PART 6~ Instagram
Happy reading ❤
"Sebuah kereta api bergerak dengan kecepatan 120km/jam. Pada saat itu, Tono berlari di atas kereta dengan kecepatan 15km/jam searah dengan kereta. Berapakah kecepatan Tono dari sudut pandang orang di stasiun?"
"Ini si Tono gabut banget apa? Lari-lari di atas kereta?"
"Heran gue, emak si Tono nggak marah apa?"
Buku Fsisika ditutup begitu saja setelah membaca soal yang sama untuk kedua kalinya, tetapi tidak kunjung menemukan cara menyelesaikan soal itu. Boy merentangkan tangannya. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskan perlahan. Gerakan itu diulang beberapa kali. Lalu dia berjalan ke arah jendela kamarnya yang sengaja dibiarkan terbuka malam ini. Boy lebih suka angin alami daripada menggunakan pendingin ruagan.
Boy sengaja meminta Papi untuk tidak memasang teralis di jendela kamarnya. Itu tempat kesukaan Boy. Duduk di jendela di malam hari menegangah ke langit. Menikmati angin yang menerpa kulitnya. Ada sensasi menenangkan dan menyenangkan saat melakukan itu. Boy suka meskipun Bang Arga suka meledeknya titisan Sun Go Kong, hobinya bergelantungan di jendela. Bang Arga berlebihan. Boy hanya duduk. Untung saja Kamar Boy menghadap ke taman belakang. Jadi , tidak ada tetangga yang menyadari dia duduk selonjoran di bingkai jendela.
"Lo sehat?"
Boy kembali teringat reaksi Arum di kantin tadi siang. Sebuah kalimat singkat tapi cukup menohok perasaan Boy. Apakah perempuan itu begitu kejam sampai-sampai tega merespon ajakan perkenalan Boy dengan nada dingin. Wajah cemberut. Dan matanya melotot. Mereka beberapa kali bertemu. Setidaknya dia bisa lebih santai dan berbaik hati. Bagaimana ceritanya, gadis itu jadi tutornya, berkenalan saja dia tampak tidak sudi.
"Kata Mami muka gue cakep tapi Nayara kok kelihatan jijik banget sama gue?"
Boy menggoyang-goyangkan kalinya sembari melirik Papi ke bawah. Beliau baru saja selesai menyiram bibit-bibit mangga unggul yang baru dua minggu dibeli dari Mang Ujang. Papi suka berkebun kalau beliau pulang cepat dari kantor. Seperti sekarang, setelah memastikan seluruh mangganya tersiram, Papi menata letak polibag. Merapikan barisannya bersama palibag bibit jambu biji. Di akhir pekan semua bibit itu dipindahkan ke vila Eyang di Bogor.
Melihat wajah serius Papi, Boy kembali teringat taruhannya dengan beliau. Membayangkan betapa percaya dirinya dia menantang Papi. Boy jadi merinding sendiri.
"Gaya banget gue gak mau bantuan Papi." Boy terkekeh. "Ngerjain satu soal aja, kuping gue tiba-tiba berdenging."
"Om Boy. Tuyun dong." Seorang bocah perempuan berusia empat tahun melambai di samping Papi. Itu, Shelia. Keponakan pertama Boy. Putri Bang Leo. Sore tadi gadis kecil itu bawa Mami ke rumah karena Bang Leo dan Kak Mauren ada pelatihan dosen selama seminggu di UGM.
"Om Boy ngerjain PR dulu ya Shelia," bujuk Boy.
"BOHONG! Kata Om Alga Om Boyben malas ngejain PL."
Boy terbahak. Setiap vidio call dengan Bang Arga, Shelia selalu disuruh rajin belajar. Jangan seperti Boy. "Sebenarnya Om Boy lebih pintar dari Om Arga, lho." Boy menunjuk dadanya sediri. "Tapi Om Boy kan nggak sombong."
Shelia cemberut. Papi mengacak rambut ikalnya lalu dia kembali tersenyum. "Om Boyben, Sheli mau es klim. Mau dibonceng om Boyben."
"Bilang Om Boy paling ganteng dulu," rayu Boy.
"Om Boyben ganteng! Tapi lebih ganteng Eyang, Papa Sheli, Om Alsen, sama Om Alga."
Bibir Boy menyunggingkan seulas senyum. "Berarti Om Boy paling jelek dong?."
Shelia menggeleng. "Sheli nggak bilang jelek."
"Oke nanti kita beli es krim deh." Boy mengangguk. Mengacungkan jempolnya, disambut cengiran antusias dari Shelia. Boy tersenyum kemudian meraih ponsel. "Sepi banget HP gue. Vale nggak niat apa nge-chat gue?"
Boy mencoba mengenyahkan Vale dari pikirannya. Tangannya mengotak-atik Hp. Membuka menu instagram. Aldo baru saja menambahkan foto hitam putih berlatar di kafe Fadly. Ada beberapa komentar Andra dan Carel. Tidak terlalu menarik perhatian Boy untuk ikut berkomentar. Jarinya mengusap layar HP ke bawah. Sama saja. Beberapa konten selebgram dan foto-foto teman sekelas Boy. Dia beralih ke pencarian. Sadar atau tidak dia mengetikkan nama. Nayara Arumi.
"Feed-nya gak dikunci."
Ada sepuluh foto berjejer di sana. Yang membuat Boy tidak habis pikir, isi beranda gadis itu dipenuho oleh foto kelinci berwarna hitam dan cokelat. Mungkin kelinci peliharaannya. Boy menemukan satu foto Arum. Hanya satu. Arum tertawa lebar menghadap kamera. Sangat berbeda dengan Arum yang Boy temui beberapa hari belakangan.
"Ini cewek fotonya sebiji doang. Aneh. Tapi langka." Boy terkekeh pelan. "Dia bisa senyum juga ternyata."
Jari boy tidak sengaja menyentuh lambang hati di bawah foto Arum. "Anjir. Keciduk dong gue stalking. Gue follow sekalian aja dah."
Boy menimang-nimbang apakah dia harus mengirim pesan atau tidak. Namun sebuah notifikasi mampu menarik ujung bibirnya untuk tersenyum. 'NayaraArumi mulai mengikuti anda.'
"Lah, cepet juga nih anak."
BoyAnggara
Kelinci lo ya, Nay? Lucu.
Alis Boy terangkat. Dia menggaruk kepala belakangnya. Dirinya sendiri merasa aneh pada pesan yang dia kirim barusan. Menjalin hubungan lebih dari dua tahun dengan Vale, membuat Boy lupa cara mengirim pesan pertama kali pada perempuan. Harusnya Boy bisa menahan diri sampai besok pagi, Fadly mungkin bisa membantu. Tapi mengingat kejadian di kantin, saat memilih mengikuti saran Carel, Boy jadi ragu meminta saran kepada mereka berempat.
"Ini gue kok jadi deg-degan ya? Gue takut dimaki nih sama Nayara. Balak banget."
HP Boy berdenting. "Eh, dibalas. Anjir. Kaget gue." Boy menutup jendela. Dia beranjak ke kasur. Merebahkan tubuhnya bersama sebuah buku pelajaran Matematika yang tadi dia lemparkan sebelum memulai belajar soal Fisika.
NayaraArumi
Y.
Ponsel Boy terjatuh mengenai tulang hidungnya. Dia sedikit meringis namun kembali mengalihkan perhatiannya pada pesan Arum. Boy masih tidak percaya dengan penglihatannya. Hanya saru huruf ditemani sebuah tanda baca.
"Orang modelan begini, nih bisa masuk rekor MURI. Bales chat tersingkat di sejarah hidup gue."
Boy membalas pesan itu dengan beberapa kalimat lalu mentup wajahnya dengan bantal.
"Boy!" teriak mama dari taman belakang.
Boy mendengus. Malas-malasan dia menyeret kakinya kembali mengintip keadaan di balik jendela kamarnya. Mami berdiri di dekat Papi. Memamerkan senyum yang diatur semanis mungkin. Ciri-ciri ibu-ibu komplek kalau sedang ada maunya.
"Kenapa, Mi?"
"Besok pagi kamu bangun cepat terus singgah di toko kue langganan Mami. Soalnya Mami nggak bisa ke sana buat cicipin tester-nya. Mami percayain ke kamu."
Boy hendak menolak tapi pelototan mami langsung membungkamnya. "Mi."
"Kamu tinggal nyicipin kue terus bilang ke mami enak atau enggak. Gitu aja kok repot. Atau besok kamu ke sekolah mama suruh naik bajaj aja? Motornya mami sita. Mami jual sekalian."
Boy si anak penurut. Mengangguk lalu menghela nafas. "Semesta, cobaan apa lagi ini?"
***
BoyAnggara
Nayara, gue sehina itu ya di mata lo?
Nayara.
Arum memasukkan ponselnya ke dalam laci. Beberapa notifikasi Boy berhasil mengalihkan perhatiannya sejenak dari puluhan soal Fisika di hadapannya. Arum kembali mencoba mengerjakan soal gelak relativitas, namun panggilan Boy saat menyebutkan namanya lagi-lagi mengganggunya. Arum menggelengkan kepalanya. Berulang kali mengerjabkan mata. Berharap dia bisa kembali konsentrasi.
Nayara.
Arum berdecak.Kenapa harus nama itu. Dia kembali meraih ponsel dari dalam laci. Mencari daftar lagu relaksasi dari pemutar musik. Arum memutar lagu dengan volume maksimal. Dia menutup mata. Biasanya mendengarkan musik relaksasi akan sedikit membantu menenagkan pikirannya, sayangnya kali ini dia kurang beruntung. Pikirannya kembali berkeliaran pada masa-masa yang bahkan dia sendiri tidak ingin ingat dalam hidupnya.
"Selamat ulang tahun Nayara!"
Arum kecil berlari ke pelukan Papa. Tangan kananya memegang sebuah balon merah muda. Tangan kirinya mengusap pipi Papa. Lelaki itu tersenyum membawa Arum duduk di pangkuannya. Mama muncul dari pantri membawa cheesecake buatannya dengan sebuah lilin berbentuk angka lima. Arum bertepuk tangan girang, sehingga gigi kelincinya kelihatan.
"Waktunya tiup lilin." Mama meletakkan cake di hadapan Arum.
Arum melompat dari pangkuan Papa. Berdiri di hadapan kue ulang tahunnya. Cengirannya tidak dapat disembunyikan. Dia benar-benar bahagia dengan peraan ulang tahun yang hanya dirayakan dengan Papa dan Mama. Arum menarik tangan Papa. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya. Lagi-lagi dia mengusap puncak kepala Arum.
"Make a wish, Nayara." Papi mengangguk saat Arum menoleh.
Arum melirik Papa dan Mama bergantian kemudian dia menutup mata. "Nay mau Papa sama Mama selalu bahagia." Arum membuka mata. Terkekeh dan setelah itu itu meniup lilin.
Mama mencium pipi Arum, disusul Papa. Arum tertawa. Dia meraih pisai plastik yang disipakan Mama. Dengan bantuan Papa, Arum bisa memotng kuenya dengan baik meskipun ukurannya tidak begitu sama.
"Potongan pertama buat siapa?" tanya Mama.
Arum menyendok kuenya. Dia menghadap Papa. "Ini buat,"
Ucapan Arum menggantung. Papi meraih ponselnya dari saku. Wajah Papa berubah kaku. Begitu juga dengan Mama. Arum tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Yang dia tahu, ruangan tiba-tiba senyap. Hanya ada dentingan ponsel Papa. Papa harus repot-repot menjauh ke pantri mengangkat telepon itu. Mami mendekap Arum tanpa menjelaskan apa-apa. Arum, gadis kecil berusia lima tahun itu kembali tersenyum saat Papa muncul dari pantri.
"Papa ini kue," Arum meraih potongan pertama kue ulang tahunnya.
Papa mendekat. Memeluk Arum. "Nayara, maaf Papa ada urusan. Papa pergi dulu, ya."
Arum tercengang. Setiap merayakan ulang tahunnya Papa selalu menemaninya sepanjang hari. Mengajaknya jalan-jalan. Atau hanya sekedar menonton film di rumah. Arum sedih. Kenapa ulang tahunnya kali ini Papa harus pergi. Benar. Arum tidak pernah menduga Papa akan pergi meninggalkannya hari itu dan tidak pernah benar-benar kembali.
Arum mengusap pipinya. Momen beberapa tahun lalu selalu membuatnya tanpa sadar menangis. Nafasnya terengah. Keringat membasahi pelipisnya. Arum selalu benci situasi seperti ini. Dia mematikan musik relaksasinya. Meneguk air putih dari tumbler abu-abunya. Saat merasa sedikit lebih baik, Arum baru sadar ada notifikasi baru dari instagramnya. Sebuah DM dari pengirim yang sama dengan pesan sebelumnya.
BoyAnggara
Seneng banget ya lo, DM gue di-read doang.
Arum meutar bola mata. Melemparkan ponsenya ke tempat tidur. "Manusia aneh."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro