
Bab 15. Kecelakaan Edric
"Gimana hubunganmu dengan Sera, Dav?"
Pertanyaan random yang ditanyakan iparnya membuat Davi menoleh. Ia tidak lagi mengantuk dalam perjalanan pulang mereka melalui jalur darat.
Kalau mau pilih sebetulnya pulang menggunakan pesawat lebih nyaman, tapi iparnya lebih memilih menyetir sepuluh jam melalui jalur tol yang baru.
"Ya gitu aja, Mas. Sera paling malas minum air putih padahal Dokter sudah mengingatkan agar lebih banyak istirahat dan mencegah dehidrasi."
"Mas khawatir dengan kandungan Sera, Dav."
Davi terdiam. Pandangannya fokus pada jalan bebas hambatan di depan, penerangan temaram dari lampu yang berderet pada sepanjang jalan membuat matanya sedikit berat.
"Hanya kamu yang bisa diandalkan untuk menjaga Sera."
"Ya, Mas."
Sebetulnya ada yang Davi ingin tanyakan tentang kedekatan keluarga Hanafy dengan Darius. Apalagi istri Darius, Clara adalah sosok yang penting dalam yayasan Hanafy.
"Mas, apa keluarga Pak Darius masih saudara?"
Edric mengangguk kecil sambil menutup kuap. "Tidak banyak yang tahu, Clara itu saudara jauh kami, Dav. Nenek kami bersaudara dan Clara adalah salah satu anak angkatnya. Memangnya ada apa?"
Kalau mereka bersaudara, mengapa Sera terlihat tegang di dekat Darius? Apalagi jika satu keluarga, bukankah keduanya sering bertemu?
"Bukan apa-apa, Mas."
Bunyi klakson dari truk gandengan yang menyusul dari sebelah kiri mengagetkan Davi. Dengan reflek, ia lalu membanting setir ke kanan. Untung tidak menabrak pembatas beton di tengah.
Edric menegakkan tubuh. Kepalanya menoleh pada truk gandengan yang melenggang dengan kecepatan tinggi dan melalui mereka begitu saja."Kamu agak ngantuk ya, Dav?
"Sedikit sih, Mas." Davi mengeratkan pegangan pada setir.
"Jalan tol ini agak panjang, rest area terakhir juga baru terlewat. Mau gantian saja menyetirnya?"
"Tidak perlu, Mas. Aku masih kuat. Mas Edric rebahan saja, maaf tadi kurang hati-hati."
"Okay, tapi begitu ada rest area kita istirahat dulu." Edric membuka sabuk pengaman untuk meregangkan tubuhnya. "Badanku juga sama pegalnya. Seharusnya kita tadi pulang menggunakan pesawat saja, Dav."
Sudah kubilang.
Davi mengangguk sambil menyalakan lagu untuk mengusir kantuknya.
Mendadak sorotan terang lampu membuat matanya menyipit karena silau. Davi membanting setir ke kiri untuk menghindari benturan dari salipan bus malam arah kanan dengan kecepatan tinggi. Posisi mereka berada di belokan yang agak tajam.
Bunyi benturan begitu keras memekak telinga. Bemper mobil mereka menabrak beton pembatas di tengah. Mobil yang ditumpangi Davi berguling beberapa kali dan membuat kaca depan pecah. Edric terlempar begitu saja karena tidak mengenakan sabuk pengaman.
***
Davi tersadar dalam situasi sekeliling yang panik. Meski matanya masih terpejam, ia tahu kini berada di sebuah ruang unit gawat darurat. Bunyi monoton yang berasal dari monitor pasien dan lalu lalang kaki perawat.
Tubuhnya seakan mati rasa. Davi berusaha membuka kedua mata, tapi hanya yang sebelah kiri. Mata sebelah kanannya lebih berat dengan perban yang terbalut di pelipisnya.
Punggung tangan kiri dipasang suntikan infus dan selang oksigen pada kedua lubang hidung. Davi menarik paksa selang itu yang menyebabkan aroma karbol menguar dan menyapa hidungnya.
Davi berusaha menegakkan tubuh dan memanggil salah satu perawat yang melewatinya.
"Pak, jangan dulu bangun. Bahaya." Perawat mengingatkan Davi sambil mendekati sisi ranjangnya.
"Mana kakak saya? Pasien atas nama Edric Hanafy," ucap Davi sambil menggeser kaki dan berusaha bangkit dari tempat tidur.
Perawat perempuan muda yang terlihat jauh lebih kecil dari Davi menahannya. Perawat lalu memanggil petugas lain untuk mencegah Davi. Tiang infus ikut bergerak saat Davi berusaha berdiri.
"Saya mau lihat kakak saya, ada dimana?"
Tiga perawat perempuan berusaha menahan Davi yang bersikeras mencari keberadaan Edric.
"Pak Edric sedang di ruang operasi, Pak. Kondisinya darurat, tolong jangan membuat rusuh dan tunggu sampai ada kabar lanjut dari Dokter," jelas salah satu perawat yang memang mengetahui status Edric.
"Bapak bersikeras ke ruang tunggu operasi juga percuma, kami tidak mengizinkan pasien keluar dari ruangan ini tanpa persetujuan dokter."
Seketika selang infus Davi berwarna sedikit merah. Gerakannya yang tiba-tiba membuat cairan infus kini bercampur darahnya yang naik ke atas.
Davi mengalah, ia kembali naik ke atas tempat tidur. Dua perawat segera meninggalkan ranjang, salah satunya membenarkan posisi infusan agar berfungsi kembali.
"Apa keluarga kami sudah dihubungi?" Davi bertanya.
"Pihak kepolisian sepertinya sudah menghubungi keluarga."
"Ada berapa korban, Suster?"
"Kecelakaan beruntun semalam, Pak. Ada empat mobil, tapi mobil bapak yang korbannya cukup parah."
"Kapan saya bisa ke ruang tunggu operasi dan melihat kakak saya?" Davi bertanya kembali. Bagaimana pun juga ia merasa bersalah atas apa yang menimpa Edric kini.
"Tunggu hasil rontgen dan kunjungan Dokter jaga, Pak. Meski terlihat hanya lecet sedikit di kepala, kita harus pastikan dulu."
Davi mengangguk karena tidak memiliki pilihan lain. Ia mengambil ponsel yang ada di saku celana bahannya yang berwarna hitam. Polo shirt senada yang digunakan olehnya tampak lusuh.
Menyalakan ponsel dan menemukan sederet panggilan tidak terjawab dari Sera dan Aster. Davi segera menghubungi balik. Namun, kedua nomor tidak menjawab teleponnya karena tidak aktif.***
Add this book to your library! Love and Vote!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro