BAB 18~COKELAT
Happy Reading.
"Guys, ada pengumuman nih dari Pak Yatno." Wita, juara kelas XII IPA 9 berdiri di samping meja guru. Semua perhatian tertuju padanya. "Gue mau umumin daftar peserta remedial ulangan kemarin."
"Nggak usah diumumin juga gue udah tau kok yang nggak lulus siapa," seru Aldo.
"Siapa?" balas Andra.
"Lo lah, Ndra. Sama Boy." Aldo tertawa.
"Diem deh lo manusia pepaya." Boy mendengkus.
"Taruhan sama gue, Ndra. Kalau lo sama Boy nggak remedial, lo harus traktir gue sebulan."
Andra mengernyit. "Lah, enak di lo dong, Do."
Wita berdeham. "Peserta remedial tiga orang doang. Aldo, Fadly, dan Carel. Untuk kalian bertiga boleh menghadap ke Pak Yatno sebelum jam istirahat selesai." Wita kemudian membagikan kertas ujian ke meja setiap penghuni kelas.
"Sudah biasa." Fadly mengelus dada melirik Aldo yang reaksinya biasa saja. Apalagi Carel, dia tersenyum sinis lalu melanjutkan game online di ponselnya.
Aldo mencomot potongan pepaya dari kotak bekalnya. "Kok lo berdua nggak remedial?"
"Iya. Nggak asik nih." Fadly ikut mencomot pepaya Aldo.
Andra baru saja mengeluarkan laptop dari dalam tasnya, lalu menoleh ke belakang. "Kemarin gue nyontek kertasnya Boy."
"Makasih Wita. Cakep deh kalau senyum gitu." Aldo tersenyum saat menerima kertasnya. "Tiga puluh nih nilai gue. Anjir. Bakalan dimaki sama Bokap."
"Lah lo mah mendingan tiga puluh, gue dua puluh." Fadly menunjukkan kertas ulangannya. "Besok pagi motor gue disita nih karena nilai Fisika segini."
Aldo melirik kertas Fadly. "Yaelah. Makanya otak dong yang dibenerin. Cewek mulu yang lo urusin."
"Sekedar info nih ya Nilai kita beda tipis doang. Nggak usah sok bener deh lo jadi orang."
Andra tersenyum bangga. "Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban pelajaran Fisika, gue dapat nilai enam puluh. Gue traktir deh lo semua."
"Sekelas?" Fadly memastikan.
"Enggak lah keong. Lo berempat aja. Terserah mau makan apa. Santai."
"Sultan tujuh turunan mah nggak ada lawan ya, Ndra." Aldo mendorong pundak Andra.
"Apaan sih." Andra merangkul Boy yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya. "Nggak sia-sia lo tobat."
Boy menyimpan ponselnya lalu menatap kertas ulangan miliknya. Nilai enam puluh untuk pelajaran Fisika adalah pencapaian terbesarnya sejauh ini.
"Gue harus makasih ke Arum nih."
Andra mengangguk. "Harus dong."
"Mentang-mentang kecipratan ilmunya Arum, semangat banget lo, Ndra." Fadly menggulung kertasnya, kemudian melemparnya ke arah Andra.
"Tau nih si oncom dari tadi belagu banget," tambah Aldo.
"Anjing." Carel menggeprak meja.
"Kenapa lu?" Aldo menaikkan alis. "Kesambet?"
Carel mengggeleng. "Ini nih hero gue kalah."
"Kirain," gumam Aldo.
Boy merapikan alat tulisnya yang masih berantakan di meja. Dia berdiri lalau memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana. Tidak sampai di situ, dia mengenakan dasi dan ikat pinggang dengan benar. Tidak seperti Boy yang biasanya. Dia menyengir ketika tatapan aneh Aldo menelusuri penampilannya dari atas ke bawah.
"Harus banget jadi cupu gitu." Aldo menunjuk hidung Boy.
"Lho,ini tuh rapi. Bukan cupu." Boy menepuk pundak Andra yang sudah menyibukkan diri mengetikkan sesuatu di laptopnya. "Geser dong, Ndra. Gue mau lewat."
"Ganggu aja lo," gerutu Andra namun tetap memberi jalan untuk Boy. "Nggak ada yang mau ke kantin nih?"
"Gue abis lihat nilai Fisika mendadak kenyang." Aldo melipat mengeluarkan buku dari dalam laci. "Mau ngerjain PR Sejarah aja deh gue."
"Gue mau ketemu cewek gue." Fadly lebih dulu keluar kelas."Eh, tapi kita kan disuruh menghadap Pak Yatno. Sekarang aja deh, Do."
"Pak Yatno nggak muak ketemu gue mulu? Lama-lama gue lamar juga sih anak Pak Yatno, biar tiap hari dia ketemu gue. Pak Yatno pasti bangga punya menantu kaya gue." Aldo menggerutu sambil merangkul Fadly. "Rel, buruan!"
Carel menatap Aldo bingung. "Kemana? Kantin?"
"Ketemu bapak mertuanya Aldo." Fadly berjalan keluar disusul Aldo.
Andra mendongak menatap Boy. "Lo mau ke kantin. Nitip jus mangga dong. Kaya Biasa. Gulanya dikit, mangganya di banyakin."
"Gue mau ke kelas Arum."
"Pantes aja lo rapi gitu." Andra menggeleng. "Sekarang bucinnya udah ke Arum ya."
Wajah Boy melengos, tidak berusaha mendebat Andra. Tapi bukan berarti dia setuju dengan perkataan temannya itu. Dia masih tetap berusaha mendapatkan Vale kembali. Dia hanya tidak mau membuang-buang waktu istirahanya percuma. Ada hal yang lebih penting yang harus dia lakukan.
***
Tidak ada bedanya jam istirahat dengan jam mata pelajaran di kelas XII IPA I. Kelas yang selalu dibangga-banggakan oleh para guru dan diidan-idamkan oleh sebagian besar siswa. Suasanya selalu tenang dan tidak berisik. Berbanding terbalik dengan kelas XII IPA IX. Sangan kontras kalau ingin dibandingkan.
Seperti halnya sekarang. Hanya beberapa siswa yang memilih menghabiskan waktu di kantin. Sebagian besar malah bertahan di kelas. Mungkin hanya untuk sekedar membaca buku atau mengerjakan buku soal yang kalau kata Pasukan Conidin bisa menyebabkan gangguan penglihatan dan kepala mendadak migran.
"Rum, try out gue di tempat bimbel belum maksimal." Loli mengeluarkan sebungkus biskuit coklat dari dalam tasnya.
"Kenapa? Bukannya nilai lo tinggi?" Arum berhenti menulis. Dia mencomot biskuit Loli.
Loli mengangkat bahu. "Gue masih kurang di matematika. Bantuin gue ya."
"Tapi pilihan lo ada yang lolos kan?"
"Ada sih. Gue lulus kok pilihan pertama. Kedokteran gigi UGM. Tapi nilai gue mepet banget. Kan lo tau, gue nggak boleh pas-pasan nilainya. Saingan dimana-mana, Rum."
Arum mengangguk. Dia tahu Loli sangat ingin lulus di jurusan yang sudah diidam-idamkannya sejak kelas X. Dia juga tahu Loli sudah berusaha keras. "Masih ada beberapa bulan lagi. Kita belajar sama-sama ya."
Loli tersenyum lebar. "Lo harus bantuin gue. Terus, lo gimana? Jadi ngambil..."
"Arum!"
Arum dan Loli melirik ke arah pintu. Loli mentap Arum meminta penjelasan. Tapi Arum malah membelalakkan mata. Arum menatap Boy tajam, tapi dia malah tertawa.
"Ada yang aneh?" tanya Boy. Dia berdiri di ambang pintu. Menenteng sebuah plastik hitam.
"Lo." Arum mengamati Boy dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemana kemejanya yang tidak pernah dimasukkan ke dalam celana? Ikat pinggang dan dasi terpasang rapi. Lalu seolah sadar memperhatikan Boy terlalu lama, Arum mengerjab sebentar.
"Gue ganteng gini lo bilang aneh." Boy pura-pura kecewa. Dia masuk ke dalam kelas tanpa merasa perlu meminta ijin. "Kecewa gue, Rum."
"Wih, ngapain lo ke kelas gue sembarangan?" Loli menunjuk Boy dengan dagu.
Boy mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas. Hampir semua mata tertuju padanya. Tapi dia seolah tidak peduli dengan tatapan-tatapan itu. Dia duduk di meja Arum.
"Mau ketemu Arum lah." Boy menaik-naikkan alis.
Arum melotot. Dia mengambil penggaris dari dalam lalu lalu menusuk paha Boy. "Minggir."
Boy memiringkan kepala, mendekatkan wajah pada Arum. "Jangan galak-galak dong Bu Guru. Ntar lo naksir. Bahaya. Gue nggak bisa tanggung jawab."
"Masuk Pak Eko." Loli bertepuk tangan heboh.
Wajah Arum memerah. Bukan karena salah tinggah dengan gombalan receh Boy. Dia sedang menahan malu karena sekarang menjadi pusat perhatian orang-orang di dalam kelasnya. Kedatangan Boy saja sudah cukup membuat seisi kelas heran. Ditamah lagi sekarang cowok itu duduk dengan jarak yang dekat dengan Arum.
"Lo keluar nggak dari kelas gue?" Arum menatap Boy sinis.
Boy menaikkan alis sebelah. "Iya ndoro. Gue keluar." Boy berdiri kemudian meletakkan plastik kresek di depan Arum. "Ini buat lo."
"Apaan tuh?"
"Hadiah karena gue nggak remedial kali ini."
Arum mendadak semangat. "Mana nilainya?"
Boy mengeluarkan kertas ulangan dari saku celananya. Dia membuka lipatan kertasnya. "Keren kan gue?" Dia tersenyum bangga setelah nilai enam puluhnya di depan wajah Arum.
Arum mendesah. Lupakan tentang semangatnya beberapa menit yang lalu. "Keren dari Hongkong.?"
Loli menahan tawa. "Gue aja kalau nggak belajar, nggak pernah tuh nilai segitu."
"Itu juga udah syukur, Rum." Boy duduk lagi di meja Arum. "Lo nggak tahu perjuangan gue dapet nilai segitu. Kepala gue benjol semua karena lo tabokin."
Loli mengintip isi plastik itu lalu menatap Boy dan Arum. "Lo?" Loli menunjuk Boy. "Lho, tau Arum suka coklat?"
"Emang iya, Rum?"
Arum tidak menjawab. Dia membuka pemberian Boy. Dia mengeluarkan satu kotak Beng-beng. Awalnya dia berpikir isinya tidak jauh dari matcha. Tapi dugaannya salah.
"Gue tadi bingung mau beli apa di kantin. Terus gue beli aja apa yang gue suka."
Dia suka coklat juga?
"Jadi lo berdua suka coklat? Yaelah seleranya sama ternyata."
"Jodoh kali. Ya nggak, Rum?"
***
Boy keluar dari kamar saat mendengar suara Papi dan Mami di ruang keluarga. Dia membawa kertas ulangan Fisika dengan bangga. Dia merasa nilai enam puluh cukup untuk sedikit menyombongkan diri di depan Papi. Karena dengan nilai itu, berarti dia sudah ada progres untuk menunjukkan keseriusannya meladeni taruhan Papi.
"Apa ini" tanya Papi saat Boy mengangsurkan scarik kertas yang sudah sedikit lusuh.
Boy duduk di samping Papi. Melirik Mami sekilas lalu kembali menatap Papi. "Nilai ulangan Fisika Boy, Pi."
Papi meringis. Dia meletakkan kertas itu di meja. "Udah ada perkembangan. Tapi masih jauh dari harapan Papi. Abang kamu nggak ada yang pernah dapat nilai enam puluh."
"Papi." Mama meraih kertas Boy lalu tersenyum bangga. "Boy udah usaha kok, Pi."
Boy mengangguk pelan. Kerongkongannnya terasa kering. Dia menuang air ke dalam gelas lalu menempelkan gelas ke jidadnya. Kepalanya juga terasa panas. Tanggapan Papi tidak sesuai dengan harapannya. Boy sadar nilainya memang masih jauh kalau dibandingkan dengan Bang Leo, Bang Arsen, dan Bang Arga. Boy tidak akan pernah ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan mereka bertiga. Tapi tidak bisakan Papi sedikit saja menghargai usahanya?
"Mi, Papi cuma mau membuka pikiran Boy. Biar dia nggak cepat puas dengan dengan nilai segitu. Biar dia lebih berusaha lagi."
"Sayang. Mami seneng deh nilai kamu udah ada kemajuan. Tapi kamu harus belajar lebih giat lagi."
"Papi bandingin Boy sama Leo, sama Arsen, ataupun sama Arga, bukan berarti Papi nggak menghargai usaha Boy. Papi ngasih contoh doang, Mi. Kalau mereka bertiga bisa kenapa Boy enggak."
Mami tersenyum. "Padahal satu pabrik ya kan, Pi."
Papi mengangguk. "Maksud Papi itu. Mereka berempat itu nggak pernah kita beda-bedain. Makannya sama . Sekolahnya sama. Malah duit jajan Boy lebih banyak." Papi terkekeh. "Jadi harusnya nggak ada alasan untuk Boy buat kalah dari mereka. Ya, cuma masalah usaha aja sih, Mi."
Boy tertegun sejenak. Otaknya sednag sibuk merenungi kalimat-kalimat Papi. Dia mungkin sempat marah karena selalu dibandingkan Papi dengan ketiga abangnya. Itu sering membuatnya rendah diri. Tapi entah angin apa yang baru saja lewat, Boy tiba-tiba tidak terima selalu dianggap tidak mampu seperti mereka. Boy menegakkan kepala. Dia menatap Papi. Melihat wajah tegas itu membuat Boy semakin terpacu.
"Pi, maafin Boy belum bisa kaya abang. Tapi kali ini Boy janji nggak akan buat Papi dan Mami kecewa."
Mami berdiri mengahmpiri Boy. Dia memeluk Boy dari samping. "Aduh sayang. Kamu kalau serius gini kelihatan dewasa. Mami jadi terharu deh."
"Mi, nggak usah dimanjain." Papi menatap Mami datar.
Mami mencubit lengan Papi. "Ini aki-aki galak banget, sih."
Boy menyandarkan tubuhnya ke sofa. Setlah mengucapkan janji untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi di depan Papi dan Mami, Boy kembali diserang rasa panik. Bibirnya mudah saja bicara tapi otaknya kadang susah diajak bekerja sama. Dia harus belajar lebih keras lagi . Dia menghiraukan perbincangan Papi dan Mami. Menbiarkan dua orang dewasa itu bercerita tentang masa muda sampai kini sudah memiliki cucu.
Arum.
Hanya satu nama itu yang terlintas di kepala Boy.
Boy Anggara
Rum, besok-besok nilai gue harus seratus.
Bantuin gue.
Oke?
Terserah lo mau ngasih gue rumput sekarung
Eh salad maksud gue
Gue makan kok
Nayara Arumi
Kamu siapa?
Kamu siapa?
*sambil nyanyi*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro