Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 25~Happy?

Happy reading.

"Mami gue ngajak lo makan di rumah."

"Aduh." Ponsel Arum terjatuh mengenai tulang hidungnya. "Lo bilang apa tadi?"

Loli cekikikan di samping Arum sambil memamerkan senyum jahil. "Biasa aja dong muka, lo," bisiknya yang dibalas dengan cubitan Arum di pinggangnya.

"Mami ngajak makan di rumah."

"Kenapa?"

"Katanya mau ngucapin makasih karena udah bantuin gue."

Arum bangkit dari tempat tidur. Duduk depan meja riasnya. Menatap penampilan barunya dengan rambut sebahu. Hal ternekad yang pernah dia lakukan setelah tujuh belas tahun hidup di dunia. Memotong sendiri rambutnya. Untung saja kemarin malam setelah Boy menghantarnya kembali ke rumah, Loli datang dan menenaninya ke salon. Merapikan potongan rambutnya.

"Gue malu."

"Kenapa malu, sih? Mami gue kan mau ngucapin makasih doang. Bukan mau ngelamar elo, Rum." Lalu setelah menagtakan itu Arum mendengar suara wanita menggerutu di dekat Boy. "Ngupas kentangnya yang bener dong, Boy. Itu bentuknya nggak sama."

Arum tertawa. "Lo lagi apa sih?"

"Lah ketawa. Ini gue lagi bantuin Mami ngupas kentang. Mau buat perkedel, nih. Jadi lo harus datang. Mami udah masak kaya mau hajatan aja, nih. Banyak banget."

Bukannya tidak mau. Arum hanya bingung bagaimana dia akan berada di tengah keluarga Boy. Arum yang introvert sedikit kesulitan berada di tengah orang asing. Harus memulai obrolan seperti apa atau topik apa yang akan mereka bahas.

"Gue nggak pede kalau rame."

"Mami sama Papi doang, kok. Nggak ngundang RT sama tetangga. Paling pengulu doang." Boy terbahak. "Aduh, Mi. Sakit. Boy kan cuma bercanda."

Arum tidak tahu apa yang terjadi di seberang sana. Tapi dia terhibur mendengar interaksi Boy dengan Maminya. "Gue datengnya jam berapa?"

"Gue jemput aja."

Arum menggeleng meskipun Boy tidak ada di hadapannya. "Nggak usah."

"Gue jemput. Jangan nolak. Lo nggak tau ini Mami gue udah siap-siap lempar wajan kalau gue biarin cewek dateng sendiri."

"Oke."

"Cieee." Loli terkikik. Dia mendekap bantal sambil menaik-naikkan alis. "Ada yang diajak main ke rumah. Ketemu Papi sama Mami."

Arum terlihat muak dengan muka sok imut Loli yang ditujukan untuk menggodanya. Sejak tadi malam dia senang sekali meledek Arum karena mengetahui Arum lebih dulu menceritakan masalahnya pada Boy. Biasanya apapun yang Arum alami, orang pertama yang tahu adalah Loli. Tapi Arum juga bingung dengan dirinya sendiri. Saat dirinya hampir hancur karena kebenaran yang terungkap dari Papa dan Mama, orang pertama yang terlintas di benaknya adalah Boy.

"Apaan sih?" Arum menutupi perasaan gugupnya dengan mengunyah sepotong cake coklat.

"Nggak usah ngelak lo." Loli menunjuk wajah Arum. "Sebenarnya gue masih marah karena lo lebih ingat Boy daripada gue."

"Gue takut ganggu lo." Arum berdalih. "Kan lo lagi sibuk bimbel."

Loli berdecak. "Alesan lo. Gue nggak pernah keberatan dengerin cerita lo. Lo inget waktu SMP lo gagal sekali jadi juara kelas. Lo nagis di kamar gue sampai jam tiga pagi. Padahal lo tau gue lagi sakit gigi."

Arum tersenyum. Dia menghampiri Loli ke tempat tidur lalu memeluk sahabatnya itu. "Makasih selalu ada buat gue. Nggak usah ngambek gitu dong."

Loli bersedekap, pura-pura cemberut. "Males ah. Setelah kenal Boy, lo lupain gue. Padahal gue berharap selalu ada buat dengerin semua masalah lo. Ngedukung apapun yang terbaik buat lo."

Arum mengeratkan pelukannya. "Gue tahu. Gue sayang sama lo."

"Tapi berhubung lo bahagia kalau deket Boy, gue nggak jadi ngambek." Loli tertawa. "Gue seneng kok lo membuka diri temenan sama dia. Dia juga baik kok anaknya."

Arum melepas pelukannya lalu bibirnya cemberut. "Gue sama dia biasa aja ya."

"Iya deh iya." Loli menatap Arum dari atas ke bawah. "Sini deh gue dandanin."

"Nggak mau."

"Kalau lo nggak mau, gue ngambek nih," ancam Loli.

"Jangan dong."

Loli membongkar seisi lemari Arum. Memilah baju lalu mencocokkannya ke hadapan Arum. Pilihannya jatuh pada kaos hitam slim fit dan celana denim biru dengan motif sobek di area lututnya. Arum mendelik saat Loli memaksanya memakai setelan tersebut. Namun bukan Loli namanya kalau harus mengalah pada Arum. Arum menghela nafas sambil mengganti pakaiannya di balik pintu lemari.

"Nah kan cakep." Loli memutar tubuh Arum lalu memakaikan belt coklat.

"Gue kelihatan sopan nggak sih?"

Loli menyerahkan sebuah kemeja flanel kotak-kotak dengan perpaduan wana hitam dan hijau. "Nah, di luarnya pakai ini."

Arum mengenakan kemeja oversize itu lalu melihat bayangan dirinya di cermin. "Gue nggak aneh kan?"

Loli menggelengkan kepala. Dia mendudukkan Arum di kursi. Merapikan rabut Arum dengan pelurus rambut. Ujung rambutnya dimasukkan ke dalam. Arum menyerngit saat kulitnya tidak sengaja bersentuhan dengan ujung catokan. Loli memakaikan make up tipis di wajah Arum.

"Kalau gini mah, Boy bakalan lupa sama Vale."

Arum cemberut. "Nggak usah aneh-aneh deh. Lo nggak tau cantiknya Vale kebangetan."

Loli mengoles sedikit liptint ke bibir Arum. "Yang cantiknya kebangetan bakalan kalah sama yang selalu ada."

Arum tertawa. "Nggak jelas lo."

"Udah, lo tinggal pakai sneakers putih."

Arum mengangguk.

"Itu Boy bukan?" tanya Arum.

Sebuah suara klakson motor membuat Loli berjalan ke arah jendela. "Paket pak?" Loli tertawa. "Bentar ini Arum udah kelar kok. Jangan pulang malem-malem. Jagain temen gue. Iya. Lo masuk aja. Ada Tante Sarah, kok."

Loli menutup jendela. Dia mengamati penampilan Arum sekali lagi. "Aduh, itu kacamata nggak usah dipakai deh."

"Gue nggak terbiasa."

Loli mengibaskan tangan. Dia mencari lensa kontak yang biasa dipakai Arum. "Pakai ini aja."

Arum memakai lensa kontak miliknya. Sebenarnya dia lebih nyaman dengan kacamata. Tapi ada dorongan dalam dirinya untuk mengikuti saran dari Loli. Dia ingin Boy melihat dirinya lebih baik dari yang biasa dia lihat. Arum ingin kelihatan sedikit berbeda meskipun dia tidak akan pernah sebnading dengan Vale. Dia tetap kalah jauh.

"Gue pergi, ya." Arum meraih slingbag dan ponselnya. Dia memeluk Loli. "Makasih."

Loli memutar bola mata. "Hati-hati lo. Jangan pulang malam."

Arum berhenti di ruang tamu. Mama sedang duduk berhadapan dengan Boy. Arum mengalihkan pandangannya saat Mama menatapnya. Mereka berdua masih terlibat perang dingin. Sebenarnya Arum yang menabuh genderang perang terlebih dahulu. Dia belum mau berbicara pada Mama setelah pertemuan kemarin. Keadaan di ruangan itu terasa canggung sampai Boy memecah keheningan.

"Tan, saya izin ajak Arum ke rumah." Boy melirik Arum. "Mami mau ngucapin makasih ke Arum."

Mama tersenyum ramah. "Tapi kalian hati-hati ya. Jangan kelamaan pulangnya."

Boy mengangguk. Dia berdiri lalu mencium tangan Mama. "Pamit ya, Tan."

"Jagain Arum, ya."

"Iya, Tan." Boy melotot pada Arum memberi kode agar pamit pada Mama. Arum menggeleng. "Rum?"

Arum menghela nafas kasar. Dia mendekat. "Arum pamit, Ma."

"Hat-hati, Rum."

Boy duduk di atas jok motor. Memperhatikan penampilan Arum. Dia tersenyum lalu tertawa.

Dilihat seperti itu membuat Arum salah tingkah. Dia meremas tali slingbag-nya sambil mengernyit. "Gue kelihatan aneh, ya?" Arum menggaruk keningnya. "Bentar, gue ganti baju lagi, deh."

"Nggak usah. Lo kelihatan manis kalau gitu."

***

Perlajanan mereka menuju rumah Boy tidak terlalu lama karena jalanan tidak begitu macet. Arum tercengang saat memperhatikan halaman rumah Boy. Ada beberapa mobil terparkir di sana. Perasaan Arum tidak enak. Dia menatap Boy tajam, namun cowok itu hanya mengangkat bahu.

"Kayanya rumah lo rame, deh."

"Tadi siang sih, cuma ada Papi sama Mami." Boy menarik lengan Arum memasuki teras. "Tapi kayanya Bang Arga udah nyampe deh."

"Bang Arga?" tanya Arum. "Gue takut kalau rame. Gue balik aja kali, ya?"

Boy menggeleng. Dia membuka gagang pintu. Membawa Arum memasuki ruang tamu. "Selamat datang di rumah gue."

Arum suka desain rumah keluarga Boy. Desain modern dipadu dengan sentuhan tradisiaonal. Ada banyak lukisan tokoh-tokoh pewayangan di dinding. Dan beberapa ornamen budaya di meja dan lemari hias. Orangtuanya mungkin suka mengoleksi barang-barang antik. Memasuki ruang keluarga, Arum melihat foto masa kecil Boy dan abang-abangnya. Arum terkikik melihat Boy kecil memegang es krim sambil tertawa. Dia memang sudah hobi nyengir dari dulu.

"Eh, Mas Boy udah dateng." Kedatangan mereka disambut asisten rumah tangga Boy.

Arum kaget melihat dirinya menjadi pusat perhatian anggota keluarga Boy. Dia melotot meminta penjelasan. Sayangnya Boy hanya tertawa. Di ruangan itu tidak hanya ada Papi dan Maminya, tapi semua abang dan kakak iparya berkumpul di sana.

"Mi, kenalin ini..."

Seorang perempuan paruh baya berdiri. Matanya berbinar manyambut kedatangan Arum. Dia memeluk Arum. "Sini sayang. Anggap rumah sendiri, ya."

"Makasih, Tan."

Mami Boy menggeleng. "Panggil Mami. Semua anak Mami panggil begitu."

Arum mengangguk canggung. "Iya, Mi. Kenalin aku.."

"Kamu Valery, kan? Pacarnya Boy?"

Nafas Arum tercekat.

"Kak Alum!" Shelia yang baru saja turun dari tangga memeluk Arum.

"Arum?" tanya Mami.

"Mi, dengerin penjelasan Boy dulu makanya." Boy menatap Arum. "Ini Arum teman Boy. Bukan Valery, Mi."

Mami mencubit perut Boy. "Kamu sih ngasih info nggak jelas."

Boy meringis. Dia berjalan lebih dulu, menggendong Shelia. Duduk di sebelah Papi.

Mami menggamit lengan Arum. "Baru pertama lho, Boy bawa temen cewek ke rumah. Biasanya yang suka dateng Andra, Fadly, Aldo, sama Carel doang."

Gue yang pertama? Boleh terbang nggak, sih?

"Ini Papinya Boy."

"Salam kenal, Om." Sapa Arum kaku.

Papi Boy mengangguk. Raut wajahnya tegas. Berbeda dengan Boy yang lebih ceria seperti Maminya.

"Arum, ini Bang Leo dan istrinya—Kak Mauren. Papa sama Mamanya Sheli." Pasangan suami istri itu tersenyum ramah pada Arum. "Yang ini Bang Arsen dan Kak Windi."

Arum menyapa satu per satu anggota Boy. Keluarga besar itu menyambut Arum dengan tangan terbuka. Masih ada satu lagi. Seorang cowok yang perawakannya paling mirip dengan Boy baru saja bergabung. Dia duduk di sofa tunggal di sebelah Boy sambil mengambil alih Shelia.

"Kalau yang ganyanya paling sok oke ini namanya Bang Arga. Baru pulang dari London. Makanya songong gitu" jelas Boy.

"Hai." Bang Arga mengulurkan tangan. "Arga."

Belum sempat Arum menjabat tangan Bang Arga, Boy lebih dulu menepis tangan abangnya itu. "Nggak usah salam-salama. Bukan muhrim."

"Om Boyben, nggak sopan." Sheli melotot pada Boy.

Arum tertawa. Dia senang berada di tengah keluarga Boy yang ramai. Terlahir sebagai anak tunggal dan keadaan keluarga yang kurang harmonis, membuat Arum tidak pernah merasakan rumahnya seramai rumah Boy.

"Mami mau ambil puding mangga." Mami berdiri.

"Biar Arum bantu, Mi."

Kak Windi tersenyum. Menahan Arum. "Kamu di sini dulu. Biar kakak aja, Rum."

"Iya, Rum. Nanti aja kita siapin makan malam. Duduk dulu aja." Kak Mauren pindah ke sebelah Arum. Bang Leo dan Bang Arsen pindah ke taman belakang.

"Terimakasih ya, nak." Papi melepas kacamatanya. "Sudah membantu Boy."

"Sama-sama, Om."

"Bantu apa sih, Pi?" tanya Bang Arga.

"Nilai adik kamu sudah ada perkembangan. Dibantu sama Arum."

Bang Arga mengernyit. "Kamu kok mau sih bergaul sama Boy?" Dia tertawa. "Muka sama otak pas-pasan tapi belagu."

"Bang lo nggak sadar muka gue paling mirip sama lo?"

Arga dan Boy terlibat adu mulut lalu berakhir dengan ceramah Papi. Mami dan Kak Windi datang dengan puding mangga dan aneka ragam kue basah. Arum takjub dengan hidangan camilan yang dipersiapkan Mami. Mereka berbincang panjang lebar. Tertawa dan bercengkrama bersama. Bang Leo dan Bang Arsen kembali dari taman belakang karena Mami meminta mereka semua pindah ke ruang makan.

Boy tidak bohong dengan masakan yang disiapkan Mami. Meja makan dipenuhi makanan nusantara. Ada dendeng balado. Ayam suwir kemangi. Ada soto santan juga. Dan Arum tersenyum melihat satu piring berisi perkedel. Dia ingat Boy diomeli Mami karen tidak bisa memotong kentang dengan benar.

"Rum, kamu suka masak?" tanya Mami di sela-sela acara makan malam itu.

"Arum kurang pandai, Mi."

"Boy suka makan nasi goreng. Nanti Mami ajarin kamu, ya."

Boy tersedesak. "Mi, nggak usah aneh-aneh, deh. Arum cukup belajar Fisika aja. Trauma aku, Mi. Sekalinya dia ke dapur. Yang dibuat malah salad rumput."

Seumua orang di meja makan tertawa. Arum menikmati momen manis itu. Dia mengamati satu per satu wajah-wajah di ruangan itu. Dia diperlakukan layaknya seperti keluarga. Bahkan kedua kakak ipar Boy selalu mengajaknya bicara kalau dia mulai diam.

"Makasih, Mi." Arum menyelesaikan makan lalu menatap Mami sambil tersenyum. "Sudah menyambut Arum dengan baik." Arum nyaris menangis.

Mami mengusap punggung tangan Arum. "Kamu harus sering main ke sini."

Setelah makan malam selesai, para laki-laki berpindah ke taman belakang kecuali Boy. Shelia sudah mengantuk sehingga Kak Mauren harus membawanya ke lantai dua. Sheli ingin tidur di kamar Boy. Mami ikut menemani Kak Mauren sambil membahas rencana berlibur ke Vila mereka di Bogor.

"Kak, biar aku aja potong buahnya." Arum mengupas apel.

Di sampingnya, Kak Windi menata buah yang sudah dipotong di piring. "Thanks, Rum."

Boy duduk di belakang kedua perempuan itu. "Senengnya kalau mantu Mami pada akur gini."

Arum menoleh ke belakang lalu berdecak.

Kak Windi terkekeh. "Kalian pacaran?" tanyanya.

"ENGGAK.," jawab Arum dan Boy serempak.

"Kompak banget." Kak Windi menatap Arum dan Boy bergantian. Arum langsung menunduk. "Pacaran juga boleh, asal sekolahnya nggak terganggu. Harus saling mendukung."

"Kak Windi, aku sama Arum itu sebatas partner doang. Nggak pacaran," gumam Boy.

"Kakak mau nanya boleh?" Kak Windi memiringkan wajah.

Arum mendongak. "Kenapa, kak?"

"Jangan nanya aneh-aneh, kak." Boy memperingatkan.

Kak Windi mengabaikan Boy mengoceh di belakang mereka. "Are you happy?"

"Aku senang kok main ke sini, kak."

Kak Windi menggeleng. Dia mengecilkan volume suaranya. "With your life? Maaf, Rum. Bukannya ikut campur atau bermaksud lancang tapi aku lihat, kamu kaya terbeban gitu. Nggak nyaman atau semacamnya.""Mulai deh. Maklum, Rum. Kadang jiwa psikolog Kak Windi nggak bisa dikontrol."Kak Windi merangkul Arum. "Maaf ya, Rum kalau kakak nyakitin perasaan kamu. Emang kadang suka keceplosan gini."Arum mengangguk. "Nggak apa-apa, kak.""If you have a problem, don't keep it in your heart, okay?" Kak Windi menatap Arum tulus. "Cukup maafkan. Entah itu memaafkan seseorang atau masa lalu. Jangan nyiksa diri sendiri. Nggak bagus buat kesehatan mental. Setiap orang berhak bahagia. Dan itu harus. Pelan-pelan aja kalau terlalu pelik."Memaafkan?"Kak sesi konsulnya nggak usah panjang-panjang. Nanti gue nggak sanggup bayar." Boy mendekat, berdiri di antara Arum dan Kak Windi lalu mencomot sepotong apel. "Apaan sih?"Boy tertawa. "Ngutang sama Bang Leo aja belum terbayar.""Emang kamu ngutang apa?"Boy mendekat. "Tapi jangan bilang Papi.""Iya.""Ngutang bayarin bimbel," bisik Boy.

"Papi!"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro