Bab 5
Dengan tatapan masih tidak percaya Aaron menuruni anak tangga. Ada perasaan bimbang antara memilih memasuki ruangan ini atau tidak. Namun, rasa penasaraannya jauh lebih tinggi, membuatnya berani berbuat nekat untuk terus memasuki tempat ini.
Suara decitan kembali terdengar membuat Aaron sedikit terlonjak. Ia menatap ke atas saat pintu itu secara otomatis menutup, jelas membuat Aaron langsung terbelalak. Jika pintu ini terkunci, lantas bagaimana ia bisa keluar?
Seketika itu wajah kepanikan tercetak jelas pada wajah Aaron saat pintunya tertutup rapat. Ia pun mencoba mencari tombol yang bisa membuat pintu kembali terbuka. Namun, sudah hampir setengah jam mencarinya, ia tidak menemukan apa-apa. Aaron mengacak rambutnya frustrasi dan terduduk lesu di tangga, tepat di bawah pintu.
Setelah merenung beberapa saat, daripada Aaron membuang waktu secara cuma-cuma, lebih baik ia memasuki tempat ini lebih dalam. Dirasa itu ide terbaik, ia pun kembali menuruni anak tangga dengan hati-hati.
Tempat ini terlihat seperti bangunan kuno tapi bersih, dan sepertinya memang ada seseorang yang merawat. Bisa dipastikan seseorang itu adalah Lydia.
"Bukankah ini rumus tentang relativitas Albert Einstein?" gumamnya saat melihat rumus Fisika yang tertempel pada dinding.
Aaron terdiam lalu memikirkan sesuatu. "Teori ini tentang waktu yang dipengaruhi oleh kecepatan." Ia menggigit bibir bagian bawah sambil melipat kedua tangan di dada. "Yang berarti waktu bisa melambat atau cepat tergantung pada bagaimana melakukan kecepatan untuk bergerak."
Pria itu menoleh saat mendapati sebuah tabung dengan banyaknya kabel. Ada juga beberapa komputer di sampingnya. "Apakah mungkin bisa melakukan perjalanan waktu dengan benda ini, ya?"
Ia mendekat lalu meraba-raba takjub pada tabung yang ada di sana. Pria itu baru ingat bahwa ayah Anna adalah seorang ilmuwan.
Fakta itu berhasil membuat Aaron membulatkan matanya tak percaya. "Apakah ini yang dinamakan mesin waktu?" Tak henti-hentinya Aaron melebarkan matanya dengan mulutnya yang menganga. "Jika iya, apakah itu sebabnya ibu Anna menyembunyikan tempat ini?"
***
Setelah dirasa puas dan cukup tenang untuk menyendiri di kamar, Anna meraih ponselnya yang tergeletak di kasur.
50 panggilan tak terjawab dari Aaron.
Notifikasi itu sontak membuat Anna kaget, membuatnya langsung membersihkan sisa-sisa air mata di wajah. Dengan segera ia membuka jendela kamar dan melihat situasi di luar, menatap rumah Aaron dari balik jendela rumahnya—yang memang rumah mereka saling berhadapan dan hanya dibatasi dengan jalan raya kecil.
Sepi.
Dilihat dari sini kamar Aaron sepertinya tidak berpenghuni. Biasanya jika Aaron ada di kamar pasti membuka jendela meskipun tirainya ditutup. Anna paham betul bahwa Aaron lebih suka angin alami daripada menghidupkan AC.
Anna mengembuskan napasnya pasrah lalu membalikkan badan. Namun, dibuat terkejut saat kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja berada di kamarnya. "Aaron!" Sang pemilik nama itu langsung membekap mulut Anna agar tidak terdengar dari luar. "Kau mengagetkanku!"
"Aw! Sakit, An!" keluh Aaron sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke udara saat Anna malah menggigitnya.
"Bukannya pintu kamar kukunci, ya? Kau lewat dari mana?"
Belum sempat Aaron menjawab, suara teriakan dari lantai bawah mengalihkan atensi keduanya.
"Ibu!"
Sekarang Anna dan Aaron sedang membawa Lydia ke rumah sakit. Tak henti-hentinya Anna menangis saat ibunya tak sadarkan diri dalam dekapan, sedangkan Aaron yang berada di kursi pengemudi melajukan mobilnya melewati jalan pintas agar segera sampai ke tempat tujuan.
Sesampainya di sana, petugas rumah sakit datang membawa brankar dorong dan membawa Lydia di ruang instalasi gawat darurat.
Ada perasaan kesal saat Anna tidak diperbolehkan masuk ke ruangan untuk menemani ibunya menjalani pemeriksaan.
Muntah darah yang dialami Lydia saat tidak diketahui penyebabnya sudah mengering di telapak tangan Anna. Bahkan bajunya juga ikut berwarna merah saat sebelumnya mendekap Lydia ketika dalam perjalanan.
Aaron yang melihat itu pun ikut gelisah. Baju beserta tangannya juga ikut berwarna merah segar yang telah mengering karena dia yang menggendong Lydia ke mobil.
"Gimana katanya, An? Tante baik-baik aja?" tanya Aaron panik saat Anna baru saja keluar dari ruang dokter saat sebelumnya dipersilakan masuk ketika pemeriksaan Lydia telah selesai.
"Ibu sepertinya mengalami setres, apalagi ibu memang memiliki penyakit tukak lambung dan penyakit Gerd," tungkas Anna penuh penyesalan. "Ini pasti salahku, Ar, karena udah buat ibu setres kayak gini."
Melihat buliran bening yang akan tumpah, membuat Aaron langsung membawa kepala Anna dalam pelukan. Menyiapkan tempat dan ruang ternyaman agar sahabatnya ini lebih leluasa mengeluarkan tangis hingga terisak pada bahunya.
Perlahan Aaron mengusap punggung Anna dengan lembut, membuat wanita itu semakin menangis. Aaron mengecup puncak kepala Anna dengan kasih sayang agar lebih memberikan kenyamanan. Entah berpelukan dengan Anna seakan membuat detak jantungnya berpacu lebih cepat. Aaron benci jika sahabat kecilnya ini tampak menyedihkan. Aaron tidak menyukai itu. Ia benci situasi ini, membuat matanya berkaca-kaca seperti sekarang.
Dengan segera Aaron langsung mengusap air matanya saat salah satu perawat keluar dari ruangan dan mempersilakan keluarga pasien untuk masuk ke ruangan saat Lydia sudah tersadar.
Anna pun melepaskan diri dari pelukan Aaron, membuat pria itu membantu Anna untuk membersihkan sisa-sia air mata yang mengotori wajah cantik sahabatnya.
"Jangan ngeliatin kalo kamu lagi sedih di hadapan ibu, ya."
Anna mengangguk lalu tersenyum.
"Sebelum itu kamu bersihin badan dulu dan ganti baju." Melihat ekspresi Anna yang mudah ditebak, pria itu juga ikut tersenyum. "Tenang aja, tadi aku udah beliin baju baru buat kamu. Untung aja di rumah sakit ini ada yang jualan baju di kantin."
Anna meraih katong plastik berisi pakaian yang diberikan oleh Aaron lalu mengucapkan kata terima kasih.
"Maaf, ya. Adanya baju itu soalnya." Pria itu menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal saat Anna mengambil baju dari kantong plastik dan melihat pakaian tersebut.
"Kaos gambar Frozen?" kata Anna yang disusul suara tawa. Pasalnya pakaian ini lebih cocok digunakan untuk anak kecil.
Aaron juga ikut tertawa. Melihat Anna yang kembali tersenyum seperti sekarang entah mengapa ada rasa kepuasaan diri. "Daripada nggak ada lagi, kan?" Pria itu kembali tertawa. "Buat sementara aja, An. Bentar lagi aku bakalan balik terus ambilin baju ke rumahmu."
"Makasih, ya."
Aaron berdeham. "Sekalian nitip apa lagi? Mumpung bentar lagi aku mau balik."
"Maaf, ya. Jadi ngerepotin kamu."
"Enggaklah. Aku malah seneng kalo direpoti sama kamu, An." Entahlah mengapa ada gelenyar aneh saat Aaron ditatap seperti itu oleh Anna. Dunia seakan berpusat pada wajah cantik sahabatnya. Perasaan aneh yang biasanya tidak pernah ia rasakan.
Aaron tersenyum saat Anna mulai tersenyum padanya. Teruntuk pertama kalinya Aaron merasakan kupu-kupu yang seperti terbang di perut saat berhadapan dengan Anna.
Apakah aku mulai menyukai sahabat kecilku ini?
Di detik selanjutnya Aaron menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan pikiran tersebut. Ia jadi teringat pada ruangan bawah tanah. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan hal itu pada Anna.
***
Jangan lupa meninggalkan jejak
30 April 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro