Chapter 25
Are you a camera?
Because everytime I look at you
I smile
👻👻👻
•Anonim•
______________________________________
Jakarta, 14 January
11.45 p.m
Ddddddrrrrrrrrtttttttttt
Ponselku bergetar, dengan cepat aku mengambilnya dan secara otomatis terbelalak ketika membuka pesan yang masuk.
From My Best Karina :
Mel, kata bebeb gue kak Jordan kecelakaan.
Setelah di hajar Jayden habis - habisan si brengsek itu juga kecelakaan? Aku jadi bingung antara harus bersyukur atau iba. Betapa hari ini adalah hari sialnya.
Jayden melihatku, menyadari ada kekagetan di raut wajahku setelah membaca pesan dari Karina, ia merampas ponsel yang masih kugenggam dan ikut membacanya. Sekilas ia smirk smile, aku dapat melihatnya.
"Kenapa senyum kayak gitu?" Tanyaku penasaran, mencoba membaca pikirannya tapi nihil. Mana bisa aku membaca jalan pikirannya yang tidak dapat di tebak itu? Sedangkan ia malah selalu tepat membaca pikiranku.
"Nggak boleh?"
Aku memicingkan mata, "Aneh, senyum lo itu kayak bahagia dan bangga?"
"Oh ya?" Tanyanya dengan nada setengah mengejek.
"Sorry ganggu, cuma mau nyaranin bos lepas kaosnya, soalnya kaos ini udah saya gunting lebar di bagian lukanya tapi tetep kurang efektif buat jahit lukanya." Ucap dokter bukan mencoba menengahi perdebatan kami yang baru saja akan dimulai.
"Gue pengen ke kamar mandi, di mana itu?" Tanyaku cepat sebelum Jayden merespon saran dokter untuk melepas kaosnya.
Ya kau benar, aku berusaha kabur, hanya tidak ingin melihatnya shirtless lagi. Selain itu sangat menggo... Ah sudahlah lupakan saja.
Lagi pula siapa yang tahan melihat tubuh Jayden yang mengg... Oh baiklah aku tidak akan membahas yang satu ini lagi.
Well, tampaknya Jayden dapat dengan mudah membaca gelagatku. Lihat saja sekarang ia tersenyum tipis seolah mengatakan,"hei nggak usah kabur, gue emang semenggoda itu kok." Dengan tatapan dan senyumnya yang tersirat itu.
"Bisa jalan sendiri?" Tanyanya diluar dugaanku. Kukira ia bakal mengatakan hal tersirat tadi tapi ternyata ia mengkhawatirkan kakiku.
"Oh iya bisa kok, bisa," jawabku sedikit gelagapan.
"Keluar ruangan ini belok kiri ada kamar, pake aja kamar mandinya, itu kamar gue." Ucapnya.
"Tapi bukannya lo bilang nggak boleh masuk kamar cowok sembarangan?" Tanyaku polos, yang membuat dokter menahan tawanya.
"Pilihannya cuma itu atau nggak usah ke kamar mandi. Soalnya nggak ada kamar mandi luar kamar." Katanya diselingi dengan sedikit senyuman.
Tentu saja aku tidak ingin di sini melihatnya shirtless. Jadi aku memutuskan untuk ke kamar mandinya saja. Sementara aku berusaha berdiri, Jayden sedang melepas kaosnya. Aku melirik sedikit lalu cepat mengalihkan pandangan, fokus berjalan pincang ke arah pintu.
(Anggap aja sama dokter ya ehe)
"Mel?" Panggilnya saat aku akan membuka pintu. Aku tidak berani menoleh. "Hati - hati jalannya."
Aku hanya mengangkat tangan membentuk tanda "ok" lalu mengatakan, "Jayden, gue minta lo di anastesi dulu sebelum di jahit nggak ada penolakan!"
Lalu aku keluar ruangan itu, berusaha menetralkan debaran jantungku akibat melihat tubuh shirtless-nya sekilas tadi kemudian mulai berjalan pincang mencari kamar yang di maksud Jayden. Beberapa langkah aku terpincang - pincang membuka kamarnya, dan seketika aroma mint Jayden menyeruak tercium. Aku menghirupnya. Aku suka sekali aroma ini. Aroma khas Jayden.
Aku mengendarkan pandangan untuk melihat sekeliling kamarnya yang berthema scandinavian mirip apartementnya. Tidak banyak barang, hanya ada single bad, meja nakas kecil di sampingnya, lemari yang tidak terlalu besar, sofa beserta meja berlatar belakang jendela besar memperlihatkan keadaan luar yang sedang mendung, pintu yang kuyakini kamar mandi dan gitar listrik lengkap dengan sound system tanpa peredam suara, bagian ini yang paling menarik perhatianku.
Setelah dipikir - pikir di apartementnya juga ada beberapa jenis gitar listrik, apa Jayden suka memainkan gitar? Rasanya aku belum pernah mendengarnya. Mungkin kalau luka punggungnya sudah sembuh aku akan memintanya memainkan gitar.
Dengan masih terpincang aku ke kamar mandinya, melihat cermin di washtafel terlebih dahulu. Di bagian pipiku ada bekas darah yang mengering. Pasti karena usapan tangannya tadi yang terkena darah. Aku menyalakan keran untuk membasuh darah tersebut, lalu melihat sekeliling kamar mandi, memutuskan mandi saja sekalian, mumpung di sini, bauku juga sudah seperti sampah mengingat berangkat ke gedung tua itu belum mandi apa lagi setelah bersih - bersih kamar kak Brian dan aksi - aksi di gedung tua tadi menambah jumlah keringatku. Lagi pula di sini ada bathtub, berendam air hangat mungkin akan menyenangkan sembari menunggu Jayden selesai di jahit lukanya oleh dokter.
Beberapa menit kemudian setelah mengisi bathtub dengan air hangat dan sabun Jayden yang beraroma mint, aku berendam dengan mengangkat kaki kiriku ke pinggiran bathtub agar bandagenya tidak terkena air. Rasanya rileks sekali, sambil memejamkan mata menikmati air hangat dan aroma Jayden. Setengah jam dengan posisi ini aku baru sadar tidak punya handuk atau baju ganti. How stupid I'm!!
Aku terpaksa telanjang dengan tubuh masih basah kuyup berjalan terpincang pelan - pelan agar tidak terpeleset menuju lemari, ingin meminjam baju dan celana pendek Jayden yang ada di lemari kamar ini.
Setelah berhasil mengambil baju Jayden yang hitam semua itu dengan asal dan juga celana pendek, aku memakainya lalu...
"Kenapa nggak minta tolong?"
"Astaga!!! Sejak kapan lo di sini?" Pekikku kaget dan panik memegangi dadaku sendiri melihat Jayden duduk di sofa sambil merokok dengan suara gemericik hujan di belakangnya. Dan ia shirtless. Aku dengan cepat mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku juga bodoh kenapa tidak melihat sekeliling dulu?
"Sejak lo di kamar mandi." Jawabnya datar.
"What?!!!" Teriakku langsung lemas terduduk di lantai. "Lo liat?" Tanyaku pelan.
"Emangnya kenapa?" Ucapnya kelewat santai.
Kenapa katanya? Kenapa katanya?!!!
"Jayden cabul!!!" Teriakku keras seraya menutup badanku sendiri yang sudah memakai baju hitam motif tengkorak dan celana pendek miliknya yang kebesaran. Lalu naik ke kasurnya dan meringkuk di balik selimut karena malu. Kepalaku kukeluarkan sedikit, mengintip, penasaran dengan reaksinya.
"Bukan salah gue," katanya acuh.
Kenapa reaksinya biasa saja? Apa aku sama sekali tidak menarik sebagai perempuan? Kenapa aku jadi kesal? Kau pasti tahu maksudku kan? Biasanya ketika seorang laki - laki melihat seorang perempuan telanjang, pasti...
Aduh, pokoknya kau pasti tahulah maksuku seperti apa!
Masih merurutki kebodohanku sendiri di balik selimut, ia bertanya,"lo ngapain sih?"
"Malu tau!!!!"
"Malu kenapa? Oh, tubuh bocah lo itu?" Tanyanya dengan wajah datar - datar saja.
Kok sakit ya mendengarnya mengatakan itu? Ternyata ia hanya menganggapku bocah. Well, kau hanya tidak lebih dari sekedar bocah baginya Mel.
Baiklah tampaknya reaksiku berlebihan, jadi aku duduk saja di single badnya sambil berusaha membiasakan diri dengan Jayden yang hobinya shirtless itu. Juga berusaha untuk tidak sakit hati mendengar ucapannya tadi, tapi bagian ini sedikit sulit. Mungkin jika kak Brian atau daddy yang mengatakannya aku tidak akan mempermasalahkan hal ini, tapi kali ini Jayden, orang yang kusukai. Bisa kau bayangkan bagaimana rasanya hatiku?
Jayden mematikan rokoknya yang masih setengah lalu berjalan mengambil gitar, mencolokkannya ke sound system, mencoba petikannya sudah sesuai atau belum. Aku dari tadi hanya memperhatikannya, karena ini pemandangan langka melihatnya mengotak - atik gitar, sambil berusaha mengabaikan kata - katanya yang menganggapku bocah tadi. Setelah puas ia berjalan membawa gitar itu dan duduk di sebelahku.
"Kenapa sih?" Tanyanya.
"Apa?" Tanyaku. Apa raut wajah sedihku terlalu jelas? Padahal aku berusaha terlihat normal.
"Kok cemberut gitu?"
Krrruuuucccuuuukkkkkk
Bagus, itu suara perutku. Aku baru sadar tadi belum sarapan dan sekarang sudah masuk jam makan siang.
"Bilang kalo laper, nggak usah cemberut gitu." Ujarnya yang membuatku tersenyum getir. Cabut ucapanku yang ia selalu dapat membaca pikiranku, Jayden kadang juga bisa salah tebak atau bahkan tidak peka. Dan aku? Tentu saja tidak akan mengatakan apa yang membuatku cemberut karena kata - katanya tadi.
"Yok, makan." Ajaknya hendak meletakkan gitar dan mencabut kabel - kabel yang baru saja di tancapkannya tadi.
"Tunggu," Sergahku sembari memegang tangannya. "Apa punggung lo nggak papa buat main gitar?"
"It's fine." Katanya sambil mengangkat bahunya.
"Satu lagu dulu please?" Pintaku karena tidak ingin ia sia - sia mempersiapkan gitarnya tadi, tidak ingin menyia - nyiakan kesempatan langka ini melihatnya memainkan gitar, dan juga aku sudah memastikan ia tidak merasa punggungnya sakit karena memainkannya.
Jayden menunjuk pipinya, isyarat agar aku menciumnya sebelum mulai memainkan gitar. Aku sedikit menghembuskan napas pelan, berusaha mengabaikan rasa sakit hati tadi. Tenang Mel, kau cuma bocah, anggap saja umurmu lima tahun sedang merajuk minta dibelikan permen dengan syarat mencium pipinya. Aku mendekat hendak mencium pipinya ia malah menoleh, alhasil, aku mencium bibirnya.
"Hei curang!" Protesku dibarengi smirk smilenya. Lalu Jayden mulai beralih ke gitar dan memetiknya dengan pick. Bukan genjrengan, melainkan petikan - petikan yang awalnya lambat berubah cepat dengan jari - jarinya yang lihai mengganti cord - cordnya dengan cepat juga. Aku ternganga, dalam sekejab rasa sakit hati tadi berubah menjadi takjub. Persis seperti bayi yang tadainya menangis lalu berhenti dan gembira saat sudah dibelikan permen.
Aku memperhatikannya, melihat ia sangat menyatu dengan alunan lagu, Jayden seperti memberi nyawa pada setiap petikannya. Ya, kau benar, ia lumayan keren, maksudku sangat keren.
"Gue baru tau lo main melody," Ucapku berbinar - binar ketika ia mengakhiri lagunya dengan menggoyang tremolo arm gitarnya. "Lagu apa itu tadi?" Tambahku.
"Dragon Force." Katanya. "Gue juga bisa main bass, but I love Melody more." Tambahnya sambil melihat ke arahku dengan tatapan itu. Tatapan yang membuatku tidak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tatapan yang mampu menghipnotis seluruh tubuhku untuk merespon setiap perlakuannya seperti sekarang, ketika ia meletakkan gitarnya sambil terus menatapku. Memegang pipiku, perlahan memajukan wajahnya dan menutup mata akan...
Kruuucuuuukkkk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro