
Bab 11
Reiki memarkirkan sepeda motornya di depan gerbang rumah Xavera. Rumah berlantai satu itu tampak sepi. Pintu depan tertutup, begitu juga jendela kaca di kedua sisi. Reiki mengirim pesan pada Xavera untuk menanyakan apakah cewek itu di rumah atau tidak. Gerbang rumahnya tergembok. Motor Scoopy yang dikendarai Xavera juga tidak ada di sana.
Reiki menunggu beberapa menit. Namun, pesannya belum dibaca cewek itu. Ia merasa kesal sekaligus khawatir. Jangan-jangan Xavera mengirim alamat rumah orang lain padanya. Reiki semakin gelisah. Ia mengamati rumah sekitar, berharap ada orang yang bisa ia tanya. Namun, semua rumah tampak sepi. Reiki menggenggam besi pagar, mengintip ke area pekarangan rumah yang ditanami rumput manis dan beberapa bunga di pot.
Reiki memekik kaget saat telinganya dikagetkan suara klakson tepat di belakangnya. Cowok berkaos biru muda itu memegang dada sembari berbalik. Ia menghela napas, kemudian menyingkir dari gerbang. Ia menatap tajam pada cewek yang sudah membuat jantungnya nyaris melompat.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun berdiri di motor. Ia berdiri dipijakan, sementara kakaknya duduk di belakangnya. Anak laki-laki berambut tipis itu tertawa senang melihat ekspresi Reiki. Hal itu pula yang memaksa Reiki menyunggingkan senyum. Tadinya, ia ingin mengumpat. Namun, tawa dan lesung pipi bocah itu membuatnya luluh.
"Lo ngapain ngintip dari gerbang?" tanya Xavera seraya menahan tawa. "Mau maling lo, ya?"
Reiki menatap sinis.
"Enak aja, lo. Emang gue kelihatan kayak maling?"
Xavera berhenti tertawa. Ia bergumam sejenak, tetapi sebelum ia berpendapat, si kecil lebih dulu berbicara.
"Om ganteng, kok," kata si kecil dengan suaranya yang menggemaskan. "Om pacal Kak Safela, ya?
Reiki terkesima mendengar bocah itu berbicara. Apalagi si kecil tidak bisa mengucapkan "r" dengan baik. Reiki bahkan menyukainya sejak melihat anak itu tertawa.
Reiki menggaruk kepala. Ia ingin sekali mengatakan ia dan Xavera memang berpacaran, sebagai balasan karena Xavera sudah mengerjainya beberapa kali. Namun, belum sempat ia menjawab, Xavera menyela lebih dulu.
"Bukan, Dheo," jawab Xavera lembut. Ia mengusap pelan kepala adiknya yang basah oleh keringat. "Om ini mau nganter paket."
Reiki memelotot. Xavera menggigit gigi, mengepalkan tangan pada Reiki.
Cowok itu menyerah. Ia tidak tega melihat si kecil kepanasan di luar. Ia lantas menggeser motornya, membiarkan Xavera membuka gerbang. Xavera masuk lebih dulu, memarkirkan motornya di depan rumah, disusul oleh Reiki. Cowok itu menutup gerbang.
"Jangan lupa gerbangnya digembok, ya."
Reiki menoleh, termenung sejenak. Namun, Xavera sudah masuk menenteng kantung plastik. Akhirnya ia menurut. Reiki menggembok gerbang, kemudian menyusul Xavera yang sudah masuk lebih dulu.
Rumah ini terlihat rapi dan cukup luas. Penataan ruang yang baik membuatnya terlihat lebih luas meski diisi banyak perabotan. Temboknya dicat putih polos, senada dengan plafon dan lampu yang menggantung. Lantai keramik motif marmer berwarna kuning keemasan membuat rumah ini terlihat mewah.
Sofa berwarna cokelat muda mengisi ruang tamu. Meja TV berdiri rapat dengan tembok di depan sofa. Beberapa figura menggantung di dinding. Reiki tak lagi melihat Xavera begitu ia masuk. Ia hanya mendengar samar-samar suara dari arah belakang rumah. Mungkin dari dapur.
Cowok itu meletakkan ranselnya di sofa. Ia mengamati setiap foto yang tergantung di sana. Ia tertarik pada beberapa foto. Pertama foto anak kecil mengenakan gaun merah muda berdiri di tepi pantai. Anak itu mengenakan topi berpinggiran lebar berwarna senada dengan pakaiannya. Tak perlu bertanya, Reiki tahu itu Xavera. Tanpa sadar, cowok itu tersenyum melihat kelucuan Xavera sewaktu kecil.
Ia berpindah ke foto kedua. Foto pengantin yang terlihat sudah lama, tetapi wajah di sana masih terlihat jelas. Reiki mengangguk mengamati foto itu, tanpa sadar air matanya luruh. Ia pernah melihat foto serupa dipajang di dinding rumah mereka. Bahkan jauh lebih besar dari foto ini. Namun, saat ia memasuki jenjang SMA, orang tuanya mulai membicarakan perceraian. Semua foto pernikahan mereka diturunkan dan disimpan ke gudang.
"Om, itu Papa sama Mamanya Deo," ucap Dheo yang tiba-tiba datang tanpa sepengetahuan Reiki. Cowok itu buru-buru mengusap air matanya. Ia tersenyum, kemudian berjongkok di samping Dheo untuk menyamai tinggi si kecil.
"Papa Dheo ganteng, ya, kayak kamu," puji Reiki. Dheo tersenyum karena disanjung. Reiki merangkul pundak bocah itu. "Mama kamu juga cantik, kayak Kakakmu." Reiki memelankan suara pada kalimat terakhir, takut Xavera mendengarnya.
Dheo terkikik. Ia selalu senang jika ada yang memujinya atau kakaknya.
"Tapi Papa Deo udah di sulga," ucap Dheo tanpa mengurangi rasa senangnya. Ia tampak bahagia mengatakan kalau ayahnya sudah tiada.
Reiki nyaris meneteskan air mata, tetapi ia berusaha menahannya. Ia terharu melihat si kecil begitu kuat dan tegar menerima kenyataan bahwa ia tak lagi punya ayah. Mungkin, Dheo belum paham sepenuhnya apa makna "sudah di surga", tetapi tetap saja. Dheo anak yang kuat dan periang.
"Ya, Papa Dheo sudah bahagia di surga," ucap Reiki. "Pasti Papa bangga punya anak cerdas seperti Dheo."
Wajah Dheo berubah cemberut. Ia memanyunkan bibir. Reiki merasa tak enak. Ia takut telah salah bicara. Cowok itu lantas menggendong Dheo, memangkunya duduk di sofa.
"Dheo kenapa sedih?"
"Kata Kak Safela, Deo nakal," adu si kecil. Wajahnya masih terlihat murung. "Mama juga suka bilang sama Deo, 'Deo gak bole nakal, ya sama Kakak' gitu."
Reiki tersenyum gemas. Ia ingin sekali mencubit pipi Dheo. Ia tak pernah merasa sebahagia ini. Ia pernah berharap punya adik. Namun, ia sadar. Keluarga mereka sudah tidak harmonis sejak ia lahir. Ayahnya mulai suka pulang tengah malam. Bahkan kadang tidak pulang.
Melihat Dheo, ia seperti melihat adiknya sendiri. Dheo akan menjadi alasan tersendiri baginya, agar tetap semangat menjalani hidup.
"Dheo anak baik, kok," ucap Reiki. "Tapi, Dheo tetap harus patuh apa kata Kak Xavera. Karena itu demi kebaikan Dheo juga. Mereka sayang kok sama Dheo."
Bocah itu mengangguk, kemudian tersenyum. Ia teringat satu hal.
"Nama Om siapa?"
Reiki tersenyum. Ia tidak menyangka Dheo akan menanyakan namanya.
"Panggil aja Kak Iki," jawab Reiki. "Jangan panggil, Om. Kan, masih anak sekolah."
Dheo menggeleng. "Deo mau panggil om aja. Enggak mau yang lain."
Reiki tersenyum sembari mengangguk. Sekarang ia tahu kenapa Xavera menegurnya bahkan mengatakan ia nakal. Bocah itu sedikit keras kepala, mirip dirinya. Namun, Reiki tidak bisa mengesampingkan betapa menggemaskannya bocah laki-laki itu.
"Ya, deh. Panggil Om juga boleh," jawab Reiki.
Dheo tersenyum.
"Dheo duduk di sini," ucap Xavera memperingatkan adiknya sembari menunjuk sofa yang kosong di sebelah Reiki. "Enggak sopan gitu sama tamu."
Dheo menggeleng. Ia memanyunkan bibir sembari melipat tangan.
"Udah, biarin aja," ucap Reiki. "Dheo baik kok, gemesin lagi. Ya, kan Dheo?"
Dheo mengangguk seraya melayangkan tatatpan tak suka pada kakaknya. Ia merasa menang karena ada yang membela.
"Maaf, ya, kalau dia nakal," ucap Xavera. Ia meletakkan teh obeng di meja, kemudian duduk di sofa. "Dia emang suka ngoceh gitu. Jadi, enggak usah didengerin."
Reiki tersenyum. Kemudian ia teringat foto pengantin tadi.
"Mama lo ke mana?"
"Mama gue kerja," jawab Xavera sembari mengeluarkan buku dari ransel di sofa. Ia menggeser gelas teh obeng di meja, kemudian meletakkan buku pelajaran dan buku tulis di sana.
"Terus siapa yang jagain Dheo kalau lo sekolah?"
Xavera menoleh.
"Dia dititip ke tetangga sampai gue pulang. Setelah gue pulang, gue yang jagain sampai mama pulang kerja."
Reiki mengangguk. Ia cukup bersyukur, hidupnya tidak dibebankan tanggung jawab untuk mengurus anak kecil setiap pulang sekolah.
"Sekarang lo tahu kan, kenapa gue nolak buat belajar bareng?" tanya Xavera. "Bahkan buat rekam video yang gue kirim aja, gue harus maksa nih bocah buat tidur. Kadang kalau dia enggak mau, ya gue harus nunggu sampai mama pulang."
Reiki merasa tak enak. Selama ini ia merasa bahwa Xavera hanya beralasan mengatakan ia sibuk. Sekarang ia tahu, cewek itu memiliki tanggung jawab. Namun, itu tak lagi jadi masalah. Ke depannya ia akan datang ke sini lebih sering. Ia bisa membantu menjaga Dheo di sela proses belajar mereka.
"Dheo, Kakak sama Om mau belajar," ucap Xavera. "Dheo main sendiri dulu, ya. Nanti kalau Kakak sudah selesai belajar, kita main bareng."
Dheo menggeleng.
"Gak mau," ucapnya. "Deo mau main sama Om Iki."
Xavera menatap Reiki, mengisyaratkan agar cowok itu membantu.
"Dheo, Om sama Kak Xavera mau belajar dulu, ya," kata Reiki lembut. "Dheo kan anak pintar, anak baik. Nanti kalau Om udah selesai belajar, Om bawa Dheo jajan, ya."
Dheo terlihat senang. Ia memekik kegirangan.
"Janji ya, Om?"
"Ya, janji.".
Dheo melompat dari pangkuan Reiki. Bocah laki-laki itu menarik keranjang mainan di rak meja TV. Ia menyerakkan mainannya di lantai, lalu bermain tanpa memedulikan tatapan mengintimidasi dari kakaknya.
"Udah biarin aja," ucap Reiki. "Nanti aku bantu beresin."
Xavera menarik napas. Reiki ada benarnya. Ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk belajar. Jarang sekali adiknya itu mau dibujuk.
Reiki dan Xavera menghabiskan waktu dua jam untuk belajar dan mengerjakan latihan soal. Reiki tampak antusias menyimak penjelasan dari Xavera, dan ia mendapat nilai delapan dari soal latihan yang diberikan Xavera.
"Lo cepat juga nangkap pelajarannya," ujar Xavera setengah menyindir.
Reiki tersenyum.
"Kan gue udah bilang, kalau belajar langsung kayak gini gue lebih cepat pahamnya," jawab Reiki membela diri.
"Iyain aja, deh," kata Xavera. "Eh, Dheo mana, ya?"
Suara Dheo tak lagi terdengar. Xavera bangkit berdiri, menilik ke balik sofa tempat Dheo bermain. Ternyata bocah itu tertidur dengan mainan dinosaurus di tangan. Xavera menggeleng. Reiki ikut berdiri, kemudian menghampiri Dheo.
"Mau dipindahin ke mana?" tanya Reiki. "Biar gue bantu angkat."
"Enggak usah. Biar gue aja."
"Lo, yakin kuat angkat dia?"
Xavera terdiam. Bobot tubuh Dheo memang berat. Xavera selalu memaksa Dheo untuk tidur di kamar setiap kali anak itu mulai menguap.
Reiki langsung mengangkat Dheo. "Ke mana?"
Xavera berjalan lebih dulu, kemudian membuka pintu kamar paling dekat ke ruang tamu. Reiki membaringkan bocah itu di tempat tidur. Reiki keluar lebih dulu, disusul Xavera yang menutup pintu dengan pelan.
Mereka kembali duduk ke sofa.
"Makasih, ya, udah bantuin gue," kata Xavera. "Awalnya gue kira Dheo bakal ngerusuh. Tapi, ternyata dia cocok sama lo."
Reiki tersenyum.
"Anggap aja balas budi gue karena lo udah bantuin gue," kata Reiki.
Cowok itu melirik jam tangannya. Sudah pukul 16.20. Ia menyeruput teh obeng di gelasnya yang tersisa setengah. Xavera juga melakukan hal yang sama.
"Gue balik sekarang, ya," ucap Reiki. "Makasih teh obengnya. Manisnya pas, kayak kamu."
Xavera terbatuk saat menyeruput teh obeng miliknya. Ia menyembur cairan di mulutnya ke meja.
"Maaf, gue enggak maksud bikin lo kaget."
Xavera mengeringkan pipinya dengan tisu, kemudian mengeringkan meja.
"Ya, enggak apa-apa," jawab Xavera. "Udah, pulang sana."
"Ngusir?"
"Kelihatannya?"
Reiki tertawa kecil. Semakin lama, ia semakin gemas dengan cewek itu. Selama belajar. ia mencuri-curi pandang untuk melihat wajah cewek itu. Ia terlihat cantik. Reiki tak bisa menahan diri, jika suatu saat ia jatuh hati pada Xavera.
Ia bangkit berdiri.
Reiki melirik mainan yang berserakan di belakang sofa.
"Enggak apa-apa. Gue aja yang beresin," ucap Xavera.
"Lo enggak apa-apa, kan, gue tinggal?"
"Aman." Xavera mengangkat jempol.
Terima kasih sudah membaca!
Jangan lupa vote dan komen, ya.
Salam manis salam gemoy..!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro