BAB 14~ Salad
Happy Reading.
Dua hari tidak masuk sekolah membuat keadaan Arum sedikit membaik. Rehat sejenak dari kesibukan belajar cukup membuat energinya kembali terisi. Dia rindu menginjakkan kaki di sekolah. Rindu celoteh Loli yang sudah dua hari khawatir tapi tidak sempat ke rumah karena pulang malam dari tempat bimbelnya. Banyak yang harus kerjakan hari ini, mengejar ketertinggalan materi pelajaran. Kuis matematika dan ulangan Kimia.
Arum sudah bangun dari pukul lima pagi. Berkutat di dapur hingga menimbulkan suara piring dan wajan saling bersahutan. Mama sempat keluar kamar karena mengira ada orang lain menyusup. Namun Arum meminta Mama kembali beristirahat di kamar.
"Siapkan beberapa jenis sayuran."
Arum meletakkan ponselnya di atas meja pantri, lalu melangkah menuju kulkas. Dia memperhatikan isi kulkas, mengeluarkan daun selada, mentimun, wortel, dan beberapa lembar kol ungu. Arum tersenyum melihat berbagai jenis sayur yang sudah dia iris tipis-tipis. Butuh perjuangan lebih melakukan itu. Mahir mengerjakan soal fisika dan matematika tidak menjamin seseorang ahli mengiris sayur.
"Terus apa lagi ya? Arum kembali memperhatikan layar ponselnya.
"Mayo sama minyak zaitun dimana sih?"
Arum berjinjit memperhatikan deretan perlengkapan memasak di atas lemari gantung. Dia meraih botol minyak zaitun, saus, satu kotak kecil bersi biji wijen, dan mayones. Arum kembali ke meja, meraih kotak bekal biru milik Boy yang belum sempat dia kembalikan. Semua sayuran yag sudah diiris, ditata dalam kotak bekal itu. Setelah merasa puas dengan hasil karyanya, Arum menuangkan sedikit minyak zaitun. Membentuk mata dan bibir tersenyum dari mayones dan saus. Terakhir menaburkan wijen di atas salad sayur, hasil karyanya.
"Selesai."
Arum menutup kotak bekal, memasukkannya ke dalam paperbag biru muda polos. Dia sengaja menyiapkan itu untuk Boy. Arum belum mengucapkan terimakasih secara benar setelah insiden mengerikan yang dia alami tempo hari. Meskipun belum bisa mempercayai Boy, Arum merasa dia harus bersikap sedikit lebih baik. Biar bagaimanapun Boy sudah menyelamatkan hidupnya.
Arum kembali ke kamar, bersiap-siap berangkat sekolah. Tidak butuh waktu lama,Arum sudah rapi. Menunggu Mama di meja makan. Sarapan berdua dengan roti bakar buatan Mama karena hari ini Bu Asih datang agak terlambat.
"Kamu buat salad?" Mama menuangkan segelas susu di gelas Arum.
Arum berdeham. "Hem?"
"Itu tadi bangun pagi buat salad?" Mama menaikkan alis sebelah. "Sejak kapan kamu doyan salad?"
"Diet, Ma."
"Udah kurus gitu masih diet? Jangan ngada-ngada deh, Rum?"
Arum mengelap bibirnya dengan tisu. "Ya gitu deh,Ma."
Mama menghantar Arum ke sekolah setelah melewati perdebatan panjang. Arum tidak mau Mama terlambat ke toko bunga, sedangkan Mama bersikeras ingin memastikan Arum baik-baik saja. Mama masih trauma. Sampai di sekolah, dia dan Mama langsung menuju ruangan kepala sekolah menemui Pak Faizal dan Bu Fatma perwakilan guru BK.
"Ma." Arum menghentikan langkahnya. Tangannya menggenggam tangan Mama erat.
Nafas Arum tercekat. Kerongkongannya terasa kering. Dadanya sesak. Di ruangan itu selain Pak Faizal dan Bu Fatma, ada Dean dan seorang wanita yang parasnya mirip Dean. Itu ibu Dean. Arum belum pernah bertemu langsung, namun pernah melihat fotonya di rumah Dean.
"Ada mama, Rum."
Mama menggamit lengan Arum sambil menuntun Arum duduk di sampingnya. Dean sempat menatap Arum sengit. Wajahnya masih ada memar karena pukulan Boy. Pertemuan mereka tidak berlangsung lama. Ibu Dean minta maaf pada Arum dan Mama, juga pada pihak sekolah. Dean sudah dibawa ke psikiater dan sementara waktu akan berada dalam pengawasan dokter. Orangtuanya juga akan memindahkannya ke sekolah lain.
"Saya mewakili pihak sekolah meminta maaf sekali lagi, Bu Sarah." Fak Faizal menjabat tangan Mama setelah Dean dan ibunya pamit lebih dulu.
"Saya juga minta maaf, Pak. Tidak bisa menjalankan tugas saya untuk menjaga Arum dengan baik." Mama mebalas jabatan tangan Pak Faizah lalu merangkul Arum.
"Saya pastikan kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Saya sangat menyesali kejadian ini." Pak Faizal menepuk pundak Arum.
"Pak Faizal dan Bu Fatma saya permisi. Saya titip Arum di sekolah ya, Pak." Mama pamit lalu menggandeng Arum ke luar ruangan.
"ARUMI!!" Loli memeluk Arum erat seakan mereka sudah lama tidak bertemu. "Gue kangen banget sama lo. Lo nggak tahu gimana gue mau pingsan pas tau keadaan lo."
"Gue baik-baik aja."
Loli melonggarkan pelukannya. "Halo Tan. Apa kabar?" sapa Loli.
"Baik Loli. Tante titip Arum ya." Mama melirik Arum. "Mama ke toko ya, Rum. Pulang bimbel mama jemput."
Arum cemberut. "MA, Arus bisa sendiri."
Loli merangkul Arum. "Lo udah bisa ngomel lagi. Berarti lo udah sehat."
Mama tertawa. "Dari kemarin udah balik galaknya, Li. Tante pamit ya."
Loli mencondongkan tubungnya, meraih tangan Mama lalu mendekatkan ke keningnya. "Hati –hati ya, Tan."
Arum melakukan hal yang sama. Saat hanya tinggal mereka berdua di depan ruangan kepala sekolah, Loli kembali memeluk Arum. "Sumpah, gue kangen."
Arum meronta. "Udah deh. Diliatin orang tuh."
"Gue mah bodo amat." Tatapan Loli turun ke paperbag di tangan Arum. "Apaan nih asupan gizi buat gue?" Loli bertepuk tangan heboh. "Harusnya lo nggak perlu repot-repot." Dia mengusap matanya. "Duh, gue terharu."
Arum berdecak. "Bukan buat lo."
"Bukan buat gue?" tanya Loli cengo.
"Sori."
***
"Bestie!!!" panggil Boy.
Dia baru saja keluar dari perpustakaan dengan sebuah modul Matematika di tangannya. Baru saja berbelok ke arah kantin untuk membeli sebotol air mineral, dia melihat Arum berjalan ke arahnya. Boy diam di tempat ketika gadis itu berdiri di hadapannya mengulurkan sebuah paperbag biru muda lalu tersenyum tipis. Dan senyum itu hanya sepersekian detik sebelum wajahnya kembali datar.
Yang tadi itu bisa disebut senyum nggak sih?
Lupain. Yang tadi bibirnya nggak sengaja ketarik. Bukan senyum. Apalagi ke gue!
Nggak mungkin, kan.
"Hai," sapa Arum kikuk.
"Hai?" tanya Boy.
Dia merapikan letak kacamatanya kemudian mendongak. Memar di pipinya sudah tidak kelihatan. Boy bersyukur untuk itu. Karena melihat perempuan terluka seperti itu, hati Boy terasa nyeri Mungkin karena didikan Mami sejak kecil. Mami punya empat anak laki-laki, semua diajari untuk menghargai perempuan. Tidak pernah sekalipun terbersit di pikirannya berbuat kasar pada mahkluk bernama perempuan.
"Maaf nih ya. Lo udah beneran sehat, kan?"
Mata Arum melebar. Bibirnya dimajukan beberapa senti. Wajahnya cemberut. "Maksud lo?"
"Secara lo kan jijik banget sama gue." Boy mengedikkan bahu. Tangannya dikasukkan ke saku celana. "Terus tiba-tiba nyapa gue duluan pagi ini. Gue serem aja lo lupa ingatan.?"
"Nggak lucu."
Arum kembali dengan mode galaknya. Entah kenapa Boy senang sekali membuat gadis itu marah. Lucu saja rasanya melihat mata bulat itu melotot. Bibir mungilnya cemberut.
"Gue mau ke kantin nih? Lo mau ikut"
Arum menggeleng.
"Gue mau beli minum, habis dari perpus ngerjain soal MM, belum selesai satu soal tiba-tiba gue dehidrasi." Boy tersenyum. "Sekalian beli sarapan. Lapar juga nih gue."
"Nggak usah beli sarapan." Arum sedikit gelagapan. "Ini. Buat lo." Arum mengangsurkan paperbag biru muda ke hadapan Boy." Dia menggigit bibir bawahnya.
"Apaan nih?" tanya Boy heran. TubUhnya sediit menunduk memperhatikan ekspresi datar Arum. Perbedaan tinggi mereka membuat Arum harus mengangkat wajah. Dia diam sejenak menunggu respon gadis itu.
"Nih." Arum menarik nafas lalu menggoyangkan paperbag-nya kerana tidak kunjung diterima Boy. "Kotak bekal Mami lo. Gue balikin."
Boy meraih paparbag itu, mengeluarkan kotal bekal biru miliknya. Kening Boy berkerut lalu tiba-tiba dia tersenyum. "Lo buatin gue sarapan?" Mimpi apa gue semalam? Merasa bangga gue bisa dibawain sarapan sama mausia yang nggak pernah menganggap gue manusia."
Arum meremas ujung roknya. "Gue mau balikin kotak bekal. Tapi nggak enak kalau balikinnya kosong." Arum berdeham. Dia melirik ke lapangan basket kemudian kembali menatap Boy. "Sekalian gue bilang makasih. Kalau nggak ada lo malam itu, gue nggak tau gimana jadinya."
Boy tersenyum. Tanggal hari ini akan dia lingkari di kalender kamarnya. Seorang Arumi yang tidak pernah tersenyum, tidak pernah menganggapnya ada sebagai sesama penghuni bumi, dan melihatnya hanya seonggok Boy, manusia yang otaknya pas-pasan, hari ini dia menyiapkan sarapan pada Boy.
Apakah ini pertanda baik? Arumi mau menjadi temannya? Senyum Boy mengembang. Masih ada kesempatan membuktikan pada Papi kalau dia akan menang taruhan karena Arum akan menjadi gurunya. Dan Vale akan kembali padanya.
Eh, kemarin gue udah janji nggak mau manfaatin dia.
Dianya datang sendiri.
Rejeki anak sholeh.
Boy mendekat kemudian menepuk pundak Arum. Gadis itu tersentak. Boy mengerti dia masih trauma. Boy kembali menjaga jarak. "Lo harus lupain kejadian itu."
Arum mengangguk. "Lagi gue coba."
"Dan kalau lo masih nggak nyaman temenan sama gue, gue bisa ngerti karena lo pasti trauma. Tapi asal lo tahu, nggak semua manusia bisa lo samain kaya si manusia sok alim itu."
Arum tampak menghela nafas. Dia sempat menunduk. Matanya sedikit berair. Boy sempat merasa bersalah mengatakan hal itu padanya, tapi di satu sisi Boy merasa perlu berkata demikian. Arum tidak bisa menyamaratakan semua orang. Tentu saja Boy Anggara berbeda.
"Ini boleh gue buka?"
Arum mengagguk cepat. Dia kembali kelihatan antusias.
Boy tertawa. Dia mengangkat tutup kota bekal. Tawanya peralahan surut. Seperti gerakan lambat di film, dia meratapi isi kotak bekalnya. Dia menatap Arum. "Rum? Lo ngerjain gue?"
"Nggak."
"Ini rumput loh, Rum?" Boy menunuk irisan sayur di dalam kotak bekalnya. Ada sebuah senyum terbuat daro saus dan mayones. "Lo pikir gue sodaraan sama kambing?"
"Salad sayur bukan rumput." Arum mnegentakkan kakinya ke lantai.
Boy berdecak. "Sama aja."
"Kambing makan rumput bukan salad," balas Arum. "Pantesan nilai Biologi lo jelek. Bedain sayur sama rumput aja susah."
"Ini mah bukan sarapan namanya." Bor nenutup kotak biru ini. Mengembalikannya ke dalam papaerbag. "Gue kasih Aldo aja. Dia mah doyan sama ginian."
"Lo mau balikan sama mantan lo?" tanya Arum.
Boy mengangguk.
"Lo mau masuk FK?" tanya Arum lagi.
Boy menatap Arum malas. "Gue udah biang itu ratusan kali."
Arum menjentikkan jari. "Itu artinya otak lo harus pinter."
Boy mengdengkus. "Hubungan rumput. Maksud gue sayur eh salad. Hubunganya apa sama pinter?"
"Kalau mau pinter kata guru SD gue harus banyak makan sayur."
Boy pernah mendengar itu dari guru SD. Tapi ungkapan itu agar siswanya rajin makan sayur. Apakah Arum sebercanda itu memaksanya makan salad. Itu bukan tipe sarapan versi Boy. "Lo tega sama gue."
"Kalau mau belajar sama gue, lo harus rajin makan sayur. Itu juga kalau lo mau. Gue sih nggak maksa." Arum membalikkan badan lalu melangkahkan kaki, meninggalkan Boy.
"Cobaan apa lagi ini, Rum?"
Arum berbalik. "Dimakan nggak?"
Boy membuka kotak bekalnya, meraih sendok. Memasukkan sayur ke dalam mulutnya sampai penuh. "Gue makan nih rumput. Gue tunggu janji lo."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro