Bab 4
Anna masih tenggelam dalam pikirannya hingga ketukan pintu membuat Lydia bangkit. Siapa yang bertamu di pagi hari seperti ini?
Lagi, suara teriakan ibunya berhasil membuat Anna tersadar dari lamunan. "Kenapa, Bu?" tanya Anna saat Lydia sudah berada di dapur.
"Ini tasmu?"
Anna masih tertegun di tempat. Matanya menatap tajam tas yang kini berada di genggaman Lydia. Bukankah tas itu hilang karena dicopet saat ingin membelikan ibunya ponsel baru? Mengapa bisa?
"Kapan kamu dari New York?" Nadanya perlahan memudar. "Emangnya kamu ngapain di sana, An?"
"Siapa yang ngasih tas ini, Bu?" Bukannya menjawab, Anna malah sibuk celingukan mencari seseorang yang dimaksud.
"Anna!" sentak Lydia tak sabaran saat diabaikan. Sikap Anna barusan diartikan sebagai bentuk penolakan. "Ibu ini nanya sama kamu, ngapain di New York?"
Melihat Lydia yang marah dengan nada tinggi, membuat Anna gelagapan. Pasalnya ibunya tak pernah semarah ini. "Kamu ketemuan, ya? Kamu punya pacar di sana sampai pergi diam-diam tanpa seizin Ibu?"
Mendengar hal itu napas Anna seakan tercekat di tenggorokkan. Dadanya kembang kempis dengan sekuat tenaga menahan emosi agar tidak tumpah. Apalagi saat semua yang dituduhkan oleh ibunya itu tidak benar.
Anna paling benci jika harus dimarahi dengan nada tinggi, ia paling tidak bisa dibentak. Takut jika kelepasan dengan kata-kata yang keluar dari mulut Anna akan menyakiti hati ibunya, wanita itu memilih diam, memilin ujung bajunya sambil menggigit bibir bagian bawah dengan mata yang terpejam.
"Kenapa diam? Udah ngapain aja kamu sama pacarmu di sana?"
"Ibu!"
Ini sudah keterlaluan, Anna sudah tidak tahan. Takut jika diteruskan berbicara akan bercampur tangis, ia pun memilih untuk mengambil tindakan. Ia melangkah menuju kamarnya dan mengambil sesuatu dari sana, kemudian mengeluarkan box berisi ponsel terbaru dari papper bag dan meletakkannya di meja, lalu melemparkan papper bag itu tepat di wajah ibunya.
"Ini, Bu! Aku rela kerja paruh waktu demi membelinya langsung di New York! Bahkan aku rela kehujanan itu semua demi, Ibu! Dan sekarang ini balesannya? Hah, iya?"
Bagaikan disambar petir, Lydia langsung mematung di tempat. Fakta itu seperti menamparnya tapi tak berwujud. Entah karena perkataan anaknya yang benar, atau cara saat berkata dengan nada tinggi yang membuat dadanya sedikit ngilu. Sakit sekali.
Ternyata semua kekhawatiran Lydia hanya sekadar ketakutan tak bersumber, hanya sekadar ketakutan yang padahal cuman ada di kepalanya saja. Anna tidak melakukan semua perbuatan yang ia tuduhkan.
Berbeda dengan Anna, ada perasaan takut kelihatan menangis saat pandangannya sudah mulai kabur karena air mata. Anna langsung berlari menuju kamar dan menumpahkan emosinya yang sempat tertahan.
Situasi ini benar-benar berbeda dari bayangan Anna. Ekspresi keterkejutan saat memberikan kado yang Anna maksud bukan yang seperti ini. Semuanya tidak sesuai rencana. Ada rasa penyesalan saat Anna malah memperlakukan ibunya seperti tadi. "Maaf, Bu."
Di lain sisi, masih ada kejanggalan di benak Anna mengenai keberadaan tasnya yang tiba-tiba berada di rumah, siapa pengirim tas itu?
***
Ternyata suara teriakan itu terdengar sampai rumah Aaron, memastikan bahwa sahabatnya tidak kenapa-kenapa. Pria itu dengan santainya memasuki rumah Anna saat melihat Lydia terduduk lesu di kursi dapur, menatap pasrah ponsel yang berada di genggaman.
Sesekali Lydia menyeka air matanya yang merembes membasahi pipi, setelah Aaron amati lebih lanjut ternyata Lydia sedang menangis tanpa suara. Aaron menyimpulkan bahwa teriakan itu karena ada pertengkaran antara Anna dan ibunya.
Aaron ingin sekali memarahi Anna karena sudah berani membuat ibunya menangis seperti ini, sebagai sahabat alangkah baiknya jika harus saling mengingatkan. Namun, masalahnya adalah rute untuk ke kamar Anna harus melewati dapur, sedangkan dirinya tidak ingin mengganggu Lydia yang sepertinya butuh waktu sendiri. Akan malu rasanya jika Lydia ketahuan menangis sepertu itu, apalagi posisi Aaron di sana adalah orang luar yang tak pantas ikut campur dalam masalah keluarga ini.
Pria itu memutar otak, melihat ke sekeliling. Mencari cara agar bisa ke kamar Anna tanpa melewati dapur. Ya, karena tangga untuk mengakses di lantai dua hanya ada satu—di dekat dapur. Melihat adanya jalan buntu, Aaron pun memutuskan untuk keluar dari rumah tersebut dan mencari cara lain.
Sesampainya di luar, Aaron langsung melakukan panggilan telepon pada Anna tapi tidak ada respons. Berteman sudah lebih dari 10 tahun membuat Aaron sudah hafal betul sifat sahabatnya itu. Pasti sekarang Anna sedang menyendiri dan menangis di kamarnya.
Entah mengapa saat melihat pertama kalinya Lydia menangis seperti itu seakan membuat hati Aaron terenyuh dan ingin bertemu dengan Anna agar sahabatnya itu bisa menurunkan ego dan bisa segera meminta maaf.
Anna adalah wanita yang memiliki sisi gengsi yang tinggi. Dia akan melakukan silent treatment sampai lawan bicaranya yang meminta maaf terlebih dahulu. Parahnya lagi Lydia juga memiliki sifat yang serupa. Jika seperti ini terus-terusan emosi itu akan tertumpuk dan menjadi biang masalah di keluarga tersebut.
Jika selama ini Aaron hanya bisa melihat Anna saat selesai bertengkar akan memutus komunikasi untuk beberapa waktu--karena biasanya Anna akan melakukan itu juga padanya--tapi tidak untuk kali ini. Aaron takut masalah ini akan menjadi rumit hingga membuat hubungan antara anak dan ibu itu akan semakin parah. Lebih baik mengkomunikasikannya sekarang dan masalah selesai daripada sampai berminggu-minggu berkedok ingin menenangkan diri.
Entah sudah kesekian kalinya tapi Anna tak kunjung menerima panggilan telepon dari Aaron. Pria itu tak putus asa, ia terus berusaha untuk mencari cara. Jika panggilan telepon tidak bisa, alternatif lainnya berarti langsung menerobos masuk saja ke kamar Anna.
Manjat.
Itulah ide pertama yang keluar ketika Aaron menatap jendela kamar Anna saat sebelumnya sudah memanggil namanya dari luar jendela—tentu dengan suara setengah berbisik karena takut terdengar oleh Lydia--tapi tetap tidak ada tanggapan.
Di detik selanjunya Aaron menggeleng. Mustahil manjat karena bagaimana pun Aaron tetap membutuhkan alat bantu atau apa pun itu agar bisa sampai di atas sana.
Ingin pulang pun untuk mengambil tangga lipat dirasa percuma karena ia baru ingat tangga lipat miliknya sedang dipinjam oleh sepupu yang belum dikembalikan hingga sekarang.
Pria itu melihat sekitar, sebenarnya ia ingin melempari jendela itu dengan batu agar Anna bisa keluar tapi terakhir kalinya melakukan itu terlalu kencang hingga menyebabkan kaca jendela pecah, kurang lebih enam bulan Anna tidak menyapanya. Sejak itu Aaron tidak ingin mengulanginya lagi.
Aaron terdiam lalu berpikir lagi. Ia pun memutuskan untuk memutari rumah Anna, berharap ada sesuatu yang bisa ia temukan hingga dapat membantunya sampai di atas sana.
Ia berjalan di belakang rumah Anna, hingga pijakkannya terdengar seperti denyitan kayu tapi terdengar berbeda saat Aaron menginjak pada bagian lain. Ya, memang sebelumnya Lydia selalu melarangnya jika dia atau Anna bermain di bagian ini, dan Aaron melupakan hal itu.
Sisi ini memang terlarang yang siapa pun tidak boleh berada di sini, terkecuali Lydia dan setelah dipikir-pikir, Aaron pun baru menyadarinya.
Senyuman nakal tiba-tiba saja tercetak jelas di wajah Aaron. Pria itu celingukan mencoba memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar lalu berjongkok, dan mencoba mencari sesuatu.
Entah bagaimana, tangannya tidak sengaja menggeser sesuatu. Tiba-tiba saja rerumputan yang sebelumnya terdengar suara denyitan itu bergetar lalu terbuka. Aaron yang melihat itu pun langsung terbelalak tidak percaya.
Apa ini? Seperti ruangan bawah tanah?
***
Jangan lupa meninggalkan jejak
29 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro