Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 28~COKELAT

Happy Reading


Boy memperhatikan tumpukan buku di meja belajarnya. Mengerjakan puluhan soal berhasil mengalihkan pikirannya dari Arum. Dia membuka ponsel. Ada beberapa pesan dari Valery. Dan semua dia jawab seperlunya dengan alasan tidak ingin mengganggu konsentrasinya. Ada juga puluhan notifikasi dari Aldo untuk sekedar menggodanya. Mengingatkannya untuk memilih antara Arum atau Vale. Tidak perlu dijawab. Semua orang tahu pasati Boy akan memilih siapa. Buktinya hingga detik ini Boy masih berjuang kuliah di FK UI.

"Serius banget lo."

Bang Arga melenggang masuk. Diikuti Shelia di belakangnya. Semenjak kepulangan Bang Arga, gadis kecil itu lebih memilih tinggal di rumah Papi daripada di rumahnya sendiri.

"Om Boyben lagi apa?" Sheli melirik Boy sejenak lalu mengikuti Bang Arga duduk di jendela. Tempat kesukaan Boy.

"Om Boyben lagi belajar Sheli," jawab Bang Arga.

"Dulu Om Boyben nggak pelnah belajal," balas Sheli.

"Kan om kamu yang gateng ini udah tobat." Boy tertawa. "Sini, Om ajarin kamu Matematika."

Shelia menggeleng sambil memeluk lengan Bang Arga. "Sheli mau beli es klim sama Om Alga."

"Beli es krim sama Om Boy aja, ya." Boy tersenyum membujuk Sheli.

"Nggak mau."

"Lo mau lanjut ke universitas mana?"

Boy mengedikkan bahu. Takut jawabnnya membuat Bang Arga tertawa meremehkannya.

"Gue kira lo udah tau." Bang Arga menaikkan alis. "UN bentar lagi. Lo dah harus tau mau masuk jurusan apa."

"Gue mau ngambil jurusan kedokteran."

"Kedokteran?" tanya Bang Arga. Sedikit heran mendenar jawaban Boy. "Nggak salah, tuh."

"Emang kenapa, bang?" Boy menaikkan alis. "Lo ragu sama kemampuan gue?"

"Gue nggak pernah ragu sama lo. Asal ada kemauan, gue yakin lo pasti bisa. Lo aja yang selama ini rendah diri sama kemampuan lo."

"Terus kenapa lo kaya nggak percaya gitu kalau gue bakal masuk kedokteran, bang?"

Bang Arga tersenyum miring. "Semenjak lo ngasih usul buat desain ulang rumah Papi yang di Bogor, gue kira lo tertarik desain. Awalnya gue ngira lo bakal ngambil jurusan arsitektur."

Lo nggak tau gue sebucin apa, bang. Ini tuh demi mantan. Lo yang jomblo nggak bakal paham, dah.

"Gue sih dukung apapun pilihan lo. Papi sama Mami juga pasti ngelakuin hal yang sama. Kita semua diberi kebebasan untuk milih bidang apa yang kita suka. Gue, Bang Leo, Bang Arsen, dan elo. Kita bebas menentukan apa yang cocok buat kita."

Boy mengangguk. Benar kata Bang Arga. Sejak masih kecil, mereka selalu diberi kebebasan untuk menekuni bidang apa yang mereka suka. Mengembangkan bakat apa yang mereka miliki. Mungkin hanya Boy yang melenceng dari abang-abangnya. Dia terlalu dimanja Mami. Jadinya dia lebih suka bermalas-malasan.

"Kali ini gue udah yakin banget mau kuliah kedokteran."

"Konsul ke kak Windi dulu deh lo."

"Nggak perlu, bang. Gue bakal tanggung jawab kok."

Bang Arga mengangguk. "Gue harap lo bisa bertanggung jawab atas apa yang akan lo pilih. Bukan cuma sebatas masuk jurusan itu tapi kedepannya lo harus bisa beradaptasi dan mencintai bidang apapun yang udah menjadi keputusan lo."

Andai Boy bisa berpikir seperti Bang Arga. Sayangnya dia tida bisa melakukan itu. Dia sudah bersikeras akan mengejar impiannya dan Valery.

"Arumi sama lo pacaran?"

Boy menggeleng. Pertanyaan abang gue random banget, sih. "Sejak kapan lo kepo sama gue, bang?"

Bang Arga merapikan rambut Sheli yang kuncirannnya mulai berantakan. "Kayanya dia masuk kalangan cewek-cewek yang kalau belajar tuh nggak pernah setengah-setengah. Anaknya pasti lebih suka baca buku daripada nongkrong nggak jelas. Kok mau ya dia bergaul sama lo?"

"Kalau bukan abang, udah gue kirim lo ke rawa."

"Lo pasti pecilcilan banget."

"Semua cewek juga bakal lulus kali, bang sama ketampanan gue." Boy tertawa karena Bang Arga menatapnya jijik. "Iri lo, ya?"

"Gue yakin Arum nggak begitu. Dia pasti kasian aja liat lo ngemis minta diajarin. Ngaku lo?!"

Boy meremas rambutnya frustasi. Semua orang yang dia temui tidak percaya dia bisa menjadi teman Arum yang sangat terpelaajar itu. Mereka tidak tahu saja berapa banyak salad yang harus dia makan agar Arum mau bergaul dengannya.

"Emang gue hina banget jadi manusia sampai nggak pantes temenan sama Arum."

Bang Arga terbahak. "Kayanya anakya baik, ya."

"Lo naksir?" Mata Boy terbelalak. "Nggak usah aneh-aneh deh, Bang."

"Sembarangan. Gue nggak suka sama anak di bawah umur, asal lo tau." Bang Arga menaik-naikkan alis. "Lagian gue nggak mau saingan sama lo. Gue nggak usaha juga baalan tetap gue yang menang."

Boy mendengkus. "Jadi kenapa lo tiba-tiba bahas Arum? Setau gue, lo itu manusia paling padat jadwal. Tumben banget ada waktu nanyain Arum."

Bang Arga menaikkan alis. Dia menggendong Shelia mendekati Boy. "Lo suka, kan?"

"ENGGAK!"

Bang Arga keluar kamar lalu beberapa detik kemudian kepalanya mucul di balik pintu. "Yakin lo nggak suka?"

"Mi, liat nih Bang Arga. Gangguin Boy belajar," teriak Boy sambil menutup pintu.

Boy mengunci pintu lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Perlahan andangannya mulai kabur hingga kantuk ternyata mulai menghampirinya. Boy baru saja hendak memejamkan mata namun dia dikejutkan dengan deringan ponselnya.

"Halo," sapa Boy tanpa melihat nama yang terpampang di layar ponselnya.

"Boy, gue ada info penting."

Itu suara Aldo. Boy menghela nafas. Apakah Aldo tidak punya kegiatan lain sampai harus mengganggu Boy hingga tengah malam. "Besok aja. Gue ngantuk."

"Yakin nggak mau dengar sekarang?"

"Iya. Gue matiin ya?"

"Ini tentang Arum."

Mata Boy terbelalak. Kantuknya meluap begitu saja. Mendengar nama Arum membuatnya terbangun. "Kenapa?"

"Gue ceritanya besok aja, deh." Aldo terkekeh. "Lo kayanya ngantuk banget."

"Anjir. Arum kenapa?" Boy menaikkan volume suaranya. "Jangan main-main deh, Do."

"Gue baru aja dapat info dari Pak Yatno, ada perwakilan sekolah kita lagi iterview ke kampus luar negeri. Ke Zurich kalau gue nggak salah. Ternyata Arum yang bukan ke Aussie ketemu bokapnya. Lo kaget, kan?"

Boy menahan nafas. Arum pergi sejauh itu ke Swiss tapi tidak pernah cerita apapun kepadanya. Arum pernah bilang belum tahu melanjut kemana, dan hari ini Boy tahu jawabannya. Dia memilih sebuah kota yang jauh.

"Boy, assalamualaikum. Lo masih di sana, kan?"

Boy mengerjab. "Hah? Iya?"

"Gue mau ngabarin itu doang. Selamat LDR, ya. Selamat malam. Besok gue pinjem PR Kimia, ya bestie."

***

Boy baru saja memasuki gerbang sekolah. Kerumudan di depan mading mencuri perhatiannya. Di sana, Aldo paling heboh membaca pegumuman yang baru saja ditempel. Disampingnya, Andra tertawa bersama Fadly. Entah apa yang mereka bahas tapi mereka semua kelihatan sangat antusias. Jangan lupakan Carel di belakang Aldo. Dia hanya memandang mading dengan tatapan datar lalu menaikkan alis ketika Boy mendekat.

"Apaan, sih?" tanya Boy sembari menatap papan pengumuman.

Aldo menunjuk sebuah poster bergambar lampion. "Ini nih tema malam perpisahan buat anak kelas XII. Malam seribu lampion, malam seribu harapan."

"Ide siapa, sih?" Boy berbalik diikuti keempat temanya dari belakang. "Norak banget."

"Norak?" tanya Fadly. "Itu bakalan romantis banget. Gue bakal nerbangin lamipon sama cewek gue."

"Cewek lo yang mana?" taya Andra.

"Sekarang cewek gue sau doang. Tobat gue." Fadly kembali menatap mading. "Acaraya di Puncak. Seru banget pasti."

"Gue juga mau manfaatin momen itu buat minta maaf ke Mika." Carel menyebutkan nama gebetannya dari kelas XI. "Setidaknya gue mengakhiri masa SMA dengan baik. Gue sama Mika juga harus pisah baik-baik, kan?"

"Nah, Carel aja yang muka kaku gitu setuju sama acara malam lampion." Aldo merangkul Boy. "Lo nerbangin lampion bareng siapa?"

"Lo semua norak." Boy memasukkan kedua tanganya ke dalam saku celana.

"Bilang aja lo iri. Nggak tau mau nerbangin lampion sama siapa." Andra tertawa lalu tiba-tiba tawanya surut. "Eh, gue lupa ternyata nggak punya partner buat malam perpisahan."

Aldo menoleh. "Tenang. Ada gue di sisi lo, Ndra."

Setelah perdebatan malam lamipon, malam perpisahan mereka yang akan diadakan di Puncak, mereka berlima berjalan beriringan ke kelas.Langkah mereka berhenti di depan perpustakaan. Aldo melirik Boy yang kini tatapannya fokus ke depan. Seorang cewek berbadan mungil baru saja keluar. Rambut pendeknya dibiarkan terurai. Dia mendekap sebuah buku tebal. Gadis itu kelihatan kaget. Dia merapikan kacamatanya.

"Kita jadi kan singgah ke kantin, Do?" tanya Carel.

"Emang siapa mau ke kantin?" balas Aldo polos.

Fadly berdecak. Matanya membulat. Dia mengeram melihat Aldo merasa tidak bersalah sama sekali masih merangkul Boy. "Lemot banget temen gue," gumamnya.

"Katanya lo mau beliin gue jus mangga." Andra menarik Aldo.

Aldo menaikkan alis sebelah. "Tapi pagi bukanya lo udah minum jus mangga? Mules entar lo, Ndra."

Fadly dan Andra menghela nafas. Dia membekap mulut Aldo lalu menariknya menjauh. Carel geleng-geleng kepala namun tetap mengikuti mereka bertiga meninggalkan Boy dan Arum.

Boy tersenyum. Setelah dua minggu lebih tanpa kehadiran Arum, dia merasa lega melihat Arum kembali. Meskipun tadi malam Aldo mengabari kalau Arum pergi jauh ke Zurich, Boy tetap merasa senang bisa kembali bertemu Arum. Walaupun mugkin setelah lulus SMA dia akn pergi jauh kalau hasil wawancara dan ujiannya lulus.

"Lo kenapa pergi sejauh itu tapi nggak cerita ke gue?"

Arum menatap Boy lalu mengalihkan pandangannya. "Kenapa gue harus cerita?"

"Lo serius bakal pergi ke Zurich?"

"Emang lo harus tau?"

Boy mengangguk. Tatapan Arum begitu sinis membuatnya merasa ada yang salah dari dirinya. Respon yang tidak seuai dengan ekspektasi Boy untuk pertemuan mereka. "Ternyata setelah beberapa bulan yang kita lalui, lo tetap aja nggak mengaggap gue teman, Rum?"

"Lo minta gue buat ngajarin lo bukan berarti gue harus cerita semua ke lo, kan?" Arum menarik nafas. "Lo udah lulus try out kemarin, kan? Berarti tugas gue udah selesai."

Boy berdecak. Wajah Arum kembali datar. Tidak ada lagi senyum yang pernah dia lihat sebelum Arum pergi. Sebelumnya mereka baik-baik saja. Tapi kenapa gadis itu seolah tidak ingin berdekatan dengannya.

"Maksud lo?"

"Lo udah bisa belajar tanpa gue." Arum menarik nafas pelan. "Berati urusan kita udah selesai. Mantan lo juga udah balik, kan? Jadi ngggak ada lagi yang perlu gue bantu."

Boy menggeleng. "Lo tau nggak sih, Rum. Setiap hari gue nungguin lo balik. Bahkan gue nggak tau lo kemana. gue selalu berharap lo beik-baik aja. Tapi kenapa sekarang lo jadi gini lagi. Emang ngggak bisa ya kita temenan? Nggak harus berantem gini."

Arum menggelengkan kepala. "Gu enggak bisa."

Boy mendengkus. Dia merogoh tas. Menemukan cokelat yang seharusnya diberikan kepada Arum beberapa minggu lalu. Dia mengulurkan cokelat itu.

"Dari kebon botani, gue ngejar lo ke rumah buat ngasih ini. Gue terlambat. Lo udah pergi."

Arum tercengang. Tidak ada respon apapun selain tatapan tanya.

Boy menarik tangan Arum lalu meletakkan cokelat itu di atasnya. "Punya lo."

Boy membiarkan Arum terdiam. Dia berbalik lalu menjauh dengan perasaan yang tidak dapat dia deskripsikan. Antara lega ketika Arum kembali. Dan kecewa karena Arum ternyata memilih menjadi Arum yang dulu. Dan kenyataan bahwa mungkin Arum dan dia akan dipisahkan beberapa benua membuat Boy takut kehilangan temannya itu. Ya, teman yang sudah membantunya belajar.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro