Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 7~ Toko Kue

Happy Reading ❤


Mendung di pagi hari menjadi musuh terbesar Arum saat bangun tidur. Udara dingin ditambah angin sepoi-sepoi yang menyusup dari jendela yang tidak tertutup rapat tadi malam, membuat Arum semakin enggan beranjak dari tempat tidur. Alarm sudah berbunyi sejak pukul lima, namun dengan mata yang masih terpejam dia mematikan poselnya kemudian memasukkan benda itu ke dalam laci nakas. Arum kembali melanjutkan tidur. Menggulung dirinya bersama kehangatan selimut. Kembali berkeliaran dalam mimpi.

Sayup-sayup, dari lantai satu, Arum mendengar Mama berbincang dengan Bu Asih—asisten rumah tangga mereka yang biasanya hanya datang sekitar pukul setengah tujuh dan pulang setelah pekerjaannya selesai. Arum seakan tersadar. Bu Asih sudah ada di rumah. Itu artinya sekarang?

"Setengah tujuh!" teriak Arum.

Selimutnya terlempar bersama bantal giling yang sudah terlebih dahulu mendarat di lantai. Arum berlari menatap pantulan dirinya di cermin. Piyama abu-abu kusut bermotif pisang. Lingkaran hitam di bawah mata. Rambut panjang acak-acakan. Arum meringis. Penampilannya benar-benar buruk. Dia meraih handuk. Berlari menuruni anak tangga. Arum masih sempat mengomel kenapa tidak ada toilet di lantai dua. Padahal Mama selalu bilang di lantai dua tidak ada ruang lagi. Hanya cukup untuk kamar Arum, gudang, dan balkon.

"Rum?"

Arum mengangkat tangan agar Mama tidak bertanya apa-apa dulu. Arum mengabaikan tatapan heran Bi Asih yang sedang menyiapkan sarapan. Dari Aromanya Arum tahu itu adalah nasi goreng terasi. Perut Arum keroncongan tetapi dia tidak punya waktu. Dia hanya mencomot kerupuk ikan dari piring sebelum masuk ke kamar mandi.

Tidak sampai lima menit dia sudah kembali berlai ke lantai dua dengan handuk menyelimuti tubuhnya. Dia mengenakan seragam, memakai kacamata, menguncir rambut, kemudian meraih tasnya di meja. Di saat genting seperti ini, pulpennya terjatuh dan menggelinding ke bawah meja. Arum merunduk. Kepalanya tidak sengaja menabrak sudut meja.

"Aduh." Arum meraba keningnya. Terasa perih dan berdarah. Arum melirik cermin kecil di mejanya. Dia membiarkan luka kecil itu karena tidak sempat mencari plester luka di kotak obat yang keberadaannya entah dimana. Arum lupa dimana.

Dengan nafas terengah, Arum kembali menuruni tangga. Tangannya menenteng sepatu. Energinya benar-benar terkuras. Sayangnya dia mungkin menyantap sepiring nasi goreng sat ini. Arum menghampiri Mama di meja makan. Wanita itu sedang sibuk mengetikkan sesuatu di laptop sambil sesekali memperhatikan beberapa contoh rangkaian bunga untuk dekorasi pernikahan di tabletnya.

"Ma, Arum kenapa nggak dibangunin?" omel Arum sembari mengenakan sepatu.

"Mama kira kamu udah bangun. Biasanya juga buat alarm." Tatapan Mama belum beralih dari pekerjaannya.

Arum meraih tisu untuk membersikan lukanya. "Arum pasti telat, nih."

Mama mendongak. Alisnya terangkat. "Itu kening kamu kenapa?"

"Kepentok meja," balas Arum singkat. Dia mendekat lalu meraih tangan Mama. "Arum berangkat, Ma."

"Mama nggak bisa antar kamu ke sekolah. Mama harus dekor ruangan untuk resepti pernikahan di derah Cawang. Kamu naik ojek online aja ya, sayang."

Mama menghela nafas. Dia menatap Arum dengan perasaan bersalah. Arum tersenyum. Mama selalu sibuk dengan toko bunga. Mama punya banyak waktu luang. Tidak jarang dia minta maaf pada Arum. Tapi Arum tidak pernah mempersalahkan apapun. Dia tahu semua yang dikakukan Mama adalah untuk kebaikannya. Apalagi dengan status orangtua single seperti Mama, rasanya Arum tidak punya hak untuk menuntut hal yan tidak penting.

"Bye, Ma. Bu Asih, Arum berangkat."

"Enggak sarapan, neng?" tanya Bu Asih.

"Nggak sempat, Bu," teriak Arum dari teras.

"Udah ibu masukin kotak bekal."

Arum melambai melihat Bu Asih menyusulnya sampai ke teras. Sayangnya Arum sudah berlari menuju depan kompleks. Biasanya lebih mudah menemukan pengemudi ojek online di sana. Arum berdiri di depan toko kue milik Tante Salsa, di sebelah sebuah motor. Arum berdeacak kesal sembari meremas ponselnya . Sudah lima menit tapi dia tidak menemukan pengemudi ojek online. Wajar saja karena sekarang jam sibuk ditambah langit semakin gelap. Arum melihat ke sekeliling berharap ada angkutan umum.

"Gak ada ojek. Ini juga angkot pada kemana, sih?" Arum meremas ujung roknya. Tangannya mulai berair. Pagi ini ada ulangan Fisika. "Gue harus apa?"

"Bestie!"

Arum menoleh ke belakang. Seorang cowok yang kedatangnya tidak pernah dibayangkan oleh Arum. Apalagi mereka akan bertemu di depan kompleks rumahnya. Cowok ber-hoodie hitam itu adalah Boy. Boy Anggara yang tadi malam mengiriminya DM. Dia keluar dari toko kue Tante Salsa. Menenteng paperbag ungu khas toko kue itu. Dengan cengirannya yang lebar, dia menghampiri Arum.

"Pulang sekolah nanti gue harus sungkem sambil berterimakasih ke Mami gue." Boy menaik-naikkan alis.

Arum melongo tidak paham dengan ucapan Boy yang masih tersenyum. "Maksud lo?" Arum mengigit bibir bawahnya ketika menyadari seharusnya dia tidak perlu merespon Boy.

Boy memasukkan paperbag ke dalam tasnya lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Karena Mami nyuruh gue ambil tester kue ke toko langgananya, gue jadi ketemu lo. Yuk, berangkat bareng."

Arum mengamati Boy dari atas ke bawah lalu dia melotot karena cowok itu masih setia dengan senyum di bibirnya. "Kita itu nggak cukup akrab buat berangkat sekolah bareng." Balas Arum cuek.

Boy tidak tampak tersinggung. Alisnya terangkat sebelas lalu mengulurkan tangan. "Makanya kita temenan dong. Mau, ya?"

Arum menggeleng.

"Lo cewek pertama yang nggak mau temenan sama gue, Nayara." Boy pura-pura kecewa sembari mengangkat bahu.

Arum merasakan sakit di ulu hatinya. "Jangan panggil gue pakai nama itu."

"Nama lo cantik. NA-YA-RA."

Arum memutar bola mata. Berbicara panjang lebar dengan Boy dalam keadaan lapar membuat kepalanya pusing. Ditambah lagi hatinya sakit mendengar panggilan Boy kepadanya.

"Gue nggak suka." Arum menatap Boy dingin.

Boy mengangguk. "Oke bestie. Asal lo senang gua nggak akan manggil lo pake nama itu lagi."

"Apaan sih lo?"

Boy maju selangkah sehingga dengan sigap Arum mundur selangkah. Boy berdecak. Arum mendadak pucat. Keningnya berkerigat. Pasalnya Boy menatapnya lekat. Boy menarik pergelangan tangan Arum sehingga Arum kembali mendekat.

"Sini dulu deh," gumam Boy.

"Apa?" tanya Arum.

Boy mengulurkan tangan merapikan poni Arum. Lalu dia mengambil sebuah plester dari dalam tas. "Kening lo itu kalau berdarah ya diobatin."

Arum menelan ludah ketika Boy menempelkan plester di keninnya. Dia sampai harus menahan nafas untuk beberapa saat jarak mereka begitu dekat. Arum berdeham lalu menjauh beberapa langkah.

"Sama-sama. Walaupun gue tahu lo nggak akan bilang makasih." Boy mendekati motornya yang terparkir di dekat Arum. Dia menyalakan mesin motor kemudian menatap gadis itu. "Angkot nggak ada, berangkat bareng gue."

Arum menggeleng.

Boy berdecak. "Dosa apa gue sama lo." Boy mengenakan helm. "Gue duluan deh. Kalau nggak salah kelas unggulan hari ini ada ulangan Fisika. Itu kelas lo kan?" Boy tersenyum lebar. "Semoga lo nggak terlambat. Hati-hati ya."

Wajah Arum pucat. Panik mulai menggrogoti pikirannya. Tidak ada tanda kedatangan angkutan umum. Hujan sebentar lagi turun. Arum menarik nafas dalam. Dia memberanikan diri menarik ujung lengan hoodie Boy. Bibirnya terasa kaku untuk mengucapkan sesuatu. Ketika Boy menatapnya dia hanya menaikkan alis dengan mimik wajah sedang memohon.

"Kenapa? Gue buru-buru ini." Boy melirik jam tangannya.

"Gue ikut ya?" tanya Arum dengan suara pelan tapi Boy bisa mendengarnya. Buktinya, dia langsung tersenyum. Merasa menang dia sekaraang.

"Aduh gimana ya, Nay?"

Tubuh mungil Arum mendekat. "Tolong."

Boy tertawa. "Nggak tulus lo minta tolongnya. Senyum dikit dong."

"Boleh ya?" ulang Arum dengan manarik ujung bibirnya. Dia tersenyum tapi hanya sedikit.

"Senyum lo kepaksa."

Arum berdecak memutar bola mata. Andai sekarang situasinya tidak segenting ini, Arum tidak akan mau merelakan waktunya berbicara panjang lebar dengan Boy. "Nih, gue senyum." Arum melebarkan bibirnya. "Puas lo?"

"Heran gue. Emang cewek gini banget ya. Dia yang butuh, dia yang sewot."

Cowok itu mempersilahkan Arum naik motonya. Tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Arum bersyukur Boy tidak mau mempermasalahkan ketika dia duduk dengan jarak cukup jauh padahal tasnya juga sudah diletakkan di depan dada. Boy fokus pada jalan raya yang padat. Tidak butuh waktu lama karena Boy berkendara dengan kecepatan di atas rata-rata. Untung saja tubuh mungil Arum tidak tertawa angin. Mereka memasuki gerbang sekolah. Arum menunduk menyadari banyak mata melihat kehadiran mereka.

"Makasih ya." Arum langsung turun ketika mereka sampai di parkiran. Dia tidak nyaman berdiri di dekat Boy. Sebagian siswi bahkan tidak segan langsung berbisik ketika cowok yang menurut mereka keren itu datang dengan seorang Arum.

Boy melepas helmnya. Merapikan rambutnya dengan jari lalu tersenyum. Dia kemudian mencari sesuatu dari dalam tas. Dia menyodorkan kotak bekal. "Lo belum sarapan kan. Ini sandiwich dibuatin sama Mami gue."

Arum tampak ragu.

Boy terkekeh. "Nggak ada racunnya kok."

"Gak usah. Gue bisa beli nanti di kantin."

Boy menghembuskan nafas kasar. Dia manarik tangan Arum. Boy meletakkan kotak bekalnya di genggaman Arum. "Ini buat lo. Udah mau bel. Nggak bakalan sempat ke kantin."

"Thanks." Arum menerima kotak bekal biru itu. "Gue duluan."

"Eh,"

Arum kembali berbalik. Boy merogoh tasnya mencari sesuatu. "Kenapa?" tanya Arum.

"Lho, HP gue nggak kelihatan. Lupa dimana. Lo bisa bantu telpon? Perasaan tadi gue bawa deh." Boy tampak panik.

Arum mengangguk. Boy sudah membantunya pagi ini setidaknya untuk berterimakasih kali ini Arum menuruti Boy. Arum memindahkan kotak bekal ke tangan kiri. Dia mengetikkan deretan angka yang diucapkan Boy. Beberapa detik kemudian ponsel boy berdering. Kening Arum berkerut. Lalu dia tersadar saat Boy mengangkat panggilannya, mengusap layar ponsel kemudian mendekatkan benda itu ke telinganya.

"Ini nomor hp lo. Makasih lho ya. Nanti gue save." Boy tertawa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro