PART 12 ~ Boy?
Happy Reading ♥
Arum tersenyum puas saat dia berhasil mengerjakan lima puluh soal Kimia dalam waktu satu jam. Dia menutup buku dan alat tulisnya kemudian memasukkan semuanya ke dalam ransel. Kelas bimbingan Kimia sebenarnya sejak pukul enam tadi, namun Arum masih enggan pulang. Di rumah pasti terasa sepi karena Mama pasti masih sibuk di Florist. Dia menatap dinding kaca ruang diskusi itu. Sudah larut ternyata.
Tempat bimbel sudah mulai sepi. Bahkan di lobi hanya ada beberapa orang lagi. Arum tidak mengenali mereka. Jadi dia melanjutkan langkahnya ke luar. Dia menghembuskan nafas kasar saat pandangannya tidak sengaja melirik ke arah parkiran dan menemukan sosok Boy. Cowok itu sedang duduk di atas jok motor. Memainkan game online di ponselnya dan saat dia mendongak, Arum langsung membuang muka.
Arum masih berdiri di teras gedung itu. Mengotak-atik ponselnya, mencoba memesan ojek online. Dan semesta sedang tidak berbaik hati padanya malam ini. Layar ponselnya padam. Dia lupa mengisi baterai tadi sore. Arum memaki dirinya, kenapa bisa seceroboh ini.
"Duh." Arum mengentakkan kakinya dan entah kenapa di saat susah seperti ini, dia malah kembali melirik ke arah Boy.
Lho dia udah pergi? Kok nggak bilang?
Cowok itu tidak ada lagi di sana. Dia sudah pergi tanpa mengatakan apa-apa pada Arum. Arum kecewa. Tapi bukankah itu keinginannya? Dia yang meminta agar Boy menjauh. Jadi apa yang membuatnya tiba-tiba merasa kehilangan ketika seharian ini, Boy tidak muncul di hadapannya dengan cengirannya yang lebar ketika Arum melotot padanya.
Dia ngambek? Kenapa dia yang marah? Harusnya kan gue.
Arum menggeleng. Dia kembali memperingatkan pada dirinya untuk mengenyahkan Boy dari pikirannya. Langkahnya kini terayun keluar dari gedung bimbel. Jalanan mulai sepi. Daerah tempat bimbelnya berada di kawasan ruko-ruko perkantoran, sehingga jika sudah malam seperti sekarang sudah tidak ada lagi aktivitas apa-apa.
"Sepi banget sih."
Arum harus melewati gang kecil untuk bisa sampai ke jalan yang dilewati angkutan umum. Ia bergidik ngeri. Gelap dan tidak ada siapa-siapa yang lewat dari sana. Pikiran-pikiran buruk mulai berkeliaran di kepalanya. Dan semua itu menjadi nyata ketika Arum menemukan sosok laki-laki jangkung di hadapannya.
"Senang bisa ketemu kamu lagi'" sapanya.
"Dean?" Arum mengedarkan pandangannya ke sekeliling tapi dia tidak menemukan orang lain yang bisa membantunya.
Dean menaikkan aslis sebelah mengangguk. "Ini gue. Kenapa kaget gitu?"
Ketakutan Arum selama ini akhirnya terjadi malam ini. Dean menemukannya di saat yang tepat. Dan malam ini akan menjadi saksi siapa sebenarnya laki-laki itu. Arum bergerak mundur. Kakinya terasa berat sekali. Dia ingin berteriak. Sialnya bibirnya mendadak terasa kaku.
"Kamu mau kemana?" tanya Dean lembut.
Susah payah Arum menelan ludah. Dia balik kelambutan Dean, tidak ada yang tahu kalau dia berbahaya. Arum memutar badan. Belum sempat dia berbalik, Dean sudah mencekal pergelangan tangannya. Dean menariknya kasar sambil tersenyum.
"Jangan sakitin gue lagi." Arum meronta namun tubuh mungilnya tidak bisa memberi perlawanan berati bagi Dean.
"Selama ini aku nyakitin kamu?" senyum Dean mendadak sirna. Wajahnya murung.
"Lepasin gue," mohon Arum. Tangannya perih. Cekalan Dean semakin kencang.
Dean melayangkan sebuah tamparan ke pipi Arum, mendorongknya kencang sampai terjerembab ke tanah. Mmelihat Arum menangis, Dean meremas rambutnya sendiri. Wajahnya gusar.
"Aku yakitin kamu? Nggak mungkin. Aku sayang sama kamu."
Kenapa di saat seperti ini, tidak ada orang yang lewat? Arum meraba sikunya, menemukan jejak darah. Pantas saja terasa sakit. Arum meringis. Tangannya gemetar. Keringat membanjiri tubuhnya sampai kemejanya basah. Arum memcoba berdiri. Dia harus lari. Namun jantungnya terasa berhenti berdetak keika Dean mengeluarkan sebuah pisau kecil dari sakunya.
"Lo gila!Lo Sakit jiwa!" teriak Arum. Nafasnya tersengal. Dia berdiri meski kakinya gemetar, Dia berlari.
Langkah kecilnya dengan mudah disusul Dean. Cowok itu menangkap tas Arum kemudian kembali mencorongnya hingga tubuh mengilnya terhutung ke aspal. Dean kembali mendekat. Sorot matanya membuat Arum bergidik. Dean menunduk, menatap Arum lalu kembali tersenyum. Dia menunjukkan sebuah luka di pergelangan tangannya.
"Gue rindu sama lo, Rum. Sampai gue rela nyakitin diri gue sendiri. Orang bilang gue gila, Rum. Nyokap bawa gue ke dokter jiwa, padahal gue nggak gila, Rum."
"Lo mau apa?"
Dean berdecih. Dia menarik pergelangan tangan Arum. "Lo juga harus merasakan gimana sakitnya gue."
"Tolong!"
Dean manampar wajah Arum untuk kedua kalinya.
"Lo gila." Arum meringis. Matanya berair. Bibirnya gemetar. Dia mencoba berdiri. Dan dia gagal. Kakinya kelu. Arum takut. Dia hilang kendali atas dirinya sendiri. Dia tidak bisa mengotrol pikirannya, untuk mengatakan semua akan baik-baik saja.
***
Boy mengendarai motornya menjauh meninggalkan gedung bimbel. Ada perasaan gusar ketika dia meninggalkan Arum di sana. Dia sempat melihat gadis itu menggerutu, tidak tahu karena apa, tapi Boy tahu dia pasti sedang kesulitan. Boy sempat berniat menghampiri, menawarkan bantuan, dan menghantarnya pulang. Tapi Boy membuah jauh-jauh niatnya itu. Sejak kemarahan Arum di gerai es, Boy mencoba untuk memberi jarak.
Anggap saja Boy pengecut karena tidak bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia mulai. Dia mendekati gadis itu gencar demi keinginannya. Hanya karena dia ditolak, dia menghentikan semuanya. Dia mengikuti keinginan Arum. Menjauh adalah keputusan terbaik. Lupakan saran sialan dari Carel. Urusan mantan dan taruhan pada Papi, Boy bisa pikirkan lagi nanti.
Boy merasakan getaran panjang dari saku celananya. Boy mengabaikannya. Dia kembali fokus mengendarai motornya. Ponselnya bergetar lagi. Boy menggerutu namun tetap meminggirkan motornya ke depan sebuah kedai kopi. Panggilan dari nomor tidak dikenal.
"Halo?"
"Ini bener Boy?" Suara perempuan di seberang sana membuat Boy mengerutkan kening.
"Iya. Ini siapa?"
"Gue Loli. Gue minta nomor lo sama temen sekelas lo. Lo inget gue? Temennya Arum."
Boy menggaruk ujung hidungnya sambil mengamati jalanan yang mulai sepi. Mendengar suara panik Loli membuat Boy merasaan sesuatu yang tidak nyaman. "Gue ingetlah. Emang kenapa?"
"Lo bimbel bareng Arum, kan?" Loli semakin gusar. "Nomornya nggak aktif. Dia udah pulang nggak, sih?" Loli berdecak lagi. "Itu anak seneng banget pulang malam, gue jadi parno."
"Kayanya sih udah pulang." Boy tidak yakin dengan jawabannya sendiri.
"Lo yakin? Perasaan gue nggak enak." Loli mendesah. "Aduh, kalau lo bilang udah pulang gue telfon dia nanti, deh. Maaf ya ngerepotin gue cuma takut kalau Dean,"
"Dean?" tanya Boy tanpa sadar. Dia tidak tahu siapa nama yang disebutkan tapi mendengar kepanikan gadis itu membuat Boy tiba-tiba khawatir.
Boy mengakhiri pembicaraannya dengan Loli. Dia memutar motornya kembali ke tempat bimbel. Perjalanannya mendadak terasa sangat lama. Boy menarik gasnya kencang, menambah laju motornya. Nihil. Sudah tidak ada Arum disana. Boy mengumpat, memaki dirinya sendiri. Dia seharusnya tidak mengabaikan Arum tadi.
Tuh cewek kemana ya?
Terakhir dia melihat Arum, gadis itu mengotak-atik ponsel lalu cemberut saat mengembalikan ponselnya ke tas. Dia pasti gagal memesan ojek online. Boy mengalihkan pandangannya ke sebuah gang yang biasa dilewati anak-anak bimbel menuju permberhentian angkutan umum.Boy harus menysulnya, memastikan kalau dia baik-baik saja.
Jalanan itu gelap. Hanya ada sebuah lampu jalan dan remang. Boy membawa motornya menyusuri jalan itu. Dia bergidik sendiri membayangkan Arum melewati jalan itu sendri.Semakin jauh, jalannya membawa Boy ke sebuah gang kecil. Sebuah jeritan membuat Boy berhenti.
Suara itu. Boy tahu.
"Anjing!"
Boy menendang seorang cowok yang sedang mengacungkan sebuah pisau kecil ke hadapan Arum. Cowok itu terpelanting ke tanah namun dengan sigap dia berdiri. Jadi dia yang bernama Dean? Cowok berparas kalem, berseragam rapi, tapi kalakuannya membuat Boy geram.
"Sini lo bangsat." Boy tidak memberi kesempatan. Melihat Arum berjongkok sambil menangis membaut emosi Boy semakin tersulut. Dia melayangkan pukulan, menghantam rahang Dean.
Dean tidak tinggal diam. Dia membalas pukulan Boy, mengenai ujung bibirnya. "Lo jangan ikut campur."
Boy terpelanting, punggungnya menabrak sebuah tiang listrik. Dia langsung bangkit sebelum Dean mendekat. Boy menedang perut Dean dan tidak mau memberi celah lagi. Dean yang kurus terjatuh ke aspal. Boy menduduki perutnya lalu memukulnya bertubi-tubi. "Sialan lo. Beraninya lo nyakitin Arum. Anjing!" Nafas Boy terengah dan terus memukul.
"Lo beraninya kasar sama cewek!"
Dean meringis. "Lo nggak usah ngurusin gue. Lepasin!" Dean berhasil melepaskan diri.
"Bangsat lo!"
Sebuah lampu mobil menyadarkan Boy. Dia berdiri kemudian membiarkan Dean berlari entah kemana. Boy memaki dirinya membayangkan apa yang akan terjadi pada Arum kalau dia datang terlambat. Boy menyeka keringatnya dengan punggung tangannya. Nafasnya tersengal. Sudut bibirnya terasa sedikit perih.
"Ikut gue."
Boy membantu Arum berdiri. Segaram sekolah gadis itu berantakan. Pergelangan tangannya memar. Sikunya berdarah. Boy kesulitan menghirup oksigen melihat Arum ketakutan. Namun belum waktunya menuntut penjelasan atas apa yang baru saja terjadi. Boy menyeka air mata Arum lalu menenteng tas gadis itu. Tidak ada bantahan seperti biasa. Mungkin karena dia masih syok. Tangannya dingin.
"Bisa naik? Pegang pundak gue aja." Boy membantu Arum menaiki jok motornya yang tinggi.
Boy membawa Arum ke sebuah Indomart. Gadis itu belum bicara. Dia menduduki sebuah bangku yang disediakan di depan minimarket itu sambil terus menunduk. Tangannya gemetar, dia masih menangis.
Boy duduk di sebelah Arum, membawa plasti putoh di tangannya.
"Minum dulu, Rum."
Arum menerima botol pemberian Boy, menggenggamnya erat lalu kembali diam.
"Pipi lo memar." Boy menarik lengan Arum. "Tangan lo juga."
Arum membuka mulut, ingin mengucapkan sesuatu namun urung dilakukannya. Dan melihat itu, Boy kembali merasa bersalah. Dia lebih senang Arum yang galak, Arum yang matanya melotot, dan Arum yang selalu menghinanya. Itu jauh lebih baik daripada melihatnya diam, termenung, lalu menangis.
"Gue obatin dulu ya." Boy membersihkan siku Arum dengan tisu basah dan mengusapkan krim luka. "Kalau perih lo bisa cubit gue. Nggak usah ngomong apa-apa."
"Maaf," Boy mencondongkan tubuhnya. Dia membersihkan sudut bibir Arum. Boy sedikit kesulitan bernafas melihat noda darah di wajah Arum. Cewek pasti kesakitan. "Gue bersihin ya."
Arum memalingkan wajah. Dia kelihatan tidak nyaman.
Boy tidak mau membiarkannya menghindar. "Gue nggak akan macem-macen kok. Gue cuma takut luka lo infeksi kalau nggak dibersihin." Dan akhirnya Arum menurut.
Hening. Boy memberi waktu pada Arum untuk diam. Sepeluh menit berlalu mereka berdua diam, Boy akhirnya menyerah.
"Kalau lo udah baikan, jangan diem lagi ya. Kasih tau dimana lagi yang sakit."
"Gue takut."
Arum meletakkan botol air mineral di meja, meremas jari-jarinya. Ketika dia mendongak, matanya masih berair. Wajahnya pucat. Boy lagi-lagi menyeka air mata gadis itu, merapikan letak kacamatanya.
"Ada gue, lo tenang aja." Boy melepas jaket hitamnya, menyampirkan pada tubuh mungil Arum. "Gue anter lo pulang sekarang Lo istirahat. Ini hari yang berat buat lo."
***
Uhuyyy Boy, selama ini kukira kamu demennya senyum sama nyengir doang. Ternyata bisa marah juga ya kamu, nak. Demi membela kebenaran, bestie!
Yang kangen Bboy kalau lagi nyengir di depan Arum.
Nih aku kasih bonus.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro