PART 2~ Arum
Happy reading ❤
Dean Arsenino
Aku tunggu kamu di kantin ya
Arum memasukkan ponselnya ke dalam saku rok. Chat Dean kembali membuatnya was-was. Apakah dia harus menemui pacarnya itu? Arum dilema. Ada keinginan untuk pergi begitu saja. Tapi sebagian dari dirinya mengatakan dia harus mengakhiri secara baik-baik apa yang sudah terlanjur dia mulai, sebelum benar-benar pergi.
"Gue kesana nggak ya?" Arum bertanya pada dirinya sendiri. Dia mengetuk-ngetikkan jari di meja kemudian menangkupkan kepalanya di atas tumpukan buku Biologi. Dia sedang di perpustakaan sekarang. Sengaja menghabiskan waktu di sana sampai bel masuk berbunyi.
Ponselnya kembali bergetar. Memunculkan wajah Dean di layarnya. Cowok itu sedang berpose tertawa lebar menghadap kamera. Tidak ada yang aneh, tapi hanya melihat fotonya saja Arum takut. Getarannya belum berhenti. Arum mendesah, mematikan benda pipih itu, dan kembali menyimpannya di dalam saku roknya. Dia akan menghampiri Dean sesuai permintaannya. Urusan mereka harus diselesaikan segera.
"Pak saya pinjem buku ini ya." Arum meletakkan buku paket biologi edisi lama serta kartu registrasi peminjaman buku di meja Pak Wawan.
Lelaki paruh baya itu tersenyum sopan pada Arum, meraih buku tebal yang sudah terletak di meja, kemudian mengetikkan tanggal peminjaman di komputer miliknya, dan menyerahkannya kembali pada Arum. "Emang juara unggulan dari pagi udah sarapan buku aja ya, neng."
"Pak Wawan bisa aja deh." Arum mendekap bukunya di depan dada. "Makasih ya, pak."
"Sama-sama, neng."
Arum mengangguk sopan. Mengayunkan langkahnya sedikit terburu-buru. Degup jantungnya sedikit berantakan. Tangannya gemetar lagi. Matanya juga iku-ikutan tidak bisa dikondisikan. Dalam keadaan takut begini, Arum jadi ingin menagis.
BUGH!!
Arum tersentak kaget. Dia baru saja menabrak dada seseorang sesaat setelah berbelok dari perpustakaan ke lorong kelas XII. Dengan posturnya yang mungil, Arum harus mendongak, melihat siapa yang sedang berada di hadapannya itu. Kebetulan sekali, cowok itu menunduk. Sehingga beberapa saat mereka saling memandang. Arum menarik nafas dalam, lalu memutus kontak mata itu lebih dulu.
"Maaf."
Arum tidak menjawab. Dia malah melotot. Bibir kecilnya cemberut. Tangannya mendekap buku Biologi semakin erat. Ada rasa tidak nyaman harus berhadapan dengan cowok itu.
"Hei, gue minta maaf."
Masih tidak bersuara. Arum membenarkan letak kacamatanya. Mendongak lagi. Menatap cowok itu lekat-lekat, berharap dengan begitu, dia akan segera berlalu dari Arum. Dia adalah Boy. Arum kenal. Tinggi, mancung, rambut ikal sedikit berantakan, ditambah seragam yang sengaja tidak dimasukkan ke dalam celana. Arum berdecih. Dasar sok kegantengan banget, deh.
Sejak kelas X, Arum tidak pernah satu kelas dengan Boy. Tapi Arum sering melihat Boy dengan teman-temannya dia kantin Pak Lek. Boy dan keempat temannya yang aneh. Menyebut mereka dengan pasukan Conidin. Pasukan pereda patah hati. Motto apa-apaan itu. Membuat kantin berisik. Tebar-tebar pesona pada adik kelas. Sama sekali tidak menarik bagi Arum. Dia juga yakin jika Boy tidak mengenalinya. Walaupun sebenarnya tidak penting juga Boy kenal atau tidak.
"Lo baik-baik aja,kan?" Dengan santai Boy menempelkan punggung tangannya di keningnya. "Lo sakit?"
Arum bergidik ngeri. Pundaknya merinding ketika kulit Boy menyentuh dahinya. Tangannya bergetar dan berair. Arum kaget. Boy menatapnya dengan pandangan heran. Arum segera berusaha mengontrol mimik wajahnya, menyembunyikan rasa panik yang sempat menyerangnya beberapa saat lalu.
"Lo kenapa sih? Sakit? Udah ke UKS aja gih. Sori gue buru-buru."
Arum mundur beberapa langkah. "Lo yang sakit." Dia kemudian berlalu dari samping Boy. "Minggir."
Langkahnya dibuat panjang-panjang agar segera berlalu dari tatapan Boy. Dari sudut matanya, Arum dapat melihat Boy masih bergeming seraya memperhatikannya. Dengan tatapan aneh yang sejak tadi tampak di wajahnya. Harusnya Arum tidak terlalu peduli kan? Dan dia memang melakukannya. Mengabaikan Boy.
Dan kini sesampainya di kantin, Arum lebih panik mendadak diserang panik karena di sana Dean sudah menunggunya. Cowok itu sepertinya belum menyadari kedatangan Arum. Dia masih sibuk mengotak-atik ponsel sambil tersenyum.
"Dean," sapa Arum. Mengambil tempat duduk di hadapan Dean. Sesekali Arum melirik ke sekeliling, memastikan kalau kantin tidak terlalu sepi. Dan dia bisa bernafas lega karena beberapa siswa sudah muali berdatangan.
Dean tersenyum. Jika saja Arum tidak tahu siapa Dean sebenarnya, dia akan terpana pada senyum itu. Manis dan teduh. Sayangnya sekarang senyum itu tidak lagi memeberi efek apa-apa bagi Arum. Tidak ada lagi kupu-kupu yang berterbangan di perutnya seperti dulu di awal-awal Dean mendekatinya. Arum lelah, sedikit menyesal dengan beberapa bulan belakangan yang mereka lalui bersama.
"Hei, udah sarapan?"
Arum mengagguk. Kali ini jauh lebih baik berbohong, meskipun sebenarnya Arum merasa bersalah ketika tidak jujur dengan perkataannya. Hari ini dia tidak sempat sarapan karena berangkat pagi bersama Mama. "Udah tadi."
"Aku belum, nih. Udah pesen bubur ayam. Kamu mau? Aku pesen ya."
Arum menggeleng. Dia mulai muak dengan basa- basi itu. Sekarang dia hanya ingin bicara, mengungkapkan apa yang dia rasakan, menyudahi semuanya dan dia bisa terlepas dari cowok itu. Kembali dengan rutinitasnya semuala. Belajar, les sore, mendapat nilai-nilai bagus, terakhir tentu saja mempertahankan gelar juara umum yang setiap tahun tidak pernah absen darinya. Itu semua sudah cukup membuatnya bahagia.
Dean mengangsurkan sebotol air meneral. "Kamu pucet banget itu."
Arum mengangguk.
"Kamu sakit?" Dean masih saja menunjukkan rasa perhatiannya.
Arum menggelengkan kepala.
Dean mengangkat alis. "Dari tadi angguk-angguk sama geleng-geleng doang. Kenapa?"
Arum semakin tidak nyaman. Tekadnya sudah bulat. Dia dan Dean harus berakhir sebelum Dean benar- benar menyakitinya. Dia harus menyelamatkan diri sendiri dari luka atau apapun itu. Arum tidak mau terjebak bersama cowok itu. Meskipun sebenarnya dia sudah masuk ke dalam perangkapnya. Setidaknya Arum berusaha untuk menjauh.
"Aku mau bilang,"
"Eh, catatan Fsiska aku udah rapi. Kamu mau lihat?" potong Dean.
Arum menggeleng lemah. Susah payah dia menelan ludah. Sangat sulit untuk mengutarakan niatnya. Baru saja ingin kembali membuka mulut, Pak Lek datang membawa bubur ayam pesanan Dean. Cowok itu mengucapkan terimakasih lalu mulai menyantapnya setelah menawari Arum.
"Kamu mau bila apa tadi?" tanya Dean sambil mengaduk bubuk ayamnya. Menuangkan sedikit kecap. Dan memindahkan kacang ke pinggir mangkuk. Kebiasaan kecil Dean yang Arum hafal.
"Dean?" panggil Arum pelan.
Arum sadar, saat ini ia sedang berhadapan dengan Dean. Mengatakan putus sekarang sama saja dengan masuk ke jurang. Tapi Arum bisa apa. Dia sedang berada di anata dua pilihan yang sama- sama tidak menguntungkan dan membahayakan dirinya.
"Iya Arum. Kenapa?"
"Maaf," cicit Arum.
"Kamu kenapa sih? Ngomong aja. Aku dengerin kok." Lagi-lagi Dean menyunggingkan senyumnya. Sesekali menyuapkan bubur ke mulutnya.
"Aku mau putus."
Dean berhenti mengunyah makananya, meletakkan sendok di atas mangkuk. Matanya menatap Arum tajam. Bibir tersenyum miring. "Yakin?"
Tentu saja itu bukan pertanyaan. Kalimat yang baru saja diucapkan Dean lebih kepada ancaman. Arum berada dalam bahaya sekarang. Namun apa yang bisa Arum perbuat. Semua sudah kepalang tanggung. Arum mengangguk mantap. Meski hatinya sebenarnya was-was. "Aku mau putus," ulangnya dengan suara yang lebih yakin dari sebelumnya.
Dean mengangguk-angguk. Dia tidak meyangka Arum lebih berani dari yang dia bayangkan. Tangannya meraih botol air mineral di hadapannya, membuka tutupnya, kemudian meneguknya hingga tersisa setengah. Dean menyeringai, menatap Arum sinis lalu berkata, "oke kalau kamu munya gitu."
Arum tercengang. Cuma itu reaksi Dean. Cowok itu kini sudah berdiri, tanpa kata-kata apapun dia memilih berlalu meninggalkan Arum.
Kepala Arum dipenihi spekulasi-spekulasi negatif. Reaksi Dean yang biasa saja malah membuat Arum panik. Tangannya gemetar lagi. Bulir-bulir keringat dingin muncul di keningnya. Tadinya Arum berpikir, semua akan terasa lega. Sayangnya dia salah. Dadanya sesak. Andai sekarang dia tidak sedang berada di tengah keramaian kantin, dia pasti sudah menangis.
Bayangan Dean berputar-putar di kepanya. Senyum itu. Lama-lama menjadi menyeramkan. Arum memejamkan matanya. Tanpa sadar dia menutup telinganya. Arum. Arum kesulitan menarik nafas. Detak jantungnya berpacu semakin cepat.
"Arghh, jangan sakitin gue."
"Arum."
"Tolong gue!"
"Rum, lo baik-baik aja?"
Arum memberanikan diri membuka mata ketika suara yang dia dengan bukan milik Dean. Arum bernafas lega melihat Loli berdiri di hadapannya. "Loli gue takut."
Loli tersenyum sambil mengangguk, ada beberapa murid yang sedang memandang ke arah mereka. Setelah merasa tidak ada lagi mata yang memperhatikan keduanya, Loli duduk di samping Arum. Mengusap pundak temannya itu. Dia paham bagaimana keadaan hubungan Arum dan Dean tapi dia belum tahu apa yang terjadi pagi ini pada Arum . Dia akan membiarkan Arum tenang terlebih dahulu.
"Semua bakalan baik-baik aja."
Tangan kanan Arum menggamit lengan kiri Loli. "Gue udah putusin Dean."
Loli menaikkan alis. Menatap Arum lekat. Dia ingat bagaimana tadi malam, Arum galau setengah ati memikirkan bagaimana caranya memutuskan cowok itu. "Lo serius? Sepagi ini? Kan janjinya ntar siang?"
Pertanyaan bertubi-tubi disertai wajah penasaran Loli membuat Arum sedikit terhibur. Dia terkekeh pelan. "Iya."
"Ini beneran?" Cewek jangkung itu masih belum percaya dengan apa yang didengarnya saat ini.
Arum berdecak. "Iya kan lo yang nyuruh gue."
Mata Loli berbinar. Senyummnya mengembang hingga gingsulnya kelihatan. "Berati lo jomblo dong?"
"Ya." Jawab Arum singkat masih bertanya-tanya arah pertanyaan temannya itu.
Loli bertepuk tangan girang. Tubuhnya mendekat lalu memeluk Arum. "Asyik, lo bebas dari Dean. Saatnya cari pacar baru."
"Gue mau fokus belajar. Mau ikut ujian PTN." Arum bangkit berdiri, meraih buku biologinya.
"Kan sambil menyelam minum air sih, Rum." Loli berdecak ketika Arum memilih meninggalkannya sendiri. "Woi, Arum tungguin gue."
Ada yang putus nih? Hahaha habis putus malah takut. Gagal move juga nih anak. Yaudah biar tau kelanjutannya, next yuk.
Salam,
Maminya Pasukan Conidin :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro