Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 22~Andra

Happy Readig.

"Pagi, Ma."

"Pagi, sayang." Mama melirik Arum sekilas kemudian meraih selembar roti di sela-sela kesibukannya memperhatikan laporan keuangan florist di layar laptopnya.

Arum mengambil alih roti dari tangan Mama. "Biar aku aja, Ma."

Kening Mama berkerut namun dia membiarkan Arum mengoleskan selai cokltat di atas rotinya. "Thanks, sayang."

Arum mengangguk. Selesai dengan urusan roti, Arum berjalan menuju water dispenser, menyeduh kopi untuk Mama.

"Rum, less sugar, ya."

"Iya, ma." Arum juga menyiapkan segelas air putih. Setelah menikmati kopi, mama biasanya munum segelas air.

Hanya hal-hal kecil itu yang bisa Arum lakukan untuk Mama. Mereka kadang hanya bertemu saat sarapan karena setelah itu, mereka berdua sibuk dengan urusan masing-masing. Mama lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di florist. Dan Arum, setelah seharian di sekolah, dia akan berkutat dengan persiapan perguruan tinggi di tempat bimbel.

Mungkin itu adalah cara terbaik baginya dan Mama untuk mengalihkan perhatian dari sakitnya kepergian Papa. Mengobati kecewa dan mencoba mengabaikan sepi yang tidak jarang menyusup perasaan mereka.

"Ma, kopinya." Arum duduk di sebelah Mama.

Mama mendorong pekerjaannya menjauh. Dia mengesap kopi buatan Arum. Menutup mata sejenak, menikmati pahitnya kopi yang kemudian meninggalkan candu di lidahnya. Mama manarik nafas dalam kemudian membuka mata, menemukan Arum sedang mentapnya.

"Ma, are you okay?" Meskipun Mama tidak pernah menunjukkan perasaannya, Arum tahu dia memendam sakit sendiri. Kejaian bertahun-tahun lalu itu tetap membuatnya diam-diam, masih menangis sebelum tidur. Walapun dia mencoba tertawa di depan Arum, dia tetap saja wanita yang terluka karena sebagian cintanya pergi.

Mama tersenyum sambil mengusap puncak kepala Arum. "How about you?"

Arum melirik jam tangannya. Arum tahu arah pertanyaan Mama dan dia tidak ingin merusak suasana hatinya pagi ini. "Kayanya Arum harus berangkat, Ma."

Mama menggeleng. Dia menahan lengan Arum. "Mau sampai kapan kamu lari?"

Arum mengunci mulutnya. Dia diam. Jemarinya meremas ujung roknya. Pertanyaan Mama bergumul dalam kepalanya. Ya. Sampai kapan dia lari dari kenyataan hidupnya? Arum sadar sampai saat ini dia hanya membohongi dirinya sendiri. Dia seolah-olah baik-baik saja. Tapi kenyataannya berbanding terbalik dengan keadaan. Arum rapuh.

"Kamu nggak bisa terus-terusan benci Papa."

Papa. Kenapa, setiap kali ada yang mengingatkan tentag Papa, rasanya tidak bisa menahan air matanya. Dia selalu kesulitan bernafas. Ada setumpuk kemarahan di dalam dadanya. Arum benci. Arum tidak bisa terima hingga hari ini kenapa keadaan setega itu merebut Papa darinya dan Mama.

"Arum nggak tahu, Ma."

Mama mengusap lengan Arum. "Kamu harus bisa, Rum."

Arum mendongak. Dia menyeka air matanya lalu menbuang nafas kencang. "Apa Papa tahu gimana keadaan aku setelah dia pergi? Dia nggak tahu kan, Ma. Arum depresi, Ma. Berapa tahun yang Arum habisin buat selalu konsul?."

Mama baru saja ingin membuka mulut tapi Arum kembali bicara.

"Mama selalu nganterin Arum ke psikolog buat mastiin Arum baik-baik aja sampai saat SMP Arum merasa bisa kendaliin ketakutan Arum." Arum menatap Mama. "Dan Arum ketemu Dean. Dia baik. Arum percaya. Tapi dia ternyata dia jahat. Arum depresi lagi, Ma. Dia bangunin semua luka Arum. Dia jahat sama kaya Papa. Semuanya jahat."

"Rum, maafin mama. Harusnya kita nggak bahas ini sekarang."

"Arum pernah beberapa kali konsul diam-diam pakai uang tabungan Arum. Dua kali kalau nggak salah." Arum berusaha mengatur deru nafasnya. "Saat itu dia bilang kalau Arum trauma. Bukan hanya trauma karena Arum disakitin Dean. Arum trauma dikecewain, Ma."

Arum melepas kacamatanya. "Arum disuruh mafaain masa lalu dan semua orang yang nyakitin Arum. Tapi Arum nggak bisa, Ma. Meskipun itu Papa." Arum menyentuh dadanya. "Terlalu sakit, Ma."

"Pelan-pelan, Rum. Kamu pati bisa, sayang." Mama memeluk Arum.

Arum menggeleng di dalam dekapan Mama. "Aku nggak bisa terima semua ini, Ma. Arum nggak sanggup. Mama tahu kenapa sejak dulu Arum lebih suka belajar? Karena dengan begitu Arum lupa sama kenyataan. Arum nggak kuat lihat Mama lupa waktu buat istirahat demi Arum."

Mama mengeratkan pelukannya. "Mama lakuin itu karena itu udah jadi tugas Mama sebagai orangtua. Kamu nggak boleh merasa bersalah, Rum."

"Maaf, Ma. Untuk saat ini Arum belum bisa lakuin apa yang Mama minta." Arum meraih tasnya.

"Nggak masalah kalau belum bisa sekarang untuk membuka hati kamu, Rum. Tapi asal kamu tahu, Papa nggak sepenuhnya salah. Kasih kesempatan untuk dengar kebenarannya."

"Sayang?"

Arum menoleh.

"Kasih tau mama kalau kamu butuh konsultasi lagi." Mama menatap Arum lembut. "Mama nggak mau kamu pendam ketakutan kamu. Kalau ada apa-apa cerita ke mama."

"Arum udah ngerasa baik-baik aja kok, ma. Pelan-pelan Arum bakalan berusaha ngelawan ketakutan Arum."

Arum berdiri, memasukkan beberapa lembar roti ke dalam kotak bekalnya. Mungkin dia akan merasa lapar setelah sampai di sekolah. Mama menghela nafas berharap Arum kembali duduk namun Arum menganggap masalahnya seolah-olah sudah selesai. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.

"Arum berangkat."

"Kamu gimana sama Boy?"

Mama, pertanyaannya random banget nggak, sih?

Arum mengangkat bahu. Mama tahu mereka hanya sebatas rekan belajar yang didasari oleh perasaan balas budi. Arum sudah sering menjelaskan itu kalau Mama sering bertanya kabar Boy. Tapi tetap saja Mama harus bertanya. Itu salah satu aksi protektif Mama sejak kejadian Dean.

Kalau karena protektif, nanya Boy kok sambil senyum-senyum, ya?

"Kok pipinya merah gitu?"

Arum menyentuh pipinya lalu dia memayunkan bibirnya. "Nggak kok, Ma."

Mama tersenyum. "Mama kan pengen tau perkembangannya belajarnya gimana, udah ada kemajuan belum? Kenapa kamu jadi grogi gitu?"

"Mama sih, harus banget mesem-meseem gitu. Senyumnya itu lho, Ma."

"Mama biasa aja nih senyumnya. Kamu aja yang langsung sensi kalau udah menyangkut Boy." Mama menaikkan alis."Sekali-sekali ajak ke rumah. Nanti mama suruh Bu Asih masak rawon."

"Mama, udah ah. Arum pergi." Arum mengecup punggung tangannya Mama.

"Boy, anaknya manis ya?"

"Iya." Arum menutup mulutnya. "Eh, maksunya enggak. Aduh, gimana sih." Arum berbalik. "Udah ah kok jadi nggak jelas gini."

***

"Buruan sih dandannya. Gue laper, nih."

Boy ingin sekali melempar kepala Andra sampai amnesia. Bisa tidak sekali saja, sultan tujuh turunan itu tidak merecoki hidupnya. Dia sebenarnya memang benar keturunan konglomerat atau tidak? Boy ingin sekali mengklarifikasi terhadap berita itu.

Ah, ya. Boy lupa Andra itu keturunan ke delapan yang, katanya sudah tidak kecipratan harta dan tahta. Makanya dia senang sekali berjunjung ke rumah Boy hanya untuk menumpang makan.

"Emang di rumah lo yang segede istana itu nggak ada makanan?" tanya Boy sambil menyisir rambut basahnya di depan cermin.

"Rumah gue mah gede doang. Lo buka kulkas isinya mie instan."

Boy mendengkus. Andra benar. Rumah besar itu keseringan kosong. Kedua orangtuanya jarang pulang karena orangtuanya lebih sering di luar kota mengurus usaha mereka. Andra punya satu kakak perempuan tapi memilih tinggal di apartemen yang dekat ke kampusnya. Andra juga sering menginap di rumah eyangnya. Karena itu, sertiap kali pulang ke rumah, dia jarang menemukan hidangan makanan.

"Kasian banget sih lo."

Andra dengan santainya merebahkan diri di kasur Boy. "Bokap sama nyokap belum balik dari Palangkaraya. Di rumah lagi ada kakak gue tapi lebih milih tugas kuliah dari pada makan. Lagian tante sama om nggak keberatan gue di sini. Gue kan anak kesayangan setelah abang-abang lo."

"Maksud lo, gue?"

"Ya nasib lo lah jadi anak pungut."

"Mulut lo ya, Ndra."

"Gue mau nanya, boleh?"

Boy mengernyit. "Sok izin. Ya kalau mau nanya langsung aja."

"Gue penasaran, deh." Andra menyandarkan tubuhnya ke headboard. "Lo sama Arum yakin partner kerja doang?"

Boy mengernyit, menatap Andra lalu mengangguk. "Iyalah."

Boy merasa tidak ada yang aneh di antara mereka berua, kecuali jantungnya yag beberapa hari lalu sempat deg-degan karena begitu dekat dengan Arum. Dan semua kembali normal, hari ini saat mereka berdua bertemu di tempat bimbel, tidak ada yang berbeda. Arum dengan wajah datanya. Boy dengan cengiran andalannya. Mereka berdua melaksanaan try out di kelas masing-masing. Setelah selesai, Arum kembali lebih dulu karena ada agenda dengan Mamanya. Sedangkan Boy dijemput Andra dan ditempeli sampai detik ini.

"Lo nggak ada gitu ngerasa ada yang berbunga-bunga kalau lo dekat dia?"

Boy melirik Andra dari cermin besar di dinding kamarnya. "Otak lo mulai eror. Kebanyakan main sama Fadly."

"Lo tuh yang nggak peka. Kebanyakan bucin, sih."

"Bodo. Buru deh ke bawah. Udah ditungguin sama Papi."

"Tunggu dulu."

Boy berbalik. "Apa lagi?"

"Yakin lo, nggak pernah deg-degan kalau lagi berdua?" Andra tertawa. "Atau lo bayangin wajahnya kalau lagi belajar fisika?"

"Enggak."

Andra menepuk lututnya. "Gagal move on sih lo."

"Terserah lo aja deh. Gue mau makan."

Andra berjalan mendahuluinya. Dia akan selalu begitu kalau makan malam di rumah Boy. Pepatah 'anggap rumah sendiri' sudah sangat melekat di dalam dirinya. Boy hanya mengekor malas di belakangnya.

"Malam, om." Andra mengambil posisi di samping kiri Papi. Dan berhadapan dengan Mami. Itu biasanya adalah tempat duduk Boy.

Tuh kan. Selain jadi anak kesayangan Papi, tempat duduk gue juga diambil.

Nasib anak pungut.

"Ndra, udah lama nggak main ke rumah," sapa Papi ramah. Masih dengan wajah tegas tapi setidaknya lebih ramah dibandingkan cara Papi bicara pada Boy.

"Iya om. Boy sekarang sibuk belajar." Andra melirik Boy. "Andra kan nggak enak kalau main terus Boy nggak di rumah."

"Kamu kalau mau main, datang aja, Ndra. Kaya baru kenal aja. Om nunggguin kamu main catur, lho." Mami menungkan beberapa sendok nasi ke piring Papi lalu melakukan hal yang sama pada Andra. Setelah itu dia membiarkan Boy melakukannya sediri.

Lihat kan?! Mami juga lebih sayang Andra.

"Kalian belajar bareng?" tanya Papi.

Andra menggeleng. "Nggak sih, Om. Boy tuh punya guru pribadi." Andra menyodorkan piring saat Mami menyendok dendeng balado. "Makasih, Tan."

"Emang gurunya siapa, Ndra?" tanya Mami. "Dia nggak pernah cerita kan ya, Pi? Dia aja nggak mau didaftarin lagi privat sama Papi."

"Cewek, Tan."

Mama menatap Andra. "Cewek?"

Andra mengganguk semangat. "Iya, Tan."

Boy melotot memberi kode agar Andra menutup mulutnya. Namun sayang sekali, Andra tidak akan memberikan informasi setengah-setengah. "Ndra."

"Dia belajar sama juara SMA Brawijaya, Om."

"Kok dia mau ngajarin Boy, Ndra?" kali ini Papi yang bertanya.

Boy langsung menoleh. Papi tidak tahu perjuangannya seperti apa mengemis pertolongan pada Arum.

Mami menepuk lengan Papi. "Maulah, Pi. Boy kan cakep gitu. Mereka pacaran, Ndra?"

"Hmmp." Andra menahan tawa. Tatapannya meledek Boy. "Bisa dibilang begitu, Tan."

"Oh yang ngajarin kamu Valery, ya." Mama memutar bola mata. "Mama nggak ingat kamu pernah cerita kalau Valery juara di sekolah."

Boy meletakkan sendoknya. "Mi. Bukan gitu maksudnya."

Mami mengibaskan tangan. "Kan minggu depan Bang Arga pulang. Mama mau buat acara syukuran kecil-kecilan. Kamu undang deh Valery ke rumah."

Boy memutar bola mata. "Apaan sih, Ma. Nggak usahlah. Lagian kan. Gini lho, Ma. Ceritaya panjang."

"Cerita apaan, sih?" Mami berdecak. "Mami mau ngucapin makasih. Karena bantuan dia nilai kamu udah ada perkembangan."

Papi meneguk air. "Walaupun sedikit ya, Mi."

"Setidaknya mereka udah usaha, Pi." Mami menatap Boy. "Pokoknya Mami nggak mau tau. Minggu depan kamu bawa ke rumah" Mai menjentikkan jari. "Valery pasti mau."

"Ma, Boy jelasin dulu. Ndra bantuin gue. Astaga, ini mai gue kenapa, sih?" Boy ingin protes tapi Mami lebih dulu melotot. "Oke."

"Bagus." Mami menuangkan daedeng lagi ke piring Andra. "Kamu harus banyak makan, Ndra."

Andra mengangguk. "Pasti, tan."

Papi menggser sayur sup dan telur dadar ke hadapan Andra. "Jangan sungkan, Ndra. Semuanya harus dihabiskan, ya."

"Makasih, Om.."

Boy menatap adegan keluarga bahagia itu sambil bergumam. "Aku siapa? Aku siapa?"

***

Ini nih Andra, anak kesayangan Papi sama Maminya Boy. Yang konon katanya keturunan ningrat. Tajir melintir tujuh turunan. Doyannya numpang makan ke rumah Boy.


Gimana-gimana? Sudah baca sejauh ini? Sayang Boy ngga? Doain ya Boy biar makin rajin belajar, biar bisa balikan sama Vale. Hahaha... :)


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro