PART 3~ Aneh
Happy reading ❤
Boy keluar dari Starbucks salah satu mall di kawasan Jakarta Barat sambil menenteng paper bag berisikan dua cup kopi. Satu Americano, rasa kesukaannya dan yang satunya Matcalatte, tentu saja kesukaan Vale. Merasa ada yang kurang, Boy memasuki salah satu gerai donat. Pilihannya jatuh pada donat mini rasa matcha. Lagi-lagi rasa kesukaan Vale. Boy merasa baru dua hari putus dari Vale, otaknya sudah bergeser beberapa derajat, sehingga semua yang dia lakukan hanyalah tentan Vale.
"Bucin banget sih gue."
Boy bergumam sendiri sambil geleng-geleng melihat kelakuannya sendiri. Sepulang sekolah tadi, Mami memaksanya cepat-cepat ganti baju lalu memaksanya ke rumah salah satu teman arisannya. Boy paling tidak bisa menolak keinginan perempuan itu. Jadilah dia supir pribadi Mami. Sembari menunggu Mami selesai arisan, dia memilih mencari udara segar ke sebuah mall terdekat.
"Baru jam empat, gue kemana ya?" Boy bergumam sendiri.
Sebuah tempat terbersit di benaknya. Boy menuju parkiran, mengemudikan mobil Papi ke Kota Tua. Boy tersenyum kecut. Teringat tempat itu adalah tempat pertama yang dia dan Vale kunjungi pertama kali. Saat itu mereka masih kelas X. Berboncengan berdua saat mentari hendak terbenam. Hari ini, Boy mengunjunginya seorang diri. Mungkin hanya ditemani kenangan antara dirinya dan Vale.
Boy sampai setelah menempuh perjalan sekita empat puluh lima menit. Untung saja keadaan jalan raya masih belum macet. Boy harus bersyukur untuk hal itu. Karena jika jalanan sudah macet bisa-bisa Boy malah sampai saat arisan Mami sudah selesai. Setelah memarkirkan mobilnya di sebuah space kosong. Boy termenung sejenak, merasa tindakan nya ini konyol. Dia tengah membodohi dirinya sendiri. Vale telah menyakitinya, namun tetap saja dia datang ke tempat kesukaan gadis itu.
Drtttt.
Aldo Melviano is calling...
Boy enggan mengangkat telepon Aldo. Sejak dia dan Vale putus, Boy hanya bicara seadanya pada teman-temannya. Jam istirahat dihabiskan sendirian di kelas. Ketika bel pulang berbunyi, dia juga langsug kembali ke rumah. Terkesan kekanak-kanakan, hanya saja Boy masih belum siap menjadi bulan-bulanan Aldo dan yang lain.
"Halo."
"Woi lo dimana?" Terdengar suara berisik di seberang sana. Boy bisa menebak, Aldo sedang berada di pinggir jalan raya. "Boy, denger suara gue nggak?"
"Dia dimana?" Itu suara Fadly.
Kemudian, terdengar suara klakson mobil dan gumaman Aldo, "Fad, lo parkirnya yang bener dong." Fadly terdengar mengumpat. "Boy, lo kok diem aja? Abis diputusin lo jadi budeg?"
"Anjir, gue denger. Gue lagi di luar nih. Apaan sih?"
"Tugas kelompok Biologi. Lo lupa ya?"
Boy mengernyit. "Mesti banget sekarang?"
"Lah, coba besok kalau Bu Yati nanya tugas, lo jawab gitu." Aldo cekikikan.
"Ntar gue ke rumah lo, negrjain bareng. Gue tutup telponya, ya?!"
"Bentar."
"Apa lagi?"
"Kamu baik-baik aja, kan? Setelah kita putus, aku khawatir sama kamu." Aldo terbahak merasa puas bisa menghina Boy. "Di luar mana?"
"Sialan lo." Boy melepas seat belt. Dia keluar dari mobil, tangan kirinya menenteng paper bag. "Gue lagi di Kota ini."
"Lah jauh banget ke Kota. Padahal ini gue sama Fadly lagi nyariin elo di sekitaran sekolah. Carel sama Andra nungguin di kompek rumah lo." Aldo berdeham lalu terkekeh. "Fad, ada yang lagi menyusuri kenangan." Lalu mereka berdua terbahak.
"Gak jelas banget lo. Ngapain nelpon nyariin gue?" Boy menysuri pandangan ke sekeliling memperhatikan setiap sudut kota tua. Tidak terlalu ramai. Kebanyakan dari kalangan orangtua, membawa anaknya jalan-jalan sore. Tapi tetap saja ada pasangan remaja yang membuat Boy mendengkus.
"Takut aja lo berbuat aneh. Gak lucu kan kalau besok pagi bokap gue baca koran judulnya 'seorang cowok diduga baru putus cinta selonjoran di rel kereta api'."
"Gue masih waras." Langkah boy terhenti. Ada yang menarik perhatiannya di bawah pohon, tepat di depan Indomart point. "Bacot banget lo."
"Kita takut aja lo nyusulin Vale ke Surabaya. Abisnyalo aneh. Dua hari ini, diem mulu. Kaya lagi jagain bisul. Takut pecah."
Boy tertawa tapi pandangannya kini fokus ke satu titik. "Gue lagi jadi supir nyokap arisan. Gue baik-baik aja kok. Udah dulu deh."
"Yaudah. Asal lo nggak macem-macem. Gue juga geli lama-lama telfonan sama lo."
Sambungan telepon terputus. Boy menyipitkan matanya. Menyaksikan gadis berseragam putih abu-abu di hadapannya sedang asyik dengan duanianya sendiri. Duduk sendiri di bawah pohon. Tangannya mendekapsebuah buku di dadanya. Pandangannya lurus ke depan. Tapi Boy tahu, dia sedang melamun. Karena dia tidak sadar, Boy sedang berjalan mendekatinya.
Boy sengaja duduk di sebelahnya. "Hei."
Lagi-lagi dia tidak bersuara. Boy menggeser duduknya tapi gadis itu malah menjauh. Boy heran seligus penasaran. Boy mendekat lagi tapi gadis itu kembali menjaga jarak. Boy terkekeh. Kelakuan aneh membuatnya bertanya-tanya ada apa pada gadis itu. Ya, dia gadis yang Boy temui sebelum putus dengan Vale.
"Urusan kita belum selesai." Boy menusuk lengannya dengan jari.
"Jangan ganggu gue," lirih gadis itu.
Boy mengerjab. Dia baru saja duduk dan tidak melakukan apa-apa selain menusukkan telunjuknya di lengan gadis itu.
"Lo yang kemarin di sekolah kan?" Boy masih dengan berbagai pertanyaan di kepalanya malah semakin mendekat.
"Gue bilang jangan ganggu." Nafasnya tersengal. Kedua tanganna memeluk lututnya.
Boy semakin bingung. Gadis itu gemetar. Ada ketakutan di balik kacamatanya. Keringatnya bercucuran.
"Lihat gue." Boy jongkok di depannya. Gadis itu menarik nafas dalam kemudian menuruti perintah Boy. Dia tampak lebih tenang. Mata sayunya menatap Boy. "Gue gak akan ganggu lo. Gue gak tau apa yang terjadi sama lo, tapi gue gak akan nyakitn lo."
Gadis itu mengangguk. Membereskan buku dan tasnya.
"Eh, tunggu." Boy itu berdiri saat cewek itu bersiap pergi. Boy menarik tali tasnya. Gadi itu melotot lalu Boy terekeh. "Awas biji mata lo keluar."
Si cewek mungil itu mendengkus. "Kenapa?"
"Buat lo." Boy mengeluarkan Americano miliknya. Matcalatte dan donat mininya diberikan semua pada gadis itu.
"Hah?" Dia menggeleng tapi Boy menarik tangannya menyerahkan paper bag.
"Muka lo kusut banget," ujar Boy. "Kata nyokap gue kalau cewek suka dikasih yamng manis-manis." Boy berdecak. "Ini aman kok, gak ada sianidanya kalau lo mau tau." Cewek itu hendak membantah tapi Boy lebih dulu menyela, "Gue lagi males debat."
Si cewek menatap papar bag di tangannya, mengangguk pelan lalu mengumamkan terimakasih. Boy membalas kemudian membiarkan gadis itu berlalu seperti sebelumnya, meninggalkan tanda tanya.
***
Arum sampai di rumah pukul tujuh malam. Lampu ruangan masih belum menyala. Itu artinya, Mama masih di toko bunga. Sebagai anak tunggal, Arum sudah terbiasa jika harus sendiri di rumah sembari menunggu Mam pulang. Biasanya jika pulang lebih dulu diaakan menjemput Mama ke Florist dan mereka makan malam bersama di rumah. Hanya berdua. Dan sepertinya hari ini, Arum akan makan malam sendiri. Mama ada acara pembukaan cabang baru toko kue Tante Salsa -- adiknya Mama- di depan kompleks.
Arum menuju pantri. Meletakkan cup matchalatte dan sekotak donat. Duduk sembari memperhatikan benda-benda di hadapannya itu. Matanya menyipit memperhatikan nama yang tertera di cup matchalatte pemberian Boy. Valery. Arum mengedikkan bahu, meraih kotak donat, lalu tersenyum kecut.
"Bucin banget sih."
Meski terkesan tidak peduli dengan gosip-gosip yang sedang beredar di sekolah, tapi Arum tahu Boy dan Vale sudah putus. Tentu saja Arum tahu dari Loli. Arum memang tidak berteman dengan Vale, namun mereka sering berpapasan di sekolah. Lagipula Vale itu masuk dalam deretan siswa-siswa poluler di SMA Brawijaya. Vale yang cantik. Tubuh tinggi semampai yang kadang membuat banyak siswi kurang percaya diri jika berdiri di sampingnya. Rambut ikal panjang kecoklatan. Hidung mancung dan kulit eksotis hasil blasteran Jawa-Belanda.
"Kata nyokap gue kalau cewek suka dikasih yang manis-manis."
Perkataan Boy di Kota Tua kembali terngiang di kepala Arum. Sesaat dia termenung. Haruskah dia percaya apa yang keluar dari mulut laki-laki itu. Arum sudah terlalu sering disakiti karena percaya dengan perkataan laki-laki. Arum mengangkat bahu. Tangannya meraih satu buah donat. Mengunyah sambil menutup mata. Mencoba merasakan manis dari kudapan itu. Rasa teh hijau dari toping donat memberi efek tenang. Arum menghela nafas. Setidaknya kali ini dia percaya perkataan Boy. Dia suka sensasi manis itu. Dia kembali memasukkan donat mini ke mulutnya sampai menyadari ponselnya bergetar panjang.
"Halo," sapa Arum.
"Heh, gue telfon dari tadi juga. Baru diangkatnya sekarang. Lo dimana?" Arum sekiti menjauhkan HP dari telinganya ketika di seberang sana suara cempreng Loli melontarkan pertanyaan bertubi- tubi. "Lo baik-baik aja kan?"
"Iya. Gue baru sampai di rumah. Gue baik-baik aja kok."
"Lah darimana? Kan gak aja jadwal bimbel. Emang lo konsul hari ini. Masa sih? Lho, tumben gak ngajak gue."
Arum terkekeh pelan. Loli dengan kebawelan, tapi Arum senang. Setidaknya dengan kebawelannya itu, Arum merasakan sahabatnya sejak masih bocah itu sayang padanya. "Gue ada urusan tadi."
Loli berdecak. "Kok lo dien-diem. Oke gue emang gak berhak tau semua urusan lo. Tapi kalau Dean berani macem-macem, lo kabarin gue. Biar gue tembak tuh kepalanya."
Arum tidak dapat menyembunyikan tawanya. "Iya bunda, Dean gak ganggu gue kok. Yah, sampai sekarang gue aman kok. "
"Okedeh, kalau gitu bantuin gue dong."
"Bantu apaan?" Arum mendengar suara Loli terkikik. Ciri-ciri Loli jika sedang ada maunya. Arum sudah hafal itu.
"Bantu kerjain PR Fisika. Miigrain nih pala gue padahal baru baca soal. Apalagi kalau gue nyari jawaban, gue takut sampai amnesia. Lo mau tanggung jawab kalau gue lupa ingatan?"
"Banyak alesan lo." Tangan Arum terulur meraih machalatte di hadapannya. Menyeruput minuman itu lalu tersenyum. Tanpa sadar dia bergumam. "Manis."
"Ehh, apaan yang manis?"
"Eh."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro