PART 1~ Bucin?
Happy reading ❤
Valery Indira
Aku di kebun botani.
"Akhirnya, Vale mau balas chat gue."
Boy refleks tersenyum tipis setelah melihat pesan singkat yang mampir di ponselnya. Pesan dari pacarnya, Valery. Bukannya berlebihan kenapa Boy sebahagia itu, pasalnya sudah beberapa hari mereka terlibat perang dingin. Masalahnya sepele. Malam itu, dimana Boy baru saja selesai mencuci wajah, gosok gigi, dan bersiap tidur, Vale menghubunginya dan tiba-tiba bilang, "Boy nama ibukota Belgia apa?"
Boy bingung setengah mati. Otaknya paling susah dalam pelajaran menghafal dan menghitung. Boy kadang bolos pelajaran IPS. Pura-pura mules, tidur di UKS. Atau datang terlambat. Disuruh Pak Omar membersihkan daun di kebun botani. Tidak masuk pelajaran pertama .Dan selamat tinggal pelajaran IPS. Jadi, dia tidak tahu apa nama ibukota Belgia. Yang dia ingat hanya coklat Belgia rasanya enak, karena Bang Arsen dan istrinya pernah membawa Belgian dark cocholate, sepulang honey moon dari Belgia.
Sejak insiden ibukota Belgia itu, Vale marah dan tidak mau menjawab chat Boy. Tidak hanya sampai di situ, Vale tidak mau berpapasan dengannya di sekolah. Aneh, kan pacar gue kelakuannya? Lagian tinggal buka google aja, kan selesai urusan.
"Permisi! Kasih jalan dong! Orang ganteng mau lewat!"
Suara Aldo mengalihkan perhatian Boy dan beberapa siswa lain sehingga mereka refleks menoleh ke arah pintu. Sahabat Boy yang paling berisik itu masuk diikuti dua orang pengawalnya –Andra dan Carel- dari belakang.
"Gitu amat ngeliatin gue. Iya, gue sama Zayn Malik gantengan gue kok," celoteh Aldo pada Erika ketika sekretaris kelas itu tidak sengaja meliriknya.
"Gak usah dengerin, Ka," celutuk Andra dari belakang.
"Apaan sih? Nggak jelas banget lo." Erika melirik Aldo dan Andra sekilas.
Aldo berhenti sejenak di depan meja Arika sehingga Carel dan Andra harus tertahan di belakangnya. "Lo mau gue kasih kejelasan? Ngarep banget sama gue? Yaudah yuk kita perjelas."
Erika melotot, melemparkan catatan matematikanya ke arah Aldo. Tidak bisa dipungkiri wajahnya sedikit memerah. "Berisik lo Ronaldo Melviano."
"Enggak usah malu-malu kucing gitu dong, Ka. Muka lo tersipu" goda Aldo.
Boy mendengkus kasar. Begitulah kelakuan Aldo setiap pagi. Dan anehnya Boy masih betah saja bergaul dengan si pencinta buah pepaya itu. Carel memotong langkah Aldo. Melewati bangku Boy tanpa suara. Hanya dengan menaikkan alis saat tatapan mereka bertemu. Itu sudah cukup untuk berinteraksi versi Carel. Bukan Carel namanya kalau harus berkelakuan seperti manusia sosial pada umumnya. Dia duduk di posisi paling belakang. Bersandar di kursi. Menutup kepalanya dengan tudung hoodie putihnya. Menutup mata. Bodo amat dengan segala keberisikan kelas XII IPA 7. Carel dengan duanianya sendiri.
"Kenapa muka lo, kusut gitu?" Andra duduk di samping Boy sembari mengeluarkan buku Matematika. Pertanyaan basa-basi karena dia sudah tahu bahwa sebelumnya hubungan Boy dan Vale sedang tidak baik-baik saja.
"Vale ngajak ketemu. Gue seneng sih. Tapi perasaan gue agak nggak enak. Galau gue, Ndra?"
Boy mematikan ponselnya. Mengeluarkan buku matematika. Melakukan hal yang sama seperti yang Andra lakukan. Menyalin tugas matematika. Meskipun hati sedang gundah, Boy harus tetap mengerjakan tugas dari Pak Fauzan Jika tidak mau membersihkan daun kering di taman botani.
"Kasian banget sih temen gue. Makanya jadi bucin boleh tapi jangan parah parah banget deh."
Boy melirik Andra dari sudut matanya. "Lo kalo jujur boleh tapi jangan jujur banget ngehina gue."
Adra terkekeh. "Baru tau gue kalau orang galau auranya panas banget. Ini kelas rasanya panas banget. Masih pagi padahal."
"Apaan sih? Menurut lo dia mau bilang apa ya?"
Andra mengedikkan bahu. "Putus kali," jawabnya santai.
"GAK MUNGKIN PUTUS!" Boy menendang kaki Andra. Namun Andra hanya terkekeh geli.
"Kenape nih berisik banget?" Aldo yang sudah duduk anteng di bangkunya tiba-tiba mengeluarkan koran dari dalam tas. "Nih, Boy. Kepala lo keluar asap itu. Kipas dulu gih."
Boy meraih koran pemberian Aldo. "Gini amat dah temen gue. Gak ada perikemanusiaannya."
Aldo mendengkus. Sebuah kotak bekal berwarna putih dikeluarkan dari tas. Isinya potongan buah pepaya, sengaja disiapkan Bunda untuk sarapan. "Lo makan pepaya dulu. Biar muka lo nggak tagang banget mau ketemu Vale."
"Buat gue aja." Andra menyambar potongan pepaya, langsung mencomot dua potong sekaligus. "Lo tiap hari sarapan ginian. Udah kaya musang tau."
"Serah deh elo mau ngatain musang yang penting ganteng. Eh, gue mau ketemu sekretaris OSIS bentar. Bahas rapat lanjutan acara perpisahan kelas XII." Aldo baru hendak beranjak dari bangku, namun segera ditahan Boy. "Kenapa lagi?"
"Do, nitip tulisin PR gue dong, Gue mau ketemu Vale." Boy menyerahkan buku tugasnya. "Tolongin ya. Makasih loh."
"Iye. Serah elu dah. Kalau bukan temen gue lagi galau akut. Gue mah ogah."
Boy tidak lagi menghiraukan celotehan Aldo. Boy harus menghampiri Vale dan bertanya langsung apa maksud perempuan itu. Dia harus memastikan secepatnya daripada bertanya-tanya sendiri tak kunjung menjawab kegundahannya beberapa hari belakangan. Dia harus minta maaf meskipun dia tidak tahu letak salahnya ada dimana hanya karena tidak tahu apa nama ibukota Belgia. Apakah begini defenisi perempuan selalu benar?
Di depan kelas dia berpapasan dengan Fadly. Satu lagi manusia yang selalu ada di sekeliling Boy. Si palayboy itu sepertinya baru kembali dari kelas XII IPS 3, dimana salah satu pacarnya ada disana. Se-playboy itu memang dia. Bisa punya dua cewek di sekolah yang sama. Entah dari sisi mana yang dilihat para cewek-cewek bisa tertarik pada Fadly.
"Kemana?" tanya Fady heran.
Boy bergumamam tidak jelas. Tidak ada juga gunanya menjelaskan apa- apa pada Fadly. Boy melirik jam tangan. Lima belas lagi sebelum bel berbunyi. Barisan kelas XII IPA yang terletak di dekat gerbang sekolah menyebabkan jaraknya lumayan jauh ke kebun botani. Boy mempercepat langkahnya. Berbelok ke perpustakaan.
BUGH!!
Boy tersentak kaget. Sama kagetnya dengan seorang gadis di hadapannya. Perempuan berpostur mungil itu mendongak. Matanya berair. Boy mengernyit. Apakah gadis itu menangis? Tapi kenapa?
"Maaf." Gadis itu tidak menjawab. Matanya kemudian melotot menatap Boy. Bibir kecilnya cemberut. Boy jadi salah tingkah ditatap tajam seperti itu. "Hei, gue minta maaf," ulang Boy.
Gadis itu membenarkan letak kacamatanya. Masih tidak bersuara. Boy tidak mengenalinya. Wajahnya tidak asing. Boy yakin dia pasti berasal dari kelas unggulan. Seragam rapi. Rambut diikat ekot kuda. Mimik wajah serius. Tangannya mendekap buku Biologi di depan dada.. Boy tidak bisa meliahat name tag di seragamnya.
Lagi pula Boy tidak kenal banyak siswa perempuan di sekolah. Selama Vale ada di dekatnya, dia tidak terlalu bergaul dengan siswa lain. Dia hanya berteman dekat dengan Pasukan Conidin dan sisanya hanya sebatas tegur sapa. Wajar saja jika dia tidak tahu siapa gadis itu.
"Lo baik-baik aja,kan?" Dengan santai Boy menempelkan punggung tangannya di kening gadis itu. "Lo sakit?"
Lagi-lagi gadis itu diam. Untuk sesaat dia tampak ketakutan saat tangan Boy masih menempel di keningnya.Tapi dengan cepat dia bisa mengendalikan diri.
Boy menggaruk bagian belakang kepalanya, gemas sendiri karena kehabisan akal menghadapi gadis aneh itu. "Lo kenapa sih? Sakit? Udah ke UKS aja gih. Sori gue buru-buru."
Gadis itu mundur beberapa langkah. "Lo yang sakit." Dia kemudian berlalu dari samping Boy. "Minggir."
Boy menatap kepergian cewek aneh itu. Dia masih syok dengan apa yang dialaminya. Berani-beraninya dia memperlakukan Boy setega itu. Apa dia tidak tahu Boy itu siapa? Siapa yang tidak kenal dengan Pasukan Conidin? Boy menghela nafas. Dia tidak punya banyak waktu. Dia akan selesaikan urusannya lain kali dengan cewek aneh itu.
"Vale," bisik Boy ketika melihat Vale duduk sendiri di sebuah banku yang terletak di sudut kebun botani.
Rambut panjang kecoklatan itu berantakan tertiup angin. Vale menyisir dengan jemarinya namun angin kembali membuat rambut itu tidak keruan. Boy tersenyum tanpa sadar. Pemandangan indah yang selalu membuatnya jatuh hati berkali-kali pada Vale. Vale cemberut. Imut sekali.
Dia menoleh menyadari kedatangan Boy, menggeser tubuhnya agar Boy bisa duduk di sebelahnya. "Sini."
Mereka duduk bersebelahan. Untuk beberapa menit keduanya diam. Asyik dengan pikiran masing-masing. Boy mendadak kedinginan padahal pagi ini sangat cerah dibandng kemarin- kemarin. Selalu hujan. Mungkin semesta sedang mencoba bersikap baik pada Boy.
Vale berdeham. "Gue, mau ngomong."
"Gue?" ulang Boy. Tidak percaya pada kalimat Vale barusan. Dia baru saja bilang 'gue'. Kemana kata-kata 'aku-kamu' yang selama ini Vale ucapkan untuknya. "Vale, are you okay?"
Vale mengangguk pelan. Bibirnya mencoba untuk memaksakan seulas senyum. Ia sepertinya sadar, sebentar lagi akan menyakiti Boy. Dia kelihatan tidak sanggup tapi dia tetap melakukannya. Dia akan menyakiti perasaan cowok yang selama dua tahune ini sudah memberi warna pada hidupnya.
"Kita udahan aja ya." Vale mengucapkannya pelan sekali. Tapi Boy mendengarnya. Vale tersenyum lagi. Seyumnya hambar. Bukan seperti Vale yang Boy kenal. Vale yang ceria. Banyak bicara. Selalu ada topik dan tidak pernah kehabisan cara untuk membuat Boy tertawa.
"Kenapa?"
"I'm sorry," bisik Valery.
Wajah Boy kaku. Keringat tiba-tiba membanjiri keningnya. Vale meraih tisu dari dalam tasnya, mencoba tapi Boy mengelak saat dia mencoba mengelap keringat itu. "Aku tanya kenapa, Val?"
"Maafin gue."
"Valery, jawab kenapa?" Nada suara Boy meninggi. Tidak adil dia diperlakukan seperti ini. Tidak ada yang salah. Semua baik-baik saja sebelum Vale menyakan pertanyaan konyol beberapa hari yang lalu. Vale harus memberikan penjelasan.
"Besok gue bakalan pindah sekolah. Papa udah urus semua. Kami harus pindah ke Surabaya. Gue bakal menetap disana, Boy."
"Kita bisa LDR, kan?" balas Boy tidak terima dengan alsan itu. Banyak janji dan mimpi yang mereka bangun selama ini. "Terus kita akan sama-sama lagi. Kuliah di kampus yang sama."
"Kita enggak bisa. Kita selesai, Boy." Vale berdiri, meraih tasnya namun dengan sigap Boy menahan tangannya. "Lepasin gue."
"Kamu udah janji, Vale. Emang gue salah apa?" Boy geram. Dia bahkan tidak peduli dengan panggilan 'aku-kamu' yang sering dia ucapkan. "Lo tiba-tiba nanya ibukota Belgia tengah malem. Lo ngambek. Lo putusin gue. Aneh nggak, sih?"
"Penting banget ya alasan gue?"
"Lo gak bisa gini? Kasih alasan yang masuk akal."
Vale tersenyum miring. Dia mencoba terlihat baik-baik saja meski sebenarnya dia juga tidak kuat melukai Boy. "Lo nggak perlu tau alasannya. Yang penting dengan gue ataupun tanpa gue lo harus tatap baik-baik saja. Lupain gue dan hidup bahagia. Lo harus lebih baik. Belajar. Jangan keseringan bolos di UKS."
"Enggak usah peduliin gue, Vale kalau lo juga bakal ninggalin gue."
"Gue pergi."
Genggaman tangan Boy terlepas. Lidahnya kelu. Tidak ada lagi kata- kata yang bisa dia ucapkan saat ini. Dia membiarkan Vale pergi. Kakinya lemas bahkan untuk mengejar Vale yang sudah berlalu melewati gerbang kebun botani.
"Boy," panggil Vale.
Kening Boy berkerut. Kenapa Vale berhenti. Apakah dia berubah pikiran? Boy menoleh, Vale kembali menghampirinya. Berdiri berhadapan. Tangannya terulur menepuk pundak Boy. Seulas senyum terbit di bibirnya. Boy kembali menaruh harap, hubungannya dengan Vale akan kembali baik-baik saja. Mereka akan kuliah di kampus yang sama. Seperti yang sering mereka impikan.
"Kamu tadi bercanda?" bisik Boy.
Vale menggeleng. "Gue serius. Kita putus. Lo harus rajin belajar. Berubah. Gue akan tunggu lo di Fakultas Kedokteran UI."
"Hah?"
***
Hei kamu, iya kamu yang lagi baca. Apa kabar? Sehat selalu ya. :)
Salam,
Maminya Pasukan Conidin ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro