Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 21~Waffle

Happy reading.

"Ini hari libur berharga gue. Ini tuh waktunya gue me time. Tidur. Harus banget lo renggut semua waktu gue. Ha?!"

Boy menyeruput secangkir Americano kesukaannya sambil terkekeh menikmati suara sinis dan dingin di balik ponselnya. Dia tidak dapat menahan diri untuk tidak merasa terhibur setiap kali gadis itu mengomel. Apalagi kalau ditambah dengan wajah mungilnya cemberut.

"Ngomong lo. Kenapa diem. Udah merasa bersalah selalu ngerepotin gue? Jangan kira karena gue hutang budi sama lo, jadi lo bisa seenaknya manfaatin gue."

"Bukan gitu maksud gue." Boy menyiapkan gendang telinganya untuk serangan selanjutnya.

"Ternyata setelah lo bangunin gue jam segini masih punya nyali biacara sama gue." Terdengar suara menghela nafas menahan amarah.

"Tadi nyuruh gue ngomong."

"Lo sebelah mana?"

Boy memperhatikan Arum berjalan mendekati pintu kaca besar itu. Dia masih menjepit ponsel di antara bahu dan telinganya. Tangan kanannya menenteng sebuah tas laptop. Matanya memendar menyapu seisi ruangan dan saat tatapannya bertemu dengan Boy, matanya membulat. Dan dia kelihatan manis dengan kaos kuning cerah dapadu dengan celana denim yang mencapai perutnya.

Boy langsung berdiri, menarik bangku di hadapannya, dan mempersilahkan Arum duduk. "Silahkan, Bu Guru."

Arum meletakkan tas laptop di meja. Bibir mungilnya dimajukan beberapa senti. Sebelum duduk dia, menyempatkan diri melotot pada Boy.

"Mau pesan apa?" Boy menyodorkan buku menu.

Arum mendesah, menarik selembar tisu dari atas meja, lalu mengusap keningnya. "Bisa gue nafas dulu?"

"Biar sekalian, Rum."

Arum menatap Boy sengit lalu mengalihkan perhatiannnya pada buku menu bersampul silver itu. "Apa aja deh."

"Oke. Air putih ya?" Boy menggulum senyum. Akhir-akhir ini dia senang sekali mencari perkara dengan Arum.

"Boleh. Pesenin seember. Buat nyiram lo." Arum kembali menunduk mengamati deretan menu andalan kafe dengan nuansa klasik itu.

Boy memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu. Dia itu kadang kelihatan lucu kalau sedang marah. Karena itu Boy selalu mencari akal untuk memancing emosinya. Seperti halnya pagi tadi, Boy tahu kalau Arum senang sekali bermalas-malasan di hari libur tapi dia sengaja mengganggu Arum, membangunkan gadis itu dengan panggilan Whatsapp. Meskipun Arum memblokirnya, Boy meminjam ponsel Mami untuk menghubungi gadis itu.

Boy mengabari sudah dalam perjalanan ke rumah Arum. Gadis itu langsung bangun dan meminta bertemu di tempai yang banyak orang. Di rumahnya sedang tidak ada orang. Dengan senang hati Boy membawanya ke sini.

"Mau pesan apa?"

Arum mengangkat wajah dan terihat kaget dengan cowok yang sedang mengenakan apron hitam di depannya.

Cowok itu merapikan rambut klimisnya lalu menu mengangkat alis. "Cheesecake di sini enak. Lo harus coba."

Arum mentap cowok itu heran lalu menatap ke sekeliling. Tidak ada yang aneh kecuali dua cowok di hadapannya.

Boy cukup peka untuk mengenali pandangan kebingungan itu. "Kita lagi ada di kafenya Fadly."

Fadly menggaruk tengkuknya lalu tersenyum. "Kafe bokap. Gue sih ya kadang jadi barista, kadang nyuci cangkir, kadang gue di dapur urusan baking, tergantung seberapa buruk nilai gue di sekolah. Tapi kalau jadi kasir, bokap nggak percaya sama gue."

Arum terlihat antusias dengan penuturan Fadly yang selalu tampak klimis dan terkenal playboy itu.

"Biasalah, Rum. Hukuman dari bokap. Dan karena nilai ulangan kimia gue lumayan ancur, hari ini gue jadi barista." Fadly menunjuk kening Boy. "Si anjir ini nih, pake acara ngambek pagi-pagi terus nggak ngasih contekan."

Boy tertawa. Dia masih ingat tragedi dia marah karena konser dadakan yang diadakan Aldo di pagi hari. Dia diam sepanjang pelajaran. Sebenarnya dia sudah tidak marah sekembalinya dari kelas Arum, tapi dia sengaja memberi empat orang itu pelajaran. Meraka tidak berani melirik kertas ulangan Boy.

"Ngambek kenapa?" tanya Arum.

Boy berdeham sebelum Fadly menjawab. "Fad, gue pesen waffle toping es krim coklat buat Arum."

"Lo nggak mau cobain cheesecake, Rum?"

Arum menggelengkan kepala. "Gue nggak terlalu suka keju."

Boy tersenyum bangga. "Udah, Rum. Lo cobain aja pilihan gue. Nggak nyesel deh."

Fadly menaikkan alis sebelah. "Sok tau banget lo."

Boy menatap Arum. "Arum tuh sukanya es krim coklat, Fad. Iya, kan?"

Fadly mengabaikan Boy. Dengan suaranya yang lembut dia berkata pada Arum, "gue buatin waffle spesial pakai coklat Belgia, ya," Dia melirik Boy yang tiba-tiba terbatuk mendengar kata Belgia yang ditekankan Fadly. "Lo mau gue cobain, Boy?"

"Makasih Fad," gumam Arum. Lalu dia mengangkat alis menatap Boy. "Kok muka lo kusut gitu?"

Gue teringat mantan!

Boy meneguk Americano, melirik Arum lalu melengos. Dia mengeluarkan laptop lalu menekan tombol power.

"Kenapa?" tanya Arum.

"Apanya?" Boy bertanya balik.

"Lo ngajak gue ke sini. Buat apa? Ngeliatin lo diem." Arum juga mengeluarkan laptopnya. "Kan belajar buat try out udah kemarin."

Ah ya. Selain niat awal Boy yang ingin mendengar Arum mengomel, dia juga punya tujuan lain. Dia ingin meminta bantuan Arum untuk menetukan pilihan perguruan tinggi yang harus dia ambil untuk ujian try out di tempat bimbel. Lupakan sejenak tentang mantan dan coklat Belgia.

"Menurut lo kalau gue langsung ngambil pilihan FK UI, gue bakalan lolos?"

Suara keybord Arum berhenti. Dia melipat langan lalu menggeleng tegas. "Enggak."

Ada aksi tatap untuk beberapa detik. Boy tidak terima dengan perkataan Arum dan sebaliknya, Arum terlihat tidak gentar sedikitpun menyampaikan pendapatnya. "Lo nggak ada niat gitu bilang iya, biar gue seneng."

"Ini bukan tentang lo seneng atau enggak. Gue bilang yang sebenarnya. Karena lo belum maksimal belajarnya."

Boy bertanya-tanya apa lagi yang kurang dalam usahanya. Dia bimbingan belajar dari Senin sampai Jumat. Mengerjakan puluhan soal setiap malam walaupun matanya sudah sangat mengantuk. Belum lagi dia harus membaca catatan saat subuh, karena kata Arum otak itu lebih gampang mencerna pelajaran di saat-saat hening. Ketika semua orang masih tidur, Boy sudah komat-kamit menghafal pelajaran Biologi atau mata pelajaran hafalan lainnya.

"Apa perlu bukunya gue kunyah sekalian." Boy mendengus.

"Mohon maaf nih, menggangu rumah tangganya." Fadly tertawa. "Menggangu lo berdua maksudnya. Eh, bukan berarti gue orang ketiga lho ya."

Boy menatap Fadly malas. "Apa lagi sih, Fad?"

Fadly meletakkan sebuah piring berisi waffle dengan toping es krim coklat. Dia juga menyiapkan sacangkir coklat oreo dingin. "Hidangan spesial buat cewek manis. Selamat menikmati."

Mara Arum berbinar melihat hidangan coklat di hadapannya. "Maka.."

"Nggak usah keluarin jurus buaya lo itu. Nggak ngaruh, Fad." Boy memutar bola mata kemudian berdecih. "Gombalan lo model lama."

"Kok sewot sih." Fadly menoleh pada Arum. "Kalau butuh sesuatu panggil gue. Enjoy ya. Kalau dia macem-macem bilangin gue, biar gue suruh pulang."

Arum mengengguk. "Makasih, Fad."

Fadly mengangguk lalu pamit untuk kembali menjalankan tugasnya.

"Makasih, Fad." Boy mengulang kalimat Arum dengan nada mengejek.

Arum mengabaikan Boy. Dia langsung memotong waffle lalu dicampur dengan es krim coklat. "Enak."

"Lo suka?"

"Iya."

Boy membiarkan Arum menikmati hidangan itu. "Syukur deh kalau lo suka."

Butuh lima belas untuk gadis itu menandaskan isi piringnya. Dia manyantapnya dengan lahap. Boy senang karena pilihannya tidak mengecewakan Arum. Namun dia juga sedikit menyesal selama ini tidak pernah memahami apa yang Arum suka. Dia selalu memberi apa yang dia ingat yang membuat Vale senang. Boy selalu menyguhkan matcha sedangkan Arum sukanya coklat.

"Jadi gimana rencana lo?" tanya Arum.

"Gue harus cari jurusan kedokteran yang passing grade-nya lebih rendah dari FK UI?"

Arum mengangguk lalu memiringkan layar laptopnya. Layarnya menampikan tabel excel. "Ini daftar jurusan kedokteran di Indonesia sama passing grade-nya."

"Nggak kelihatan."

Arum menggeram pelan, merapikan letak kacamatanya lalu dengan sedikit canggung, dia menggeser kursinya ke sebelah Boy. Dia menarik laptopnya mendekat. "Kelihatan."

"Lumayan." Boy bergumam pelan di telinga Arum. Gadis itu menoleh.

Dengan jarak sedekat itu Boy merasaakan adegan slow motion seperti sinetron yang sering diputar Mami. Rasanya semua bergerak lamban dan Boy enggan mengakhirinya. Dia suka aroma jasmine dari tubuh gadis itu. Pipi Arum yang bersemu merah membuatnya kelihatan manis.

"Aduh." Boy meringis ketika Arum menjitak keningnya. "Sakit banget. Badan lo aja kecil, tenaganya kuat banget."

"Jadi keputusannya?"

Oke, Boy marik nafas dalam-dalam. Dia mencoba mengatur ritme janjungnya yang beberapa detik lalu mulai berantakan. Setelah merasa oksigen kembali masik ke dalam paru-parinya, dia meneguk sisa Americano-nya hingga tandas.

"Bentar." Boy menatap layar laptop Arum. "Lo punya aplikasi AutoCAD?" Boy menunjuk sebuah aplikasi di taskbar.

"Gue lagi belajar."

Boy meraih laptopnya kemudian kembali menyalakan lanyarnya yang sudah sempat padam. Dia memasukkan kata sandi dan membuka aplikasi serupa seperti yang Arum pelajari. Aplikasi AutoCAD adalah sebuah aplikasi desain yang sering digunakan mahasiswa teknik sipil atau arsitektur.

"Gue juga belajar AutoCAD." Boy memutar laptopnya dan menunjukkan sebuah desain rumah minimalis. "Baru bisa gini."

Arum menutup mulut. Matanya terbelalak menatap hasil karya Boy. "Lo bilang baru belajar? Ini serius lo yang buat?"

"Iya."

Arum ragu. "Ini tiga dimensi, lho. Sepupu gue yang mahasiswa teknik selalu ngeluh sulit."

"Lo nggak percaya banget. Itu desain pertama gue. Papi ada rumah di Bogor. Rumah masa kecil Papi tapi udah tua banget. Jadi gue mau desain ulang tanpa merubah bentuk aslinya. Ya, gimana ya. Renovasi dikit lah. Itu juga kalau Papi percaya."

Arum mengamati setiap detail hasil karya Boy. Dia mungkin tidak pernah menyangka Boy yang melakukan itu. "Ini juga bagian dari permintaan mantan lo?"

Boy tampak terkejut. Gadis di hadapannya itu, selain suka marah dan mengomel, dia juga selalu berpikiran negatif pada Boy.

"Nggak semua yang gue laluin tentang Valery." Boy mendekat. Mereka berdua memandang layar laptop. "Gue belajar ini sendiri. Belajar dari youtube. Gue sering lihat Bang Arsen ngerjain tugas kuliahnya. Dan gue penasaran. Ternyata sulit sih. Tapi pelan-pelan gue bisa."

Arum menoleh.

Dan tepat saat itu Boy juga menatapnya. Dia tersenyum. "Sekarang lo takjub?"

Arum mendengkus. "Nggak."

Boy menusuk pipi Arum dengan jari. Gadis itu langsung menjauh. "Mata lo aja sampai berbinar gitu."

Arum memayunkan bibirnya. "Apaan sih."

"Maaf menggangu lagi bapak dan ibu sekalian." Fadly berdiri di samping mereka. Dia membawa nampan bersikan pisang coklat dan segelas air putih.

"Kenapa?"

Fadly menarik bangku dari meja sebelah yang kebetulan kosong lalu dia duduk di hadapan Arum dan Boy.

"Kata nyokap gue, nggak bagus yang bukan muhrim berdua-duaan gini."

Boy melempar Fadly dengan gulungan tisu. "Gaya lo, buaya rawa."

Fadly menaikkan alis sambil menikmati camilannya. "Monggo, dilanjutkan kembali urusannya. Gue janji nggak akan ganggu suasana, kok."

"Udah nggak minat." Boy menutup laptopnya.

Fadly memasukkan meneguk air mineral. "Kenapa?"

"Ada orang ketiga."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro