BAB 15~BOYBEN
Happy Reading.
"OM BOYBEN!!!"
Boy mengernyit ketika Shelia melompat ke atas sofa dan menghambur ke dalam pelukannya. Gadis kecil itu tampak lucu dengan gaun kuningnya. Boy mencubit gemas pipinya, mengusap kepalanya, lalu kembali memeluknya. Di pertemuan mereka sebelumnya, Shelia mogok bicara pada Boy karena dia megingkari janjinya mengajak Shelia membeli es krim.
"Katanya Sheli kangen sama lo." Bang Leo duduk di sampingnya, wajahnya datar seperti biasa. Lalu kak Mauren muncul menenteng dua tas besar berisi oleh-oleh dari Palembang.
Boy menggendong Shelia. Dia berdiri menyalami Kak Mauren. Cipika-cipiki dengan kakak iparnya itu. "Kak, kok mau sih sama Bang Leo. Galak gitu. Mirip cewek lagi PMS. Senggoldikit langsung gigit."
"Mulut lo ya. Nggak ada sopan-sopannya."
Kak Mauren duduk di sebelah Bang Leo , mengusap lengan suaminya itu. "Habisnya udah ditolak berkali-kali tetap nggak mau nyerah."
"Berarti atas dasar rasa kasihan dong, kak?" tanya Boy. Salah satu hobiya yang tidak diketahui oleh orang lain adalah bersekongkol dengan para kakak iparnya untuk menyudutkan abang-abangnya. Walaupun pada akhirnya dia juga yang akan kalah.
"Kan kakak nggak tega." Kak Mauren terkikik. "Padahal dulu kakak banyak yang ngejar. Tapi ya mau gimana. Abang kamu mepetin terus. Ya udah deh."
Boy menatap Bang Leo sambil berdecak. "Lo emang udah bucin sejak dini ya, Bang." Eh, bukannya gue yang bucin?
Bang Leo menatap Boy garang. "Jangan macem-macem deh. Lo masih ada utang sama gue.?"
"Apaan?!"
"Gunting rumput halaman rumah gue."
Boy tertawa. Dia tidak lupa akan janjinya itu. Masih sangat ingat. Tapi yang benar saja datang ke rumah Bang Leo hanya demi menjadi tukang kebun abangnya yang galak itu. "Lihat nih, Kak. Aku dipaksa gunting pagar ke Tebet. Kakak nggak kasihan adik iparnya paling tampan panas-panasan?"
Bang Leo melemparkan bantal Sofa, mengenai kepala Boy. "Sembarangan nih orang. Lo yang nawarin diri. Gue bilang Papi baru tahu rasa lo."
Shelia meloto pada Papanya. "Papa, jangan gitu sama Om Boyben." Shelia mengusap kepala Boy. "Maafin Papa Sheli ya Om. Nanti kita beli es klim. Om yang bayal."
"Papa kamu tuh Sheli. Dia ngancem Om kamu yang ganteng ini."
"Duh, katanya Leo ada kelas sampai malam." Mami muncul dari dapur dengan apron merah muda kesayangannya. " Masih jam tujuh udah datang."
Mami menghampiri Kak Mauren. Membawanya ke dalam pelukannya. Dan melakukan hal yang sama pada Bang Arga. Shelia melepaskan diri dari pelukan Boy, menyalami Mami. Wajah Mami langsung sumringah. Keadaan rumah menjadi ramai. Bang Arga sengaja datang ke rumah Sabtu ini. Katanya mau menginap sekalian menghantarkan oleh-oleh mereka setelah pulang dari kampung halan Kak Mauren.
Mami juga menghubungi Bang Arsen dan Kak Windi. Sayangnya, keduanya tidak dapat hadir karena akan berangkat ke Belgia nanti malam. Ada urusan pekerjaan dari kantor Bang Arsen dan Kak Windi ikut sekalian berlibur. Mengingat negara itu Boy kembali meringis. Tiba-tiba dia teringat pada Vale yang memutuskannya hanya karena tidak tahu ibukota Belgia. Dan kalau Vale mau tahu, sampai hari ini Boy tidak berniat mencari jawaban pertanyaannya itu. Terlalu tidak masuk akal untuk menjadi alasan mengakhiri sebuah hubungan. Dia bahkan berjanji tidak akan pernah mengunjungi Belgia.
"Iya, Mi. Tadi rencana awalnya mau datengnya malam. Tapi kelasnya Leo diganti hari Senin." Kak Mauren mengajak Mami duduk di sofa panjang. Leo memberi ruang pada dua wanita sehingga Boy pindah ke sofa tunggal bersama Shelia yang tida mau jauh darinya.
"Kan udah kangen baget sama Mami."
Mami tampak tersanjung. "Mami juga kangen banget sama kamu. Sama Sheli apalagi."
Boy terkekeh. "Sama Bang Leo nggak, Mi?"
Mami mengibaskan tangan. "Dia mah dikangenin makin jual mahal."
Bang Leo mendengkus melirik Mami dan Kak Mauren cekikikan melihat tampang datarnya. Dia memilih banngkit dari tempat duduknya. "Aku mau ke halaman belakang."
"Ngapain?" tanya Boy.
"Mau lihat bibit mangganya Papi."
Boy mengekor dari belakang. Shelia tidak mau ketinggalan. Dia menarik baju Boy, memaksanya membungkukkan badan. Shelia naik ke punggunganya. Boy menurut saja pada gadis kecil itu. Mereka meninggalkan dua wanita dewasa itu, sibuk mengeluarkan oleh-oleh dari dalam tas. Boy sempat melihat bungkusan pempek dan kerupuk ikan khas Palembang. Setelah itu, Mami sibuk mencoba songket yang dibeli khusus olah Kak Mauren.
"Kenapa lo tiba-tiba bimbel?" tanya Bang Leo. Dia duduk di tepi kolam renang, mencelupkan kakinya ke dalam air.
Boy membiarkan Shelia bermain di pinggir kolam renang. Dia mendekat di samping Bang Leo. Boy selalu merasa rendah diri jika sudah duduk bersisian dengan abangnya itu. "Pengen aja."
"Lo yang pengen atau orang lain?" Tatapan Leo penuh selidik.
Boy menggaruk ujung hidungnya. "Maksud lo, Bang?" Boy terkekeh. "Gue nggak paham?"
"Itu emang niat dari diri lo sendiri atau gimana? Ada paksaan dari orang lain?" Bang Leo melirik Shelia sekilaas. Memastikan gadis kecil itu tidak terlalu dekat ke kolam. "Papi pernah cariin lo guru privat. Masukin lo ke tempat les paling bagus, bahkan lebih dari bimbel gue sama Arsen. Tapi lo sia-siain. Terus tiba-tiba lo pengen bimbel. Udah sadar lo peringkat paling bawah?"
Boy memutar bolamata. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat Tidak mungkin dia menceritakan ikut bimbingan belajar adalah usaha untuk mengejar Vale. "Ya karena gue kan udah kelas duabelas. Jadi harus ada perubahan dong," elak Boy.
Bang Leo mengangguk-angguk tapi kelihatan tidak yakin. "Gue harap gitu." Bang Leo menghela nafas. "Gue sih dukung kalau lo emang bener-bener niat bimbel. Biar ada kemajuan." Bang Leo terkekeh. "Walaupun palingan dikit doang."
"Sekedar inormasi, gue nggak bawah-bawah banget. Berasa dungu banget gue kalau ngomong sama lo."
"BOY!" teriakan Mami menyelamatkan Boy dari introgasi bang Leo.
"Kenapa, Mi?"
"Jemput lapis legit kesukaan Mami." Mami bersedekap di pintu penghubung ruang keluarga ke taman belakang.
"Go-send kan bisa, Mi."
Mami melotot. "Nanti kalau mas gojeknya ngebut lapis legit Mami nggak bagus lagi bentukannya. Kamu mau tanggung jawab? Ha?!"
"Yang perlu kan rasanya, Mi."
"Kamu nggak mau nih?" tanya Mami galak.
"Bukannya nggak mau, Mi."
"Jadi harus Mami yang jemput?"
Mami dan pelototannya selalu berhasil membuat Boy bungkam. Tanpa penolakan, Boy berdiri. Merogoh saku mencari kunci motor. Dia hadapan Mami dia melipat tangan . "Siap kanjeng ratu."
"Om Boyben, Sheli ikut."
Boy balik badan lalu meliat tangan sambil menunduk. "Siap kanjeng putri."
***
Masih sebulan lagi menuju try out masuk perguruan tinggi yang diadakan di Quantum tetapi Arum sudah mulai memadatkan jadwal bimbingannya. Jika sebelumnya dia hanya masuk hari Senin sampai Kamis, kali ini dia mengambil kelas di hari Jumat. Tidak tanggung-tanggung, setelah bimbingan selesai, dia kembali diskusi dengan tutor Matematika, membahas soal yang biasa muncul di ujian masuk perguruan tinggi.
Sudah pukul sembilan malam, Arum masih mengenakan seragam sekolah. Langkahnya terayun pelan menyusuri komplek perumahannya. Kejadian beberapa lalu sempat membuatnya ragu pulang malam namun dia berhasil mensugesti dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Saat berbelok menuju gang rumahnya, Arum menghentikan langkahnya. Dari arah berlawanan sebuah lampu motor membuatnya kesulitan melihat. Semakin lama, motor itu mendekat dan berhenti di hadapannya.
"Lo belum tobat pulang malam?"
Arum mengabaikan omelan Boy. Dia menatap sebuah paper bag berlogo toko kue Tante Salma digantung di bagian depan motor Boy. Dan dia tahu dari mana datangnya laki-laki itu. Dia masih ingat Boy pernah mengatakan kalau toko Tante Salma adalah langganan Maminya. Yang membuat Arum heran, kenapa malam-malam begini Boy berkeliaran bersama gadis kecil di belakangnya, menenteng sebuah plastik Indomaret.
"Lo darimana?" tanya Boy lagi.
"Bimbel."
Boy mengangkat alis. "Lho, emang Jumat ada bimbel. Kok gue nggak tau."
Ucapan Boy membuat Arum memutar bola mata. "Kalaupun to tau ada kadwal dan lo masuk, nggak akan langsung membuat lo lulus FK UI kaya mantan lo minta."
"Mulut lo. Pedes banget kaya seblak mercon." Boy melirik jam tangan. "Jam segini lo baru pulang. Harus banget ya, Rum?"
"Kok lo yang ribet?"
Mama sempat menelfonnya berkali-kali , memintanya menunggu di tempat bimbel sampai Mama jemput. Sembari menunggu Mama, Arum mencoba memesan ojek online dan karena malam ini cerah, dia langsung menemukan pengemudi. Arum membuat titik penghantaran di tempat fotocopy depan gang. Dia ditugaskan Pak Yatno mem-fotocopy materi kuis Fisika untuk kelas XII IPA 1.
"Bukannya mau ikut campur tapi gue cuma nggak mau kejadian kemarin terlulang. Gue takut aja kalau terjadi apa-apa sama lo."
Arum berdecak kemudian tersenyum sinis. "Karena taut lo nggak bisa manfaatin gue?" Sejak tahu alasan Boy mendekatinya, Arum semakin sering menyindir cowok itu.
Boy terkekeh. "Nah, itu lo paham, Bestie."
"Om Boyben. Kakak ini siapa om?" Gadis itu menatap Arum dan Boy bergantian.
Arum menutup mulutnya menahan tawa. "Boyben?"
"Nggak usah ngeledek lo." Boy menoleh ke belakang lalu tersenyum. "Ini Kak Arum. Kamu salam dong."
"Sheli."
Arum menyambut uluan tangan Sheli. Dia sempat tertegun melihat wajah ceria gadis itu. Dulu dia juga memiliki senyum lebar seperti Sheli. Tertawa lebar tanpa beban apa-apa. Sampai kepergian Papa merenggut senyumnya. Arum bahkan lupa caranya tertawa lepas sejak hari itu.
"Halo. Aku Arum."
"Kak Alum temennya Om Boyben?" taya Sheli antusias.
Arum mengangguk. Sejak kapan gue temenan sama Boy?
"Ini Sheli keponakan gue. Anaknya abang gue." Senyum Boy mengembang. "Jadi kita temenan?"
Arum sepertinya salah bicara. Sekarang Boy tersenyum penuh kemenangan merasa jawaban anggukannya pada Shelia adalah pengakuan bahwa sekrang mereka berteman. "Nggak usah kepedean deh lo."
"Jadi kapan nih lo ngajarin gue?"
Ah, ya. Arum sudah bertekad akan membalas budi Boy dengan membantu laki-laki itu belajar. Lagipula dia sudah berjanji saat memberi Boy salad sayur. Namun dia akan tetap menjaga jarak. Dia tidak mau terlalu mempercayai Boy. Meskipun ke depannya dia akan sering bertemu Boy, Arum akan selalu membentengi dirinya. Dia akan membuat batasan. Ini hanya sebagai ucapan terimakasih karena sudah menyelamatnya hidupnya tempo hari. Hanya itu. Setidakya dengan begitu Arum tidak terlihat sebagai manusia tidak tahu diri, alias tidak tahu terimakasih.
"Emang gue pernah bilang mau bantuin lo?" tantang Arum.
"Lo udah janji. Gue nggak mau tahu. Lo harus tanggung jawab sama perkataan lo. Mana gue udah makan rumput eh salad demi lo."
"Iya gue bantu."
Boy tersenyum. Hal yang paling mekelat dalam diri cowok itu sejauh yang Arum perhatikan, dia sangat suka tersenyum. Kadang senyumnya itu menular. Arum ingin mengangkat bibirnya namun hatinya menolak melakukan itu.
"Jadi kapan nih belajarnya?"
"Besok," jawab Arum singkat.
Boy menjentikkan jaru. "Gue tunggu." Boy menoleh ke belakang. "Sheli kasih es krim ke Kak Arum."
"Yang lasa apa, om?" Arum merogoh plastiknya.
"Matcha." Boy menetukan sendiri tanpa bertanya pada Arum.
Shelia mengeluarkan sebuah es krim dengan bungkus didominasi wana hijau. "Buat Kak Alum."
Arum diam sesaat, bingung apakah dia harus menerima es krim itu. "Makasih ya, Shlei." Melihat wajah lucu Sheli membuat Arum meraih es krim pemberiannya.
Shelia menggeleng, "Makasih ke Om Boyben. Dia yang beli."
Arum menatap Boy tajam. Melihat cowok itu terkekeh menunggu ucapan terimakasihnya, membuat Arum ingin melemparkan es krim itu ke wajahnya.
"Sama-sama, Rum."
"Gue nggak bilang makasih loh."
"Iya. Udah biasa."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro