? Mana Iqbaal tahu yang akan menolongnya? Memangnya Iqbaal cenayang? Ah—terlintas dukun sebagai alternatif pilihannya, tapi Iqbaal tahu itu musyrik. Iqbaal anak rohis, sering marawis, dan rajin beribadah, masa iya pikiran seperti itu terbayang? Untung hanya sekali lewat setelah ditepis dengan keimanannya.

Iqbaal pusing, sangat pusing—bahkan obat pusing ternama tidak akan bisa menyembuhkannya. Iqbaal hiperbolis, ia tahu itu. Namun, apatah yang bisa memudarkan pemusingan mental dan pikirannya? Terlebih, Bang Kiki hanya memberikan waktu selama tujuh hari. Jika target tidak menyatakan rasa sukanya, Iqbaal otomatis kalah. Dan—rahasia yang sudah dilupakannya jauh-jauh itu akan terbongkar.

Mestinya Iqbaal dapat menolak tantangan itu. Namun, jika sudah diancam dengan pedang bermata dua, ia mau apa? Terlebih ini Bang Kiki lho, yang memberi tantangan! Iqbaal butuh ke rumah sakit sekarang, mungkin rumah sakit jiwa. Tak pernah ia serta-merta seperti ini.

Iqbaal mendesah. Sudah pula tantangan itu, ia juga mesti kalah suit dengan Aldi tadi. Suit yang sering dilakukannya dengan Aldi nyaris setiap hari dengan kesepakatan yang menang akan membelikan makanan dari kantin. Akibatnya, ia mesti membawakan semangkok mi ayam bakso pada Aldi. Untung saja tidak ditambah yang lain. Tangannya penuh dengan dua mangkok gabus berisi masing-masing seporsi mi ayam bakso. Panas kuahnya mengepul, bau harumnya sudah menggelitik hidung, Iqbaal ingin buru-buru memakannya. Coba Aldi mau diajak ke kantin, pasti ia tidak perlu repot-repot membawa dua mangkok panas ke kelas. Lain kali jika Iqbaal menang suit, ia akan membalaskan dendamnya.

Bahu serta punggung saling bertubrukan. Kondisi kantin kian ramai terlebih pada kedai mi ayam bakso yang habis Iqbaal kunjungi. Ia sudah akan keluar kantin, tetapi karena desakan dari siswa-siswi yang datang membuat Iqbaal kembali mundur hingga susah payah untuk keluar. Mangkok telah ia angkat tinggi-tinggi, menghindari tumpahan isi; terutama agar tidak mengenai orang-orang di sekitarnya. Iqbaal dengan sukar menyempil di tengah kerumunan. Dengan populasi manusia yang makin merembet, tubuh kurus Iqbaal sekali pun akan sulit untuk lewat. Iqbaal menghela napas keras. Padahal kelasnya sudah lebih dulu istirahat, tetapi sepertinya percuma saja.

Dengan sekali tarikan napas, Iqbaal mendesak keluar mendorong badan kerempengnya dengan kuat. Iqbaal mengaduh sakit karena terkena sikutan di tubuhnya. Di satu sisi ia menyalahkan kerumunan sekitar, tetapi di sisi lain ia menyalahkan tubuh kurusnya. Ia sudah melakukan olahraga rutin dan makan empat sehat lima sempurna, tapi tetap saja tubuhnya tidak sesuai yang diharapkan.

Sikutan terakhir terasa cukup keras. Iqbaal sempat terhuyung panik—ditambah desak-desakan yang masih terus berlangsung. Dirinya terhenyak begitu sensasi panas mengganggu sensorisnya. Iqbaal memekik kaget, satu mangkok mi ayam bakso tumpah begitu saja ketika ia sudah berhasil keluar dari kerumunan. Mangkok gabus tersebut kini berbalik menumpahkan isinya ke lantai. Iqbaal menggerutu, tapi di satu sisi ia mesti mengabaikannya.

Kini lengannya memerah, saraf perabanya terasa nyeri. Mangkok satu lagi masih aman, tapi tangannya sudah tidak kuat karena mesti mengecek luka panas di tangan kanannya. Alhasil, ia menuju ke meja terdekat guna menaruh mangkok yang lain dan memegangi perlahan kulitnya. Ia mengeluh karena panas yang diterima.

Ia menengok ke sekitar kantin, begitu ramai hingga tidak ada yang memerhatikannya. Mungkin beberapa akan bertanya-tanya bila menemukan bekas tumpahan Iqbaal. Iqbaal mesti mengurusnya, tapi tangannya meraung-raung sakit. Petugas kebersihan sekolah pasti juga akan menyadari, dengan berpikir begitu ia langsung menuju air keran yang berada di dekat musala, meninggalkan mi ayam baksonya satu lagi.

Iqbaal jadi bingung sendiri karena ia lebih memilih menyirami air pada kulitnya. Bukannya lebih baik justru tambah parah. Ah, dia tidak tahu separah apa, tapi yang pasti tambah sakit. Berada di jurusan MIA tidak membuatnya mengerti pertolongan pertama bagi korban luka bakar. Terlebih Iqbaal mengikuti ekskul yang tidak berkaitan dengan pengobatan karena yang diikutinya yakni taekwondo, rohis, dan musik. Dia bukan anak ekskul PMR atau Pramuka yang lebih mafhum tentang pertolongan pertama.

Uh, ia jadi kesal sendiri. Aldi mungkin sudah menunggunya di kelas, tapi memang Iqbaal peduli? Ia mengutamakan lengannya dulu. Coba saja ini hari Jumat yang menggunakan seragam panjang, lengannya tidak akan memerah seperti ini—mungkin sedikit. Ia jadi merutuki seragam lengan pendeknya.

Iqbaal sesekali merintih, lengannya masih dibasuh air. Apa harusnya ia berhenti saja karena belum tentu dibasuh dengan air adalah pilihan tepat, kan? Setelah berhenti, kulitnya meninggalkan rasa nyeri yang makin menjadi. Makin parah.

"Itu luka bakar, kan?" Suara seseorang menceletuk, Iqbaal menengok dengan sigap mendapati seorang gadis berperawakan tinggi keluar dari musala sekolah. Di tangannya tampak membawa tas mukena. Jika dilihat dari waktu, gadis itu pasti habis dari salat duha.

"A-ah, iya," jawab Iqbaal. sambil memerhatikan si gadis yang sedang memakai sepatunya. Setelah mengikat simpul sepatu terakhir, gadis terkait menghampiri dan menilik lengannya.

"Kenapa tidak dikasih salep? Enggak ke UKS?" semburnya sambil mengernyit.

"Euh, karena jauh? UKS lumayan jauh dari kantin dan mi ayam bakso gue pun tadi ketinggalan."

Gadis tersebut mendengkus lalu menarik lengan Iqbaal yang tidak terluka. "Iqbaal harus dibawa ke UKS," tukasnya cepat sambil berjalan setengah berlari. Iqbaal terkejut karena tiba-tiba ia menariknya lalu langsung menyebut namanya. Lelaki kelahiran bulan Desember itu tidak mengenal sang gadis, tapi ia cukup tahu bila ada orang yang langsung menyebut namanya. Iqbaal adalah salah satu anggota grup musik yang sedang beken. Namanya juga sudah dikenal di nasional. Terlebih, ia baru menerima tawaran bermain film akhir-akhir ini. Siapa yang tidak akan kenal?

Iqbaal tak menolak ditarik begitu. Langkahnya turut menyamai jejak si gadis yang melewati koridor-koridor sekolah. Berbelok ke sana, ke sini, lurus lalu belok lagi, dsb. Ruang UKS sekolahnya cukup jauh dan terpelosok. Iqbaal heran dengan sekolah ini, jika ada murid yang membutuhkan pertolongan pertama dengan ruang UKS sejauh itu akan bagaimana nantinya? Bukankah itu tidak efektif dan efisien?

Setibanya di UKS, gadis itu langsung menyuruh Iqbaal duduk. Iqbaal tidak mendapati petugas PMR atau guru pembimbing. Setahunya ada penjagaan rutin di UKS, tapi kali ini tidak terlihat. Sementara Iqbaal sedang sibuk memerhatikan ruangan, gadis terkait sibuk mencarikan salep di beberapa kotak P3K.

"Nggak ada yang jaga?" Tak tahan Iqbaal bertanya, setidaknya ada percakapan di antara mereka ketimbang ia menunggu gadis itu untuk berbicara kepadanya lagi.

"Nggak tahu saya. Mungkin sedang istirahat," balasnya membuat Iqbaal mengangkat alis. Tak biasanya ia menemukan orang menggunakan kata ganti sopan. Bukan tak biasa sih, Iqbaal sering mendengarnya jika sedang wawancara formal. Maksudnya kan, di saat-saat seperti ini sedang tidak berada di situasi formal jadi tidak perlu berbicara formal.

"Emang kamu tahu salepnya di mana?" tanya Iqbaal lagi, mengganti kata ganti yang lebih sopan. Ia lebih sering menggunakan gue-lo, tetapi berhubung lawan bicaranya berbicara formal dan Iqbaal tidak ingin menggunakan kata ganti yang sama jadi ia lebih memilih menggunakan aku-kamu.

Gadis tersebut masih sibuk mencari. "Kurang tau, sih. Tapi, pasti ada—wah, langsung ketemu. Emang rezeki anak saleh," katanya tak langsung memuji diri sendiri, Iqbaal mendengus geli mendengarnya. Ia pun lalu mendekati Iqbaal dan bersiap akan mengoleskan, tetapi ia terhenti dan menatap canggung. "Mau—diolesi atau oles sendiri?"

Iqbaal sontak terhenyak. Mukanya memerah menahan malu karena dikira akan langsung dioleskan. Ia sendiri sudah bersiap mengangkat lengannya, tetapi langsung diturunkan lagi. "Oles sendiri aja," sahutnya sambil terkekeh canggung.

Gadis berambut sebahu lebih dikit itu mengangkat bahunya, terserah. "Oke, saya akan tunggu sampai Iqbaal selesai," cetusnya sambil duduk di kursi seberang Iqbaal. Ia lalu mengambil novel kecil dari tas mukenanya dan membacanya selagi Iqbaal mengobati lukanya sendiri. Iqbaal mengernyit, ia menyelipkan novel di dalam tas mukena? Aneh-aneh saja.

Di tengah-tengah, Iqbaal tampak kesulitan. Tangannya sesekali terperanjat begitu merasakan sakit di saraf. Iqbaal melirik lawannya yang tampak asyik membaca novel. Ia lalu berdehan. "Bantuan?"

Gadis itu melirik sejenak sebelum lanjut membaca novel, tetapi sedetik kemudian novel kecilnya ditutup. "Ini hanya karena enggak tahan sama rasa sakit. Kalau ditahan juga selesai," cercanya, tapi beranjak membantu Iqbaal. "Di sekitar mana?" Iqbaal lalu menunjuk dan langsung disanggupi oleh gadis berkulit sawo matang itu.

Wajah Iqbaal yang semula menahan rasa sakit langsung berseri-seri begitu sudah selesai. "Wah, trims!" serunya.

"Sama-sama. Saya cuman kebetulan bantu aja karena kemarin teman saya juga mengalami luka bakar pas eksperimen ekskul," balasnya sambil mengembalikan salep ke kotak P3K seperti semula.

Ah, menolong, ya. Mungkinkah ini gadis yang dimaksud? Tidak salah lagi. Kata "menolong" memang bermakna luas, tapi Iqbaal tidak akan salah dengan kriteria yang dimaksud Bang Kiki. Gadis ini yang telah membantunya, maka gadis itu juga yang mesti menjadi target Iqbaal.

Iqbaal berdeham untuk kedua kalinya. "Namamu siapa? Aku sering lihat, tapi maaf kalau nama aku tidak begitu tahu."

"Zahra," jawabnya melirik Iqbaal sejenak.

"Oh, Zahra. Nama yang bagus. Artinya bunga, kan?" celetuk Iqbaal berbasa-basi.

Zahra mengangguk. "Emang iya."

Iqbaal mencoba mengingat-ingat. Nama "Zahra" di angkatannya cukup banyak dan tidak salah lagi Zahra di depannya satu angkatan dengannya. Iqbaal tidak tahu persis berada di kelas mana ia, tapi Iqbaal lumayan sering melihatnya ketika upacara berlangsung. Anak paskib? Sepertinya tidak mungkin, tapi perawakannya menunjang. Namanya cukup familier bagi Iqbaal ketika Zahra menyebut nama lengkapnya. Ah! Bagai lampu pijar imajiner yang langsung menyala, Iqbaal menyadari sesuatu.

Gadis di depannya ini adalah peringkat satu paralel berturut-turut di angkatannya sejak kelas X. Dan kini mereka berada di kelas XI di semester satu. Iqbaal ingat betul ketika guru BK menunjukkan daftar murid yang memasuki peringkat paralel dan nama gadis itu selalu menongol di bagian teratas. Terlebih, Zahra telah memenangkan berbagai macam lomba akademik yang didominasi pelajaran matematika. Pantas, ingatannya tertuju ketika upacara berlangsung. Setiap ada siswa-siswi yang berprestasi, pasti selalu diumumkan saat upacara di hari Senin. Sekolah Iqbaal selalu memanen berbagai macam bibit unggul, maka tak heran bila ada beberapa murid yang selalu memenangkan perlombaan tertentu.

Tunggu dulu, ia mengerti sekarang caranya mendekati Zahra.

"Iqbaal? Sudah selesai? Saya tinggal dulu ya," —Zahra yang sudah berada di ambang pintu pun terhenti.

—"tunggu," sela Iqbaal cepat membuat Zahra menengok padanya. "Bolehkah kamu mengajariku?"

Kerutan halus tampak di dahi Zahra, sedangkan Iqbaal menunggu kepastian dengan harap-harap. Dan begitulah cara Iqbaal mendekati Zahra secara perlahan.[]

TBC

29 Juni 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro