BAB 17~BELAJAR
Happy Reading
Arum menggulung tubuhnya dalam selimut. Udara dingin di luar sana membuatnya betah berlama-lama di kamar. Lagipua ini hari libur, tidak ada alasan untuk bangun cepat, mandi, dan sarapan. Lupakan itu semua. Hari ini cukup berdiam diri di rumah. Mendengarkan musik. Menonton film. Dan menikmati soto daging buatan Bu Asih. Beliau sudah janji dari kemarin.
"Rum?"
Arum mengerjab. Ketukan pintu terdengar lagi disertai panggilan Mama. "Arumi?"
"Iya Ma?" Arum menguap. Tangannya mera-raba tempat tidur mencari keberadaan ponselnya. Dia menemukan benda pipih itu di bawah bantal. Masih pukul delapan. Tumben sekali Mama membangunkannya. Biasanya Arum akan dibiarkan bangun pukul sebelas siang.
Mama mebuka pintu. Matanya melebar melihat Arum telungkup di tempat tidur. "Anak gadis nggak boleh bangun siang."
"ARUMI!" Mama menyibak goden membuat Arum menyernyit. "Mau Mama bawa air seember ke sini."
"Libur, Ma. "Arum menarik selimutnya sampai ke kepala.
Mama mendesah, menarik selimut putri tunggalnya itu. Bukan sekali dua kali kelakuannya begitu. Hampir setiap hari libur, kerjaannya hanya bermalas-malasan. Mama memang memaklumi karena jadwal Arum yang padat di sekolah dan di tempat bimbel. "Sarapan bareng, yuk. Terus bantuin Mama di toko."
Arum masih bertahan dengan posisinya, tidak bergerak sama sekali meski Mama menggoyang-toyang kakinya. "Ma," rengeknya.
Dia tidak terlalu suka menghabiskan waktu di florist. Mama sering mengajarinya merangkai bunga untuk vas atau membuat buket. Namun hasilnya tidak ada yang bisa dianggap layak. Mungkin karena pengaruh otak kiri Arum lebih mendominasi daripada otak kanannya. Dia pandai di pelajaran eksak tapi kurang mahir di bidang seni.
"Kamu tuh ya, sekali-sekali belajar buat buket." Mama beranjak dari tempat tidur. Dia duduk di meja belajar Arum. Dia memperhatikan rumu-srumus yang tertempel di dinding. "Biar nggak pusing hafal rumus terus."
"Udah pernah," gumam Arum.
Mama mendesah. "Kalau sekali doang, hasilnya belum bisa bagus."
"Bukan bakat Arum, Ma."
Arum mengusap mata. Mama mengangkat bahu, tatapannya berhenti di sebuah foto yang Arum pajang di meja belajar. Ada dirinya, Arum, dan Papa di sana. Tertawa lebar saat perayaan ulang tahun Arum. Ulang tahun terakhir yang mereka rayakan bersama. Wajah Mama berubah murung. Arum berdecak. Harusnya dia tedak meletakkan foto itu di sana. Dia tidak suka Mama teringat pada Papa.
Arum bangkit dari tempat tidur, meraih bingkat foto berwarna putih itu, kemudian memasukkan ke dalam laci. "Yuk, Ma. Arum lapar. Kita makan."
Mama menarik tangan Arum. Menggenggamnya erat. "Rum, kamu masih marah sama Papa?"
Arum tidk menjawab. Dia mengelus tangan Mama sebelum melepaskannya. Dia menghela nafas lalu duduk di sisi tempat tidur.
"Udah saatnya kamu maafin Papa, Rum."
Arum menggeleng. Dia menunduk menatap kakinya yang dibalut kaus kaki. Satu lagi kebiasaannya kalau tidur. Selain pakai piyama dan ceana panjang dengan motif kartum. Dia juga sangat suka mengenakan kaus kaki. Dia menoleh ke luar jendela. Mendung.
"Mama tahu kamu marah. Tapi mau sampai kapan?" Mama duduk di samping Arum.
Arum mengangkat wajah. Matanya berair. Dia sensitf sekali kalau sudah membahas Papa. Meski sudah berulang kali mengingatkan dirinya untuk tidak menangis, namun perpisahan mereka masih begitu terasa menykitkan. Membekas menggores perasaannya.
"Mama nggak ngerti perasaan Arum." Arum mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Arum nggak bisa maafin Papa. Dia jahat. Dia ninggalin Arum. Ninggalin Mama juga."
"Rum,"
Arum menggeleng. "Enggak, Ma. Mama nggak perlu selalu belain Papa di depan Arum. Arum udah bisa bedain yang benar dan salah. Arum bukan bocah lima tahun yang bisa dibohongin. Papa bilang dia pergi sebentar. Tapi nyatanya, dia nggak pulang kan sampai hari ini?"
Mama menghela nafas. Kentara sekali dia menyerah meyakinkan Arum. "Maafin Mama."
Arum tidak bersuara. Lebih tepatnya sengaja diam, memberi waktu untuk dirinya dan Mama untuk mengontrol perasaan masing-masing.
Mama berdiri. "Sepuluh menit lagi kita sarapan. Kamu mandi yang wangi. Anak gadis kok kucel gitu." Mama mencoba tersenyum, padahal Arum tahu di dalam hatinya, Mama hancur. Hanya saja dia selalu mencoba kelihatan tegar di depan Arum.
Arum memaksa bibirnya tersenyum, melakukan hal yang sama dengan Mama. "Lima belas menit, Ma."
Mama mendengkus, keluar kamar. Pintu tertutup meninggalkan Arum sendiri. Dia mematung. Tidak melakukan apapun seperti yang Mama minta. Dia tidak mandi. Dia hanya ingin duduk di situ. Pikirannya kembali berkecamuk. Dia benci jika mengingat Papa. Namun saat Mama memintanya memaafkan masa lalu itu, dia merasa bersalah. Dia terlalu egois. Dia tidak pernah bisa melakukanya. Sampai hari ini.
"Rum?"
Arum tersentak. Mama kembali muncul di balik pintu. Kini, penampilannya sudah membaik. Wajah cerianya sudah kembali. "Kamu belum mandi?" tanya Mama.
"Kan belum lima belas menit, Ma." Arum cemberut.
"Itu di bawah ada tamu."
Arum mengangkat alis. "Loli?" Arum kembali merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. "Padahal kemarin udah aku bilang nggak mau ke luar. Males banget deh."
Mama menggelng. "Yang kemarin nolongin kamu." Mama duduk di sebelah Arum. "Mama lupa lagi namanya."
Arum kembali duduk, menegakkan tubuhnya. "Boy?"
Mama mengangguk semangat. "Pacar kamu?" dia mencolek lengan Arum. "Anaknya ganteng ya. Mirip siapa itu artis muda. Yang tinngi putih itu, lho."
"Ari Irham?" Arum menyebutkan nama artis yang dimaksud Mama.
"Nah itu. Cakep ya. Mama suka deh. Anaknya sopan lagi." Mama terkikik.
"Nggak usah disamain sama Ari Irham, Ma. Beda,"gumam Arum pelan.
"Lho, kok kamu sewot gitu?"
Arum bergidik. "Boy mah mukanya doang ganteng. Otaknya sih pas-pasan." Arum menggigit bibir. Gue baru aja mengakui dia ganteng?
"Sembarangan ngatain anak orang." Mama melotot. "Dia mau belajar bareng katanya. Kamu ajarain dong. Kan pahala kalau bantu orang."
Arum meraih handuk. Dia berjalan meinggalkan Mama masih heboh memuji-muji Boy. Dia menuruni anak tangga sambil menggerutu. "Seneng banget deh dia ngerepotin gue."
"Pagi."
Langkah Arum terhenti. Kenapa mama tidak bilang Boy sudah ada di dalam rumah. Duduk santai di salah satu kursi yang berbaris di depan meja pantri. Cowok itu kelihatan segar dengan celana denim dan kaus putih polos. Dia terkekeh. Melambaikan tangannya.
"Pagi, bestie,"sapanya lagi karena Arum tidak menjawab dan memang tidak ada niat membalas sapaannya.
"Mateng gue." Pasti saat ini wajah Arum kelihatan cengo. Dia berbalik, menghadap pantulan dirinya di pintu kulkas. Penampilan yang sangat kontras dengan Boy. Piyama motif Mickey Mouse yang sudah kusut. Rambut panjangnya yang dicepol asal-asalan. Letak kacamatanya miring. Dan wajahnya kusam.
Arum mendekap handuk, memutar badan sembilan puluh derarat. Dia mengangkat kaki, bersiap kembali ke lantai dua.
"Gue udah pernah kok lihat lo lebih kusut dari itu."
Arum menoleh. Ah ya, Boy pernah datang saat dia sakit dan penampilannya lebih kurang seperti ini. Tapi tetap saja terasa memalukan. Kalau kemarin dia habis trauma digebukin Dean. Tapi hari ini? Ketahuan deh gue malas mandi kalau libur.
"Lo ngapain sih harus datang ke rumah gue?"
Arum menghampiri Boy. Tidak ada lagi gunanya menyembunyikan penampilannya, toh seperti yang dikatakannya, wajah Arum yang lebih parah dari saat ini juga sudah pernah dilihatnya. Malah saat itu, ada memar biru di pipinya.
"Tante aja nggak marah."
Sejak kapan lo sok akrab sama Mama gue?"
Boy mengangkat alis sebelah, menunjuk Arum. "Lo lucu juga ya kalau gitu. Apalagi sambil ngomel."
"Lo ngeledek gue?" Arum menatap Boy sinis. Tidak ada niat untuk senyum atau bersikap ramah.
"Sensi banget sih." Boy mengeluarkan buku pelajaran Fisika, meletakkannya di meja pantry. "Lusa kan gue ujian."
Arum berdecak. "Pusing gue ngajarin lo. Udah deh, gue lagi nggak mood."
"Gue nggak boleh belajar di sini?"
"Enggak,"
"Boleh dong. Arum lagi nggak sibuk kok."Mama mengeluarkan minuman kaleng rasa jeruk dari dalam kulkas. Dia meletakkannya di hadapan Boy. "Sebagai rasa ucapan terimakasih tante sudah bantu Arum kemrin, kamu boeh belajar bareng Arum. Kapanpun kamu mau."
"Ma?!" Arum protes.
"Nggak boleh gitu, Rum. Ada tamu malah marah-marah." Mama merangkul Arum, menuntunnya kearah kamar mandi. "Kamu madi dulu gih."
Arum melirik Boy. Matanya melotot. Namun cowok itu malah tertawa.
"Awas aja lo," ancam Arum. Mengangkat tangannya , membuat gerakan seolah-olah menggorok leher.
***
Boy mengangkat wajah ketika ada aroma buah mendekat. Dia meletakkan ponselnya di meja lalau tersenyum saat Arum duduk di sebelahnya. Gadis itu tampak lebih segar setelah mandi. Dia mengenakan kaus kuning mustard lengan panjang dipadi dengan celana selutut berwarna hitam. Warna yang cocok untuk pemilik kulit kuning langsat sepertinya.
Arum meletakkan sebuah buku pelajaran Fisika, buku catatannya, dan sebuah kotak pensil. Dia membuka halaman yang sudah dia tempel dengan sricky note kuning berisikan rumus Fisika. Boy memperhatikan gerak-geriknya membaca buku, membolak-balikkan catatanya, dan menulis rumus-rumus di sticky note baru.
"Serius banget."
Arum menempelkan sticky note berwarnan hijau di buku catatan Boy. "Dihafal rumusnya. Kalau dipeolotin doang, nggak akan masuk ke otak. Apalag kalau otaknya dangkal."
Boy terkekeh mendengar rentetan kalimat tajam itu. Dia tidak merasa tersudutkan, mungkin sudah kebal dengan segala bentik hinaan Arum. Dia juga bersyukur sekarang Arum mulai bisa menerima dirinya. Meski tidak pernah mengakui terang-tenganngan bahwa mereka sudah berteman, namun dengan Arum menerima dia menjadi muridnya, Boy sudah anggap itu sebagai persetujuan. Boy berterimakasih untuk itu.
"Aduh, gue lupa."
"Rumusnya?" Arum mendelik. "Baru juga gue suruh hafal."
"Bukan."
Boy mengeluarkan sebuah kotak trasparan dari dalam tasnya, mengangsurkannya pada Arum. Dia sempat membeli matcha waffle sebelum berangkat ke rumah Arum.
"Sogokan?" Arum mengangkat kotak itu, membuka tutupnya. Dia mengendus isinya lalu menghela nafas. "Matcha, ya?"
"Lo nggak suka?" tanya Boy. Seingatnya, ketika dia membelikan Valery sesuatu yang berbau matcha, gadis itu akan tersenyum lebar. Dan Boy selalu suka memperhatikan wajahnya yang manis ketika menikmati kudapan itu.
Aum meraih sendok, mencicipi waffle itu. "Kenapa harus matcha?"
"Dulu Vale suka banget sama matcha," jawab Boy polos.
Arum berdiri, meraih gelas di kabinet, berjalan menuju dispenper. Lalu kembali ke tempat duduknya. Dia meneguk air, setelah itu dia kembali menuliskan rumus di sticky note warna merah. "Nggak semua orang bisa lo samain."
Boy terdiam. Menunggu Arum kembali bicara.
"Makasih buat waffle ini. Enak kok." Arum kembali meneguk isi gelanya sampai hanya tersisa setengah. "Tapi gue nggak terlalu suka matcha."
Boy merenung. Dia tersadar selama ini sering memberikan Arum olahan makanan berbau matcha. Dia tidak pernah bertanya apakah Arum suka atau tidak. Dia memberika apa yang Vale suka tanpa peduli apakah Arum juga merasakan hal yang sama. Boy merutuki kebodohannya.
"Lo sukanya apa?" tanya Boy walapun pertanyaannya terlambat.
"Penting banget buat lo?" Arum tersenyum miring. Dia menempelkan sticky note merah dan pink di sebelah sticky note biru yang sudah lebih dulu menempati buku Boy. "Ini rumus-rumus yang kemarin keluar di ulangan Pak Yatno."
Boy memperhatikan tulisan Arum. Kecil tapi dapat dibaca. Dia menulisnya dengan pulpen warna-warni sehingga Boy suka membacanya. "Kasih jawabannya dong sekalian."
"Lo emang nggak tahu diri, ya." Arummengeluarkan contoh soal. "Pak Yatno nggak pernah buat soal yang sama tapi pasti mirip sama ini."
"Pesawat induk bergerak dengan kecepatan 0,6c. Dari dalam pesawat ditembakkan roket dengan kecepatan 0,4c relatif terhadap pesawat. Berapakah kecepatan roket raltif terhadap bumi?"
"Coba lo kerjain dengan rumus yang gue tulis. Yang ini." Arum menunjuk sticky note merah.
Boy mengetuk kepalanya dengan pulpen. Dia berpikir sejenak, menulis susuatu di kertas, mencocokan dengan rumus lalu mendorong hasil kerjanya pada Arum. "Sumpah, ini kepala gue berdenyut, Rum."
"Nah, lo mulai paham. Cuma lo salah perkalian di pembilangnya. Coba hitung ulang."
Boy mencoret kertasnya kemudia kembali mengganti dengan perhitungan baru. "Jawabannya dua puluh lima per tiga puluh satu c?"
Arum tersenyum. "Bener."
Boy bertepuk tangan. Dia tertawa. "Nah. Gue tuh nggak bego-bego banget kan, Rum."
"Iya. Tapi lumayan bego doang."
"Mulut lo, ya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro