PART 8~ Salting
Happy reading ❤
Berada di kelas unggulan membuat penghuninya tidak punya banyak waktu untuk bersantai di kantin. Persaingan ketat dalam mengejar nilai tinggi dan ambisi untuk merebut gelar juara memaksa anak-anak kelas unggulan itu lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Belajar kelompok atau sekedar mengerjakan soal-soal ujian nasional dan persiapan masuk perguruan tinggi. Belum lagi pulang sekolah, kebanyakan dari mereka akan melanjutkan pelajaran di tempat les.
Seperti hari ini, Arum dan Loli benar-benar tidak sempat berkunjung ke kantin Pal Lek untuk menyantap sepiring batagor atau semangkuk bakso. Setelah ulangan Fisika di jam pertama dan kuis Kimia di jam pelajaran kedua, pada jam istirahat pertama mereka berdua harus disibukkan membimbing adik kelas persiapan olimpiade Fisika tahun ini. Untuk kali ini, Arum berterimakasih dalam hati karena pagi tadi Boy memberinya sekotak sarapan. Jadi setidaknya perutnya tidak terlalu meronta kelaparan di jam olahraga seperti saat ini.
"Satu, dua, tiga,empat..."
Semua siswa XII IPA 1 sedang melakukan pemanasan di tengah lapagan basket. Teriknya matahari di siang bolong begini tidak mengurangi semangat mereka menjalani mata pelajaran terakhir ini. Pemanasan dipimpin Pak Bonar. Barisan laki-laki dan perempuan dipisah.
"Ayo, lebih semangat. Hitung mulai," teriak Pak Bonar dengan logat Sumatera Utara yang khas lalu meniup peluit.
"Satu, dua, tiga..."
Pak Bonar mengangkat tangan menandakan sesi pemanasan sudah cukup. "Sean, kamu awasi teman-teman kamu. Untuk tim perempuan bisa bermain basket. Laki-laki bisa pakai lapangan Futsal."
Beberapa siswa laki-laki tampak keberatan karena sebagian dari mereka ingin memakai lapangan basket. Tapi pelototan Pak Bonar langsung membungkam suara-suara berisik itu sehingga situasi kembali kondusif.
"Bapak harus mempersiapkan anak ekskul angat besi untuk turnamen bulan depan. Jadi kalian tolong jaga keamanan jam pelajaran ini. Walapun bapak tidak di lapangan jangan ada yang main-main." Pak Bonar menatap Sean si ketua kelas. "Kamu awasi teman-teman kamu."
"Baik Pak."
Pak Bonar mengangguk mempercayakan keamanan kelas pada Sean. Kelas XII IPA 1 sangat bisa dipercaya untuk menjaga ketertiban dengan kumpulan anak-anak berprestasi di dalamnya. Pak Bonar sudah berbalik hendak meninggalkan lapangan lalu dia bembali. Mencari seseorang di barisan perempuan lalu tatapannya berhenti pada Arum dan Loli.
"Kalian berdua, tolong ke kelas XII IPA 9. Tolong panggil yang namanya Windi, suruh ke aula lantai dua," perintah Pak Bonar.
"Baik Pak," jawab Arum dan Loli bersamaan.
Arum berdiri disusul Loli. Mereka berdua menjauh dari lapangan basket. Berjalan dari koridor kelas X, menghindari terik yang semakin menjadi-jadi. Loli menggamit lengan Arum.
"Rum, kelas IPA 9 kelas pasukan conidin bukan sih?"
Arum berhenti. Langkahnya disusul Loli yang berjalan mundur. "Hah?"
Loli mengangguk kemudian berhenti di depan perpustakaan. Dia melihat pantulan dirinya di jendela perpustakaan yang terbuat dari kaca. "Gue harus kelihatan cantik."
Arum menepuk pundak Loli. "Lo udah cantik kok." Arum berkata jujur. Loli memang manis ditambah sifat ramahnya. Loli itu tipe cewek yang mudah disukai.
"Iya gue emang udah cantik dari tujuh belas tahun yang lalu. Eh, lo belum sempat cerita tentang lo yang berangkat bareng Boy." Arum menyenggol lengan Arum. Mereka berdua kembali menyusuri koridor perpus sebelum berbelok ke barisan kelas XII. Letak kelas XII IPA 9 paling jauh dari jangkauan.
Arum memutar bola mata. Mals menjelaskan apapun yang di laluinya sejak pagi. Tapi merahasiakan sesuatu dari Loli bukan sebuah pilihan baik karena gadis itu akan terus mencecarnya.
"Ya gitu."
Loli mencubit lengan Arum. "Gitu apaan, sih? Kebiasaan deh. Pelit banget kalau ngomong."
"Gue kebetulan ketemu Boy di toko Tante Salsa. Gue nggak punya pilihan karena nggak ada angkot sama ojek. Terus ya gitu deh."
Loli menutup mulut seolah-olah syok mendengar cerita Arum. "Lo dibonceng sama Boy?" Matanya melotot. Tangannya mengguncang bahu Arum. "Gimana? Gimana rasanya? Nggak kebayang bisa dibonceng Boy? Gue juga mau. Terus gimana ceritanya Boy ngasih lo bekal?"
Arum berdecak. "Nggak tau. Karena muka gue kaya orang susah kali ya. Muka minta makan gitu."
Loli menepuk pahanya sendiri. "Lho muka orang susah gimana. Ya dikit emang iya sih." Loli mengangkat tangan membentuk tanda damai dengan jarinya. "Gue bercanda. Lo ngerasa nggak sih itu tuh manis banget. Tindakan dia itu cool nggak, sih. Nganterin lo terus ngasih sandwich. Meleleh gue."
"Nggak."
Loli berdecak kesal. "Susah nih kalau berurusan sama orang yang hatinya terkutuk jadi batu. Tapi gue masih bertanya-tanya sih kenapa Boy tiba-tiba deketin elo."
Arum merapikan letak kacamatanya. Begitupula dengan poninya yang sedikit berantakan. Tidak sengaja jarinya menyentuh plester Boy lalu dia tersenyum entah untuk apa. Loli tidak tahu bahwa plester itu juga bagian dari pertemuannya dengan Boy. Arum Cuma menceritakan berangkat bersama dan diberi sarapan. Jika Loli tahu cerita detainya, dia bisa teriak histeris karena menurutnya itu pasti romantis seperi cerita-cerita novel ala-ala remaja.
"Bukan deketin. Ngajak kenalan doang."
Loli menjentikkan jari di depan wajah Arum. "Itu dia. Kenapa tiba-tiba pengen kenalan. Secara kita semua tahu mantannya Vale. Yang cakepnya sebelas dua belas sama Amanda Rawles." Lalu Loli melirik Arum. "Bukan berarti lo nggak cantik loh ya. Cuma ya agak dipoles aja."
Itu adalah satu hal yang disukai Arum selama berteman dengan Loli. Persahabatan mereka yang sudah dimulai sejak kecil membuat Loli bebas mengutarakan perasaannya dan Arum tidak tersinggung. Begitu pula sebaliknya.
"Lo lagi bilang gue lebih irip upik abu gitu? Tapi pakai bahasa lebih halus. Kurang dipoles?" cibir Arum yang disambut cengiran Loli.
"Lo juga di follow sama dia." Loli ceberut. "Gue aja yang nge-follow dari awal masuk sekolah nggak di folback. Boro-boro di notice, kalau lagi berpapasan aja, dia nggak kenal sama gue."
Arum mengangkat bahu. Dia juga heran apa motif Boy di balik segala usahanya mendekati dirinya. Kalau tidak salah Boy pernah meminta Arum untuk megajarinya. Tapi untuk apa? Apa alasan laki-laki itu tiba-tiba ingin belajar padanya padahal dia bahkan tidak tahu Nayara Arumi yang dia cari orangnya yang mana.
"Li," Arum berhenti. Tangannya meremas jari Loli.
Loli mengikuti pandangan Arum. Kelas XII IPA 9 sedang tidak ada guru. Beberapa murid laki-laki berdiri di depan kelas. Bermain ponsel sambil sesekali berbincang. Ada pula yang baru keluar ke arah kantin. Sisanya di dalam kelas dan sangat berisik. Beda sekali dengan situasi kelas Arum jika sedang tidak ada guru.
Loli berjalan di depan. Mereka dihadang tiga orang cowok di depan pintu. Andra, Aldo, dan Fadly.
"Eh, kita kedatangan tamu dari pulau seberang. Ada apa gerangan jauh jauh menghampiri kami kumpulan siswa-siswa terbuang?" tanya Aldo sambil tersenyum.
Andra terkekeh. Tubuhnya disandarkan ke dinding sambil melipat tangan di depan dada. "Nggak biasanya ada anak kelas unggulan mau nyaperin kita yang otaknya dangkal ini."
"Bukan gue yang bilang ya," celutuk Loli. Ketiga cowok itu tersenyum tampak tidak tersinggung sama sekali.
"Ada urusan apa kesini? " tanya Fadly dengan senyum sok manis miliknya. "Lo Arum kan?" tanyanya pada Arum.
Arum menelan ludah. Tenggorakannya mulai kering berada dalam situasi ramai dan berisik. Ditambah lagi perhatian sebagian besar penghuni kelas kini beralih pada mereka.
"Hem, yang namanya Windi di tunggu Pak Bonar di aula." Arum membuka suara kemudian matanya menangkap sosok Boy sedang duduk di meja guru. Arum langsung memalingkan wajah karena cowok itu tiba-tiba tersenyum.
Aldo menepuk punggung Andra. "Yah, gue kira nyariin Boy."
"Kecewa gue, Boy." Andra memasang tampang kecewa.
"Gue juga," sahut Boy dari dalam kelas.
Arum melihat Boy berjalan ke arahnya. Cowok itu berhenti di ambang pintu. Dia bersandar di sebelah Andra. Tangnnya dimasukkan ke dalam saku celana. Bibirnya terangkat. Tersenyum pada Arum.
"Gue juga kecewa, Ndra. Gue kira dia nyariin gue," ucap Boy namun pandangannya terarah pada Arum.
"Eh semua. Mohon maaf nih ya.Kita mau info kalau yang namanya Windi dicaiirn Pal Bonar." Loli mengambil alih menyampaikan pesan Pak Bonar karena dia bisa membaca situasi jika Arum sedang tertekan. Dia menggamit lengan Arum sampil mengangguk sopan pada cowok-cowok di hadapan mereka. "Kita pamit ya. Makasih. Bye"
Loli menarik Arum namun temannya itu malah mematung di tempat karena Boy menarik lengannyanya saat hendak berbalik. "Eh," pekik Loli. Dia langsung melepas tangan Boy karena wajah Arum mendadak pasi. "Jangan pegang-pegang teman gue sembarangan."
Boy mengabaikan Loli. "Rum, kotak bekalnya dibalikin. Tupperware mami gue tuh."
"Cie, cieee sejak kapan coba Boy ngasih bekal ke cewek?" teriak Aldo.
Fadly merangkul Aldo. "Biasanya juga dia yang dibekalin.Kok jadi so sweet sih?"
"Lho, berita apa ini yang gue tidak tahu?" sambung Andra.
Aldo tertawa merasa umpannya ditelan Andra. "Berita kalau pagi ini Boy berangkat bareng Arum."
Mata Aldo terbelalalak. Mulutnya menganga . "Apa? Nakal kamu ya nak."
"Apaan sih?" Boy menoyor kepala Aldo.
"Yaleah gitu aja saltig," balas Aldo.
Boy menghampiri Arum yang kentara sekali tidak nyaman. Dia memutar tubuh Arum. Lalu menepuk pundaknya. "Udah balik ke lapangan gih. Temen gue ngggak usah didengerin."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro