Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 39.

"Aku butuh waktu berpikir, Mas. Jangan ganggu aku dulu," lirih Sera sambil menahan derai tangis yang akan pecah di ujung bibir.

Jantung Davi seakan dihujam pisau berkali-kali. Dadanya kelu. Mati rasa.

Sera berbalik dan meninggalkan kamar mereka. Pintu tertutup di belakang perempuan itu. Davi berdiri di tengah ruangan, tidak mampu bergerak mengejar istrinya. Bahkan satu jengkal pun.

***

Apa yang dimaksud Sera dengan waktu berpikir? Satu jam? Tiga jam? Dua hari? Seminggu?

Davi menyeka wajahnya dengan air di wastafel kantor. Tiga malam berlalu tanpa kabar dari istrinya. Atau tepatnya, istrinya yang menolak mengabari.

Davi masih ingat dengan jelas empat hari yang lalu setelah Sera meninggalkan rumah hanya dengan pakaian tidur. Ia pikir istrinya hanya menenangkan di paviliun yang kini sudah disulap menjadi tempat kerja perempuan itu.

Seluruh pesan singkat dan panggilan teleponnya juga tidak digubris Sera. Ia sudah bertanya pada asisten pribadi istrinya, driver dan semua pelayan di rumah. Tidak ada yang mengetahui kemana Nyonya mereka angkat kaki.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Nyaris empat belas jam setelah pertengkaran mereka di kamar. Foto-foto yang dilempar Sera ke wajahnya berserakan di atas ranjang. Pelayan bahkan tidak berani membereskan Tempat Kejadian Perkara.

Davi mengambil satu per satu potongan foto yang tidak dapat dijadikan bukti atas tuduhan yang dilempar Sera. Amarahnya memuncak.

Siapa yang telah menjebaknya? Apa yang salah dari kebersamaannya bersama Mbak Aster di perkebunan keluarga mereka sendiri? Toh, mereka hanya kebetulan bertemu. Tidak lebih.

Makian Davi menggema di kamarnya sendiri. Kamar yang hampa tanpa keberadaan sang istri.

Beberapa saat kemudian, hampir pukul empat pagi. Kepala Davi sedikit pusing karena belum tidur sepanjang malam. Istrinya tidak menunjukkan batang hidung atau bayangan sekalipun.

Davi memutuskan pergi ke kantor polisi dan melaporkan hilangnya Sera. Setidaknya pergi ke kantor polisi akan mengalihkan sedikit perhatiannya.

Tepat saat ia menutup pintu mobil, ponselnya berdering. Celia Berisik. Begitu Davi menamai sepupunya di ponsel, ia lalu menjawab telepon.

"Bebs," panggil Celia dengan ceria dari baliknya.

"Pulang mabok kan? Telepon Dante, jangan aku. Ada urusan penting," potong Davi sebelum sepupunya menyelesaikan kalimat.

"Bini lo sama gue. Liburan. Nggak perlu dikejar-kejar dulu. Let her breathe from you! Aye-aye, Captain. See you next week. Ciao." Celia berkata pendek tanpa basa-basi lalu menutup telepon.

Kini balas Davi yang memanggil nama sepupunya. Sayang, telepon sudah diakhiri Celia dengan jahil. Ada rasa lega karena ia sudah mengetahui keberadaan istrinya.

Namun, Davi penasaran bagaimana Sera bisa berakhir liburan bersama sepupunya Davi? Bukankah mereka baru bertemu dua kali? Sejak kapan keduanya akrab?

Mencoba beberapa kali menelepon kembali nomor Celia yang tidak diangkat, Davi meninju setir dengan jengkel. See you next week? Jadi, ia harus menahan rindu bertemu istrinya selama seminggu lebih?

Davi kembali memaki di dalam mobil.

***

"Sera, maafkan Mas. Ayo, pulang."

Keduanya saling bertatapan. Wajah istrinya yang sumringah saat berbincang dengan pria lain mendadak gelap.

Api cemburu mulai membakar dada Davi. Baru pergi tujuh hari, istrinya sudah akrab dengan pria lain? Menakjubkan. Semua salah Celia.

"Mau apa?"

"Suami jemput istri pulang liburan kan wajar," kilah Davi seraya meraih pinggang Sera dan menempelkan pada tubuhnya.

Sebuah tanda kekuasaan bahwa Sera masih miliknya yang sah.

"Sampai jumpa lain kali, Sera. Senang berjumpa dengan Anda," ucap Anwar pada istrinya sambil menyodorkan tangan untuk berpamitan.

"Sama-sama, Anwar. Semoga liburan kalian di Indonesia menyenangkan. Sampaikan salam pada Zelda, sayang sekali kita tidak bisa berpamitan."

Pria yang dicurigai Davi telah bermain hati dengan istrinya juga menyalami sambil tersenyum ramah. Mengenalkan diri sambil berpamitan.

Tidak menunggu lama, Sera melepaskan diri dari rangkulan dan ikut pergi meninggalkan Davi pada arah berlawanan.

"Sayang," panggil Davi seraya menggapai tangan Sera dan menariknya ke pelukan.

"Apa lagi peluk-peluk? Lepas nggak!"

"Mas kangen. Kamu nggak ada kabar pergi hampir seminggu. Kepalaku sudah mau pecah," tutur Davi tidak mau melepas pelukannya.

"Bagus kalau begitu, sekalian remahan isi kepalanya dibersihkan supaya tidak mengotori jalan," balas Sera dengan tidak peduli.

"Kamu kalau cemburu, manis juga. Jangan marah lagi. Mas kan sudah jelaskan, Mas tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Mbak Aster. Please, believe me, Sera."

Meski masih dalam dekapan, Sera sengaja memalingkan wajah. Air mata mulai menggenang.

"Kalau nggak percaya tanya Celia, sepupuku itu sampai block nomor karena aku menghubunginya setiap waktu. Kubilang mau menyusul di pelabuhan Singapura, Celia tidak memberiku izin sama sekali," jelas Davi menceritakan usahanya mengejar sang istri.

"Kenapa Mas nggak berenang?" Suara tangis Sera pecah menimpali suaminya. "Naik helikopter kan bisa terus lompat ke tengah laut."

"Sera, kamu benar-benar mau Mas tenggelam di dasar laut?" Davi menangkup wajah Sera yang memerah dan mendekatkan wajah mereka.

Istrinya mendongak. Kedua pasang mata mereka saling menatap. Salah satu jemari Davi yang lain membelai anak rambut Sera dan menyelipkannya di belakang telinga.

"Maafkan Mas, Sera. I'm falling in love with you." Davi menarik kepala Sera dan mengecup dahinya. "Jangan kabur lagi, Mas nggak bisa kalau kamu pergi jauh-jauh."

Sera masih tidak bergeming dengan perkataan Davi. Hanya air mata yang terus membasahi pipi menjadi penanda bahwa ia juga memiliki perasaan sama dengan suaminya.

"Sayang, katakan sesuatu." Davi memohon lalu menunduk untuk melihat wajah yang sengaja disembunyikan istrinya.

Davi menarik nafas panjang, ia tidak akan melepas Sera lagi. Istrinya adalah satu-satunya hal berharga yang dimilikinya kini.

Kepala perempuan itu menggelengkan saat Davi mendekatkan kembali wajah mereka.

Suasana intens di antara mereka berbanding terbalik dengan keramaian di pelabuhan tempat keduanya sedang berdiri. Sepasang tangan Davi mendongakkan kepala Sera dan mencium bibir istrinya.

Davi mengecup Sera, menyapu bibir istrinya yang terperangah setengah terbuka. Kecupan lembutnya tidak ditanggapi sang istri yang masih mematung dan memejamkan mata. Ia mengganti strategi.

Dengan setengah putus asa, lidah Davi membelit lidah sang istri dengan ciuman yang kuat dan cepat. Memaksa mulut Sera agar terbuka dan membalas ciumannya. Sera merintih dan berusaha melepaskan diri.

Maafkan aku, Sera.

Sepasang mata Sera mendadak terbuka lalu mendorong dada suaminya. "Maaf, Mas. Aku belum bisa. Kita harus jaga jarak dulu sementara sampai aku yakin di antara kalian memang tidak ada hubungan apa-apa."

Ketika akhirnya Davi tersadar, Sera sudah meninggalkannya untuk kedua kali. Memaksakan kehendak dan membuktikan bahwa dirinya tidak sesuai dengan tuduhan istrinya adalah dua hal berbeda.

Tunggu Mas, Sera. Aku akan buktikan bahwa foto-foto itu tidak bisa jadi landasan bahwa ia memang berselingkuh dengan iparnya. Memangnya ia sudah tidak waras apa?

Sepasang mata Davi menatap nanar pada kepergian Sera. istrinya tidak membalas ciumannya bahkan menolak untuk menatap. Apalagi untuk memaafkan, tapi apa yang harus dimaafkan?

Ia betul-betul tidak bersalah atas dugaan perselingkuhan! Brengsek!

Darius. Nama itu tiba-tiba terlintas di kepala Davi. Siapa lagi yang akan bersusah payah memisahkan dirinya dengan Sera jika bukan pria bangsat itu?

Davi meninju beberapa pukulan pada angin karena tidak bisa menahan amarahnya.***

Add this book to your library! Love and Vote!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro