PART 13~Rumput
Happy Reading
"Untuk kali ini gue percaya sama pepatah 'jangan lihat buku dari sampulnya', Ndra."
"Kenapa?" tanya Andra.
Aldo menepuk pundak Andra. "Lo liat deh, Si Dean. Muka polos. Gaya sok alim. Tapi kelakuannya?! Bangke, pengen banget gue hajar."
"Sakit jiwa emang itu anak."
"Pengecut. Lo liat kan hari ini nggak masuk. Kalau besok-besok ketemu, gue hajar aja tuh." Aldo membuang nafas kasar.
"Gue bantuin lo."
Telinga Boy terasa panas percakapan kedua temannya itu. Dia baru saja keluar dari rungan BK tapi sudah disambut oleh Alo dan Andra yang dari tadi pagi geram saat mendengar apa yang terjadi kemarin malam. Kejadian yang menimpa Arum membuat mereka tidak berhenti memaki Dean. Meskipun sebenarnya kurang begitu kenal padanya. Tapi tetap saja berbuat kasar pada perempuan bukan gaya mereka.
"Terus Bu Fatma bilang apa?" Aldo berjalan mendahului Boy dan Andra lalu berjalan mundur. "Dean dipecat?"
Andra menoyor kepala Aldo. "Lo kira segampang itu."
"Lho, itu kekerasan, Ndra." Aldo menunjuk hidung Andra. "Dia harus dapat ganjaran yang setimpal dong."
"Gue tau," balas Andra. "Tapi kan semua ada prosedurnya."
Boy mengangguk. Dia sudah melaporkan kejadian yang terjadi di gang kecil kemarin. Bu Fatma tampak syok tapi belum bisa mengambil keputusan. Saat menghubungi wali kelas Dean, beliau mengabari kalau dia tidak masuk sekolah hari ini. Bu Fatma juga mendapat informasi kalau Dean memang masuk kalangan siswa berprestasi namun cukup sering tidak masuk sekolah dengan alasan sakit.
"Awas, Do." Boy menarik lengan kemeja Aldo karena hapir saja menabrak seorang wanita paruh baya di belakangnya. "Maaf, Bu."
Wanita itu tersenyum. "Maaf, tante boleh tanya? Ruangan konesling sebelah mana ya, nak?"
Aldo menunjuk sebuah ruangan yang baru saja mereka tinggalkan. "Yang itu, Tante."
"Makasih ya."
Mereka bertiga mengangguk sopan. "Pasti anaknya cakep, Ndra." Aldo merangkul Andra dan Boy.
"Lo yakin anaknya cewek?" tanya Boy.
Aldo berdecak. "Insting gue sebagai laki-laki bilang kalau anaknya cewek terus pasti cakep. Lo berdua nggak paham, deh."
"Iyain aja deh Boy. Biar bibirnya diem." Andra menepuk punggung Boy.
"Kambing lo, Ndra. Calon mertua gue tuh." Aldo masuk ke dalam kelas lalu duduk di meja guru, diikuti Andra dan Boy. Tidak lama kemudian Fadly dan Carel bergabung.
"Gimana?" tanya Carel singkat.
"Tunggu Dean masuk. Terus ditanyain sama Bu Fatma. Arum juga nggak sekolah jadi pengaduan gue belum ada bukti."
Fadly menatap Boy sesaat lalu mendecih. "Gue takut Arum nggak jujur." Lalu dia berdeham saat semua mata tertuju padanya. " Gini, mungkin aja dia malu atau trauma."
"Kemungkinan sih gitu. Makanya selama ini dia diem aja. Dia terlalu takut mungkin," balas Carel.
"Trauma sih pasti. Gue aja merinding ngeliat pipnya memar gitu. Tapi gue juga ngerasa aneh kenapa Arum mau pacaran sama manusia modelan si Dean itu." Boy mengurut keningnya. "Secara Arun kan pinter. Harusnya dia bisalah milih cowok yang baik."
Aldo mengangkat alis. "Kepribadian ganda sih menurut gue. Jadi di satu sisi dia baik banget dan sisi lainnya ya gelap. Kaya gitu tuh, nonjok cewek. Pengen gue patahin tuh tangan."
Andra menjentikkan jari. "Nah gue juga mikir kaya lo, Do."
"Emang lo bisa mikir?" tanya Aldo.
"Mulut lo ya," balas Andra.
Boy meninggalkan mereka tanpa menanggapi perdebatan yang menyangkut Dean. Dia mengasingkan diri di bangkunya. Memeriksa ponsel. Pesan yang dia kirim pada Arum belum mendapatkan balasan. Bahkan belum dibaca sama sekali. Belum ada kabar sejak dia menghantar gadis itu pulang.
Boy Anggara
Jangan lupa olesin krim lukanya.
Boy mencoba mengalihkan perhatiannya walau tetap saja dia merasa risau apakah gadis itu baik-baik saja. Dia mengeluarkan modul Fisika. Menatapnya sesaat, membaca soal di halaman pertama, namun dia tiba-tiba meringis. Boy kembali meraih pnselnya.
Boy Anggara
Gak usah pikirin apa-apa. Lo istirahat aja, Rum.
Boy menggeleng kencang. Rasanya gue mendadak melankonis banget nggak sih?
"Lo nggak mau ke kantin?" Andra menghampirinya. Mengeluarkan buku dan bolpoin.
Boy menatap Andra sejenak kemudian mengalihkan pandangannya ke luar kelas. Carel, Fadly, dan Andra berjalan beriringan menuju kantin. "Gue lagi nggak laper."
"Arum belum ada kabar?"
Boy menaikkan alis sebelah. "Menurut lo wajar nggak sih kalau gue khawatir? Gue lebay banget ya?"
"Lo kan manusianya emang lebay." Andra terkekeh. "Gue bercanda. Wajar sih. Secara lo lihat gimana kejadiannya. Dan emang kekerasan gitu nggak bisa ditoleransi."
"Gue nggak tega, Ndra. Kemarin awal kenal dia, gue ngerasa dia itu aneh gitu. Ternyata emang karena trauma si Dean."
Andra menggigit ujung pulpennya. "Terus lo tiba-tiba maksa dia ngajarin elo. Emang parah lo, nggak ngotaknya."
Boy menatap Andra sengit, tidak terima dengan pernyataan temannya itu. "Carel nih yang punya ide. Temen lo tuh."
"Dia yang punya ide tapi lo mau aja ngikutin dia. Sama-sama geblek sih."
Boy tertawa. Andai dia tahu sebelumya masalah Arum sepelik itu dia tidak akan mengikuti saran aneh Carel. "Terus apa yang harus gue lakuin."
"Lo bantuin dia lah," jawab Andra cepat. "Laporin Dean. Udah kepalang tanggung jadi pahlawan."
"Boy, ada yang nyari di depan kelas," Fajar—ketua kelas mereka—mengalihkan perhatian Boy.
Dia melangkahkan kaki ke depan kelas dan menemukan wanita tadi tersenyum kepadanaya. "Kamu yang temennya Arum?"
Boy bingung harus mengangguk atau menggelengkan kepalnya, dia terkekeh. "Arumnya nggak mau temenan saam saya, Tan."
"Saya mamanya Arum. Makasih ya sudah bantu Arum kemarin." Wanita itu menghela nafas. "Tante nggak kebayang kalau nggak ada kamu."
"Sama-sama, Tan."
"Tante sudah lapor ke kepala sekolah dan Bu Fatma. Secepatnya kasus Dean akan ditindaklanjuti."
"Iya, tan. Semoga semua berjalan lancar."
"Maaf juga kalau Arum kurang bersahabat. Ada beberapa hal yang buat dia begitu. Ditambah lagi kejadian Dean. Tapi aslinya dia baik kok. "
Tapi sama saya galak, Tan. "Iya, Tan. Saya paham dia pasti trauma, Tan."
Wanita itu mengulurkan tangan, menepuk pundak Boy. "Sekali lagi makasih sudah bantuin saja menjaga Arum. Tante permisi ya."
Wanita itu memutar badan, berjalan menjauh, meninggalkan Boy masih merenungkan perkataannya. Sedikit demi sedikit Boy mulai paham mengapa Arum kurang nyaman berinteraksi dengan banyak orang. Walaupun belum tahu sepenuhnya, Boy menerka gadis mungil itu punya beban berat.
"Siapa?" tanya Andra menyadarkannya.
"Mamanya Arum."
Andra tertegun. "Calon mama mertua Aldo?"
***
Boy Anggara
Gak usah pikirin apa-apa. Lo istirahat aja, Rum.
Arum mengangguk. Dia mematikan ponselnya, menaruhnya ke bawah bantal. Tatapannya kemudian belarih ke pintu balkon kamarnya. Pandangannya kosong dan hampa. Sekelebat bayangan Dean masih menghantuinya. Dia meraba lengan atasnya, merasakan bekas-bekas luka yang pernah dia terima dari cowok itu.
Arum mendesah. Kenapa dia begitu mudah percaya padanya. Memberikan hati lalu terjebak dalam hubungan toxic. Memendam semua sendiri dan menahan sakit juga sendiri. Tadi malam Mama begitu kaget mendapati Arum dengan memar di pipi dan luka di sikunya. Selama ini Arum selalu berhasil menyembunyikannya tapi kali ini sudah tidak bisa.
"Pipi kamu sama tangan kamu kenapa, Rum?"
Arum diam lalu menunduk.
"Memarnya ini parah, Rum. Cerita ke mama." Mama mengangkat wajah Arum. Dia mengalihkan tatapan ke arah lain, menghindari Mama. "Siapa yang berani lakuin ini ke kamu?"
"Dean."
Mata Mama melebar. Bibirnya bergetar. Jemarinya mencengkram bahu Arum. "Yang sering jemput kamu?"
Arum mengangguk. Mama pernah bertemu Dean. Cowok itu sering datang ke rumah, menjemput Arum. Atau kadang mengerjakan tugas bersama. Tidak ada kelakuannya yang membuat Mama curiga. Dia sopan. Dia baik.
"Berani-berinya dia pukul kamu? Dia sering begitu?"
Arum mengangguk lagi. "Arum minta maaf, Ma." Arum memeluk Mama. Menagis dalam pelukan hangat itu. "Arum nggak jujur sama Mama."
"Ceritain semua, Rum."
Arum membuka mulut. Awalnya terasa berat, namun dia tidak ingin terus menerus hidup dalam ketakutannya sendiri. "Dean punya kepribadian aneh, Ma. Kadang dia baik banget terus kalau kambuh dia suka kasar sama Arum. Arum sering minta putus terus dia nyakitin dirinya sendiri."
Arum mentap Mama. "Arum takut cerita ke Mama. Takut Mama khawatir. Arum pernah beberapa kali ke psikolog. Arum trauma, Ma. Arum nggak pernah bisa tidur tenang sejak kenal Dean."
Mama menangis. Mendekap Arum lebih dalam. "Kamu nggak seharusnya mendiamkan masalah sebesar ini. Kenapa nggak cerita ke mama?"
"Arum malu sama temen-temen di sekolah, Ma." Arum menumpahkan bebannya. Menagis sepuasnya. Berharap setelah ini dia merasa lebih baik. "Arum juga nggak mau buat mama kepikiran. Mama udah cukup lelah berjuang sendirian untuk Arum. Tapi Arum malah ngerepotin Mama."
"PAKET!"
"PAKET!"
Arum tersentak dari lamunannya. Dia mengusap wajah. Dengan enggan melangkahkan kaki menuju balkon. Dia berdiri di pagar mebatas, menyaksikan seorang cowok yang hari ini menggunakan hoodie abu-abu. Tersenyum lebar. Dan melihat Arum mengenakan piyama tidur bermotif bebek, dia menyengir lebar.
"Atas nama Mbak Arumi ya?" Dia berdiri di samping motor lalu tertawa.
Arum terlalu kaget. Penampilannya kacau. Piyama kusut. Rambut berantakan. Belum lagi mengingat kejadian kemarin. Dia terlalu malu bertemu Boy. Tapi anehnya perasaannya menghangat melihat senyum itu.
"Ini gue sengaja mau dijemur disini?" tanya Boy. "Padahal gue bela-belain bolos bimbel demi ke sini. Tawarin masuk, dong."
Arum mengerjab. Tanpa berkata apa-apa dia kembali ke dalam kamar menutup pintu. Duduk kembali di tepi ranjang. Dia diam selama beberapa saat, menunggu Boy pergi. Dia sedang tidak ingin menjelaskan apapun. Lima menit berlalu, Arum mengintip melalui kaca. Dia tertegun, Boy duduk di jok motor sambil bermain ponsel.
"Kenapa nggak pergi sih? Gue kan malu, masih kucel gini?"
Arum berdecak. Ternyata Boy sekeras kepala itu. Arum merapikan rambutnya agar tidak terlalu tampak menyedihkan. Dia menghampiri Boy. Setelah membuka gerbang, dia langsung memutar badan, berjalan ke teras. Boy mengekor dari belakang, membawa sebuah paper bag coklat.
"Mau masuk?" tanya Arum pelan.
Boy mengangkat alis, melirik ke dalam rumah. "Ada Mama kamu?"
Arum menggeleng. "Mama di florist. Bu Asih lagi ke minimarket. Nggak ada orang."
Boy duduk di kursi teras. "Kalau gitu gue di luar aja. Nggak sopan soalnya kalau di rumah nggak ada siapa-siapa."
Arum tertegun. Masih berdiri di dekat pintu.
"Silahkan duduk, Rum. Angap aja rumah sendiri." Boy terkekeh.
Arum melotot. "Emang rumah gue. Lo mau ngapain ke rumah gue? Belajar Fisika? Manfaatin gue balikan sama mantan?" sindir Arum.
Boy menggaruk kepalanya. "Lupain deh. Kesannya gue jahat banget sama lo." Dia mengeluarkan isi papaerbag-nya. "Gue mau ngaterin ini doang."
Matchalatte, dua buah roti bertabur kacang almod, dan sekotak puding mangga.
"Gue keliatan kaya orang susah banget ya? Lo anterin sembako gini?" cibir Arum.
Boy menggeleng. "Enggaklah."
Arum meraih matchalatte lalu tersenyum kecut. "Karena kata Mami lo cewek suka makanan manis?"
"Lho, kok tau?"
Arum meletakkan kembali matchalatte-nya di meja. "Lo kan pernah bilang."
Boy menusuk lengan Arum dengantelunjuknya. "Kok lo inget sih? Ggue aja lupa kapan ngomong gitu."
Arum menepis telunjuk Boy. Wajahnya cemberut. Enatah kenapa cowok itu selalu bisa membawanya melupaan masalahnya sejenak. Arum cepat-cepat menggeleng.
"Kebetulan aja ingat."
Boy mengangguk. "Jangan-jangan selama ini, lo emang sering ingat gue." Boy memiringkan kepalanya melihat wajah Arum. "Jujur lo?!"
Arum menusuk sedotan kertas ke dalam matchalatte. Mneyeruput minuman itu. Teras rumahnya tiba-tiba terasa panas. "Ngawur."
Boy memiringkan badannya agar bisa melihat Arum di sampingnya. "Gue seneng lo udah bisa ngomel. Itu tandanya lo udah mendingan."
Aum terdiam. Dia bahkan tidak sadar sudah bicara cukup banyak sejak kedatangan Boy. Dia menghela nafas. Meletakkan minumannya di meja. "Boy?"
"Ini pertama kalinya lo manggil nama gue."
Arum tidak membantah "Makasih."
"Buat?"
Arum mengerutkan kening. Ucapan terimakasih untuk apa? Yang pasti untuk tindakan keren Boy kemarin malam.
Keren? Arum tiba-tiba terbatuk. "Buat puding mangganya lah."
Boy membuang muka. "Gue kira makasih karena kemarin kelihatan keren udah nyelamatin lo," gumam Boy pelan.
"Ha? Lo barusan bilang apa?"
Boy berdiri. "Gue bilang puding mangganya enak. Gue pulang ya. Udah bisa galak, berarti lo udah sembuh."
"Tunggu." Arum iku berdiri.
"Apa lagi?"
Arum menggeleng. "Nggak jadi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro