Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 23~PRJ

Happy Reading

Arum memperhatikan Boy menyusuri deretan nama-nama peserta ujian simulasi masuk perguruan tinggi yang tertempel di mading. Entah nama siapa yang dia cari, karena sejak sampai di situ, Arum sudah menemukan nama Boy Anggara di urutan ke seratus dari tiga ratus peserta. Dia belum lulus pilihan yang diambilnya. Fakultas Kedokteran UI. Padahal beberapa hari saat pemilihan jurusan, Arum sudah memperingatkan untuk mengambil jurusan yang sesuai kemampuannya.

"Nama lo di sini, Boyben." Arum menatap Boy sinis tapi disambut dengan cengiran lebar.

"Gue nyari nama lo, Rum."

Arum berdecak. Dia berjinjit lalu jarinya menunjuk nama yang tertelak di kertas paling tinggi.

Boy tertawa lalu di luar dugaan dia merangkul Arum. "Harusnya tadi gue langsung lihat ke urutaan pertama. Selamat ya, bestie."

Arum mengangkat wajah lalu perlahan tatapannya turun ke bahunya yang masih dirangkul Boy. "Nggak usah pegang-pegang, dong."

Boy mengeratkan rangkulannya."Gue kan bangga punya temen sepintar lo, Rum."

Boy boleh bangga dan menunjukkan perasaan senangnya. Tapi dia tidak sadar perlakuan kecil itu membuat telapak tangan Arum berkeringat. Perutnya terasa mulas. Dan Arum seperti teringat sesuatu. Dia menjauh. Melepas paksa tangan Boy darinya.

"Lo kenapa?"

Arum menggeleng. Dia gelagapan.

Boy mangut-mangut. "Gue paham, kok. Maaf ya. Lo pasti nggak nyaman." Boy kembali menatap pengumuman. "Lo ngambil jurusan teknik sipil ITB? Kok nggak pernah cerita?"

Arum berjalan menuju lobi dan Boy mengikutinya. "Mungkin."

Boy menoleh sekilas lalu pandangannya mencari-cari bangku kosong yang bisa mereka tempati. Dia menarik tas Arum ke sebuah sofa berwarna hijau di sudut lobi. "Kok mungkin sih?"

Arum duduk lalu saat hendak meletakkan tas untuk menutupi roknya, Boy lebih dulu meletakkan jaketnya. Arum menaikkan alis namun Boy hanya tersenyum.

"Karena belum pasti. Makanya gue bilang mungkin."

Boy mengernyit. "Gue kira persiapan lo udah mateng banget. Tapi lo masih dilema mau lanjut kemana."

"Yang pasti, gue bakalan ngambil jurusan teknik sipil tapi untuk universitasnya gue belum tau."

"Makanya lo belajar AutoCat?" tanya Boy. "Kenapa lo ngambil jurusan itu? Biasanya kan teknik kebanyakan cowok."

Arum menatap ke luar dinding kaca. Sore ini begitu cerah. Cocok sekali untuk pulang ke rumah cepat lalu rebahan sampai malam di kamar. Setiap kali selesai try out mereka diberi kesempatan libur bimbingan belajar satu hari.

"Pulang, yuk." Arum berdiri.

Boy menghela nafas kasar. Dia menarik lengan Arum agar kembali duduk. "Jawab dulu, dong."

"Karena gue suka desain. Suka perhitungannya dan gue mau kerja di perusahan konstruksi. Paham?"

"Kenapa nggak ngambil kedokteran. Biar kita satu kampus, Rum."

Arum menatap Boy malas. "Gue nggak mau ngelakuin sesuatu buat nyenengin orang tapi gue nggak suka."

"Maksud lo?" tanya Boy.

"Kaya lo misalnya. Lo ngambil jurusan yang lo sebenarnya nggak tau lo suka tau enggak. Tapi lo lakuin demi mantan lo." Arum melirik menatap mata sayu Boy. Arum suka efek meneduhkan dari tatapan yang membuatnya merasa nyaman.

Boy melengos. "Nyindir gue lo?"

"Gue nggak nyindir. Tapi kenyataannya kan gitu. Lo masuk IPA karena abang lo ngambil jurusan itu padahal setelah masuk lo males-malesan. Terus Valery minta lo masuk FK UI, lo usaha banget. Tapi lo paham nggak konsekuensinya ngambil keputusan yang lo nggak tau bakalan nyaman atau nggak."

Boy menggaruk tengkuknya.

"Apa hal yang lo suka?"

Boy berpikir sejenak. "Desain. Lo udah lihat kan?"

"Selain itu?"

Boy mengangkat bahu. "Yang gue sadari sih itu doang."

"Lo suka dan lo ada usaha buat pelajarin sendiri. Lo bahagia belajar desain? Senang kalau hasil desain lo dipakai buat rumah masa kecil Papi lo?"

Boy menagngguk. "Banget. Apalagi kalau gue bisa belajar gembar desain baru."

Arum tersenyum lalu menepuk pundak Boy. "Harusnya kalau lo sadar, kedepannya lo bakalan tau mau pilih apa. Sekalai-sekali tanya sama diri lo sendiri. Nyenengin orang belum tentu lo bahagia ngejalaninya. Apalagi ini berurusan sama masa depan kita."

"Lo sendiri belum yakin, kan?"

Arum mengangguk mantap. "Gue yakin dong mau jadi anak teknik. Tapi untuk kampusnya gue masih harus pertimbangin."

"Jangan jauh-jauh dong. Gue nggak mau LDR."

Arum melongo. "LDR?"

"Maksud gue kan nggak enak temenan jarak jauh. Ntar gue nggak bisa jagain lo. Gimana kalau lo pengen main hujan. Gue nggak yakin ada orang mau boncengin lo kalau hujan badai." Boy tertawa. "Ntar gue nggak bisa manfaatin lo. Nggak bisa minta tolong ngerjain tugas gue."

Arum menoyor kepala Boy. "Lebay lo, Boyben."

"Gue nggak lulus try out." Boy terlihat kecewa. "Nggak jadi ke PRJ dong bareng gue?"

Arum melirik jam tangan lalu dia merah ponsel dari tas. Dia mengetik pesan untuk Mama. Setelah kembali menyimpan ponselnya dia menatap Boy.

"Gue belum pernah ke PRT betewe. Mau nemenin gue?" Arum berdecak karena Boy langsung tersenyum bangga. "Nggak usah geer ya. Gue cuma butuh tumpangan sekalian bodyguard."

Boy berdiri. "Gue anterin deh kemana lo mau." Boy melirik seragam Arum. "Nggak mungkin pakai seragam." Boy menjentikkan jari lalu mengerluarkan plastik dari dalam tasnya. "Ini tititpan Fadly punya ceweknya. Tapi nggak jadi dipakai kok."

Arum mengerutkan kening tapi tetap menerima pemberian Boy. "Nggak apa-apa kalau gue pakai?"

"Tenang aja. Urusan Fadly mah gampang."

"Oke." Arum menyetujui. "Terus lo?"

"Gue ada juga." Boy mengeluarkan plastik yang sama dari dalam tasnya.

Arum berjalan menuju toilet. Dia mengeluarkan sebuah baju kaos berwarna merah marun. Ukurannya agak sedikit kebesaran tapi lebih baik daripada pakai kemeja sekolah ke PRJ. Kaos marun bergambar Minnie Mouse itu mungkin lebih baik. Arum terkekeh melihat bayangan dirinya di cermin. Setelah selesai mencepol rambutnya, Arum keluar dan matanya melotot menemukan Boy melambaikan tangan di depannya.

"Mickey Mouse?" tanya Arum.

Boy tertawa. "Ini baju couple Fadly tapi kata ceweknya norak. Jadi dititipin ke gue."

Arum mau tidak mau ikut tertawa. "Terus sekarang kita yang norak."

***

Mereka sampai di PRJ saat hari mulai gelap. Perjalan memakan waktu yang cukup lama karena sempat terjebak macet menuju Kemayoran. Lampu warna-warni mulai menyala malam terihat lebih indah.

"Rame banget."

"Ini mah belum rame dibanding kalau lagi weekend."

Arum dan Boy berjalan bersisian menyusuri deretan pedagang makanan. Arum kelihatan menikmati suasana ramai itu. Dia sudah kelihatan lebih tenang berada di tengah keramaian. Boy memiringkan kepalanya melirik Arum. Gadis itu tersenyum. Dia mempercepat langkahnya namun Boy menarik tangannya.

"Jangan jauh-jauh. Ntar lo hilang gue susah nyari. Mana badan lo kecil gitu."

Arum melengos tapi membiarkan tangan kanannya digenggam Boy. "Ke sama yuk."

Boy mengikuti arah yang dimasksud Arum. "Mau gulali?"

Arum mengangguk persis seperti Shelia kalau diajak ke minimarket. "Mau."

Boy terkekeh. "Lo beneran belum pernah ke PRJ?"

Senyum Arum pudar. Boy dapat merasakan genggaman tangan Arum melemah. Apakah dia baru saja menyinggung perasaannya. Boy menarik Arum menuju mas-mas pedagang gulali. "Mas dua, ya."

"Lo suka gulali juga?" tanya Arum.

Boy menggeleng. "Makasih mas." Dia menerima dua gulali lalu menyerahkan keduanya untuk Arum. "Buat lo."

Si mas pedagang gulali berdeham. "Mas, ceweknya udah manis gitu masih aja dikasih gulali dua."

Boy tertawa lebar. "Mas nggak pernah aja dipelototin sama dia."

Arum memayunkan bibirnya. Dia memutar badan. Boy langsung mengekor di belakanganya tanpa menghiraukan gurauan mas pedagang gulali.

Arum menghentikan langkahnya tiba-tiba sehingga Boy menabrak kepalanya. "Kenapa?" tanya Boy.

Arum mengangkat kedua gulalinya. "Makasih."

"Mau gue fotoin?"

Arum menaikkan alis. "Nggak usah."

Boy menggeleng. Dia mengajak Arum ke wahana permainan yang dipenihuni remana dan anak-anak. Mereka berhenti di depan sebuah bianglala warna-warni. Boy menjauh membiarkan Arum berdiri kebingungan membelakangi bianglala.

"Boy?"

Boy tertawa melihat wajah gugup Arum. Dia mengeluarkan ponsel lalu mengarahkan kameranya membidik wajah Arum. Sebuah foto persis saat Arum melotot. Boy kembali mendekati Arum lalu menarik kedua pipinya.

"Aduh." Arum meringis.

"Senyum dikit dong." Boy menjauh lagi. "Satu, dua, tiga." Dan dia merasa aliran darahnya lebih cepat saat Arum tersenyum lebar. Dia mengacungkan kedua gulalinya. Wajahnya di bawah cahaya kelihatan jelas. "Manis," gumam Boy.

Boy menghampiri Arum menunjukkan hasil jepretannya.

"Mau foto bareng?" pertanyaan yang tidak pernah dibayangkan Boy keluar dari mulut Arum.

"Sori?"

Arum menunduk. "Nggak mau ya?"

"Eh mau mau." Boy mencari orang yang bisa dimintai bantuan. Dia menyerahkan ponselnya kepada seorang perempuan yang kebetulan lewat. Usianya lebih tua dari mereka. Penampilannya cantik dan anggun. "Kak, boleh tolong fotoin kita."

Perempuan itu mengangguk. Boy mendekati Arum. Merangkul tubuh mungil gadis itu. Dia mendongak lalu tanpa diduga tangan kecilnya mendekap pinggang Boy.

"Dilihat dulu." Perempuan itu mengembalikan ponsel Boy.

"Makasih, kak."

"Audi, kita pulang sayang."

"Boleh, Pa. Besok kita kan balik ke Aussie."

Kedatangan pria dewasa itu membuat Arum dan Boy ikut menoleh. Boy mengangguk sopan namun Arum mematung. Dia menegakkan badannya. Kedua gulalinya terjatuh ke tanah. Wajahnya pucat padahal sebelumnya dia kelihatan baik-baik saja. Dia tampak terkejut. Boy mencoba menggenggam tangannya meskipun bingung dengan peruahan raut wajahnya.

"Kita duluan, ya," pamit gadis bernama Audi itu. Dia menggandeng ayahnya.

"Papa?" gumam Arum.

Pria itu menghentikan langkahnya. Dia berbalik meninggalkan kebigungan di wajah Audi.

"Nayara?" tanyanya di depan Arum. Wajahnya kaku sama seperti Arum.

Arum mengigit bibirnya kuat-kuat. Menahan diri agar tidak menagis. Dia meremas tangan Boy. "I still hate you to this day, Pa."

Arum memutar badannya, berlari menjauh. Laki-laki itu ingin mengejar tapi Audi menahannya. "Stop it, Pa."

Arum berlari di tempat motor Boy terparkir. Nafasnya terengah. Matanya merah. "Tolong bawa gue pergi dari sini." Dia memohon di sela-sela tangisnya.

Boy mengangguk. Dia membawa motornya menjauh dari ramainya Kemayoran. Tidak ada tujuan jelas yang ingin dia tuju. Tapi dia ingat saat Vale sedih atau kecewa, dia biasanya membawanya keliling ibukota. Arum tidak protes saat Boy tak kunjung berhenti. Dia dapat merasakan Arum bersandar di punggungnya. Baju kaosnya basah. Gadis itu masih menagis.

Walapun tidak terlalu suka hujan tapi untuk kali ini dia berharap hujan turun agar Arum bisa kembali bahagia. Tapi harapannya tidak terwujud malam ini. Gadis itu semakin larut dalam sedih. Boy tidak tahu apa yang terjadi tapi dia sudah tidak tahan Arum menangis d balik punggunngnya. Dia berhenti di sebuat taman di dekat kompleks rumah Arum. Dia membawanya duduk di sebuah bangu di bawah pohon ketapang.

"Gue nggak bakal larang lo nangis. Nggak apa-apa. Gue tunggguin."

Arum mengangkat wajah. Matanya sembab. Dia menghembuskan nafas kasar. Air matanya jatuh lagi. Dia mengis sesunggukan.

Boy menatap Arum dalam diam. Membiarkan gadis itu meluapkan kesedihannya. Lalu Boy menarik Arum ke dalam pelukannya. "Biar nggak dilihat orang."

"Maaf," gumam Arum.

"Kenapa?" tanya Boy.

"Karena gue udah ngerepotin lo malam ini."

Boy mengusap kepala Arum. "Gue malah ngerepotin lo tiap hari tapi nggak minta maaf." Boy terkekeh. "Nggak tau diri banget gue."

Arum menggangguk dalam pelukan Boy.

"Bener kata Mami."

"Kenapa?" Arum mendongak.

"Pelukan gue buat nyaman."

Arum melotot. Dia memukul bahu Boy.

"Udah mendingan?"

Arum menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong. "Nggak tau."

Boy mengeluarkan jaket dari jok motor. "Dingin banget. Gue anterin pulang, ya"

Arum mengangguk tapi tidak mengatakan apa-apa. Tubuhnya lemah. Sorot matanya mengatakan kalau dia tidak baik-baik saja. Boy merasakan tatapan kosong yang pernah dia lihat di awal pertemuan mereka kembali lagi.

"Apapun yang terjadi, gue harap lo nggak kembali jadi Arum yang dulu."

Arum menoleh lalu matanya kembali berair.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro