0. Jian Li
Senyum gadis itu membunuh dirinya.
Jian Li ke sana hanya untuk berkumpul bersama teman-teman dari departemennya seperti biasa, dan mungkin, pergi minum-minum sebelum Jian mabuk—tidak terlalu mabuk karena Jian ingin mempertahankan sebagian karismanya di hadapan para gadis. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang luar biasa pula.
Ketika Jian mulai menyesap minumannya, matanya melirik ke arah gadis-gadis yang ditunjuk oleh Matt. "Mereka dari kampus kita," kata Matt sambil tertawa, "Aku pernah melihat si pirang." Jian melihat dengan sedikit lebih berhati-hati ke arah mereka. Ada tiga orang gadis, tertawa dan ketika dia sedang memperhatikan, salah satu dari mereka balas melihat dan tersenyum lebar.
Senyumnya cantik, Jian mulanya berpikir. Jian rindu dengan orang yang tersenyum dengan tulus, tanpa banyak perhitungan. Gadis itu persis sedang melakukan itu, tersenyum seperti tidak ada hari esok. Dia gadis di atas rata-rata, dengan kaki jenjangnya dan kulit yang sedikit kecoklatan. Rambutnya nyaris berwarna hitam, sangat kontras dengan apa yang biasanya Jian sukai. Jian suka gadis pirang.
Dalam beberapa menit, tatapan mereka berubah menjadi permainan. Semakin lama Jian memandangnya, semakin lama pula gadis itu melakukannya juga. Keduanya sangat bersemangat untuk menatap satu sama lain dan tidak mau jadi pihak yang pertama kali kalah. Jika memungkinkan, mereka bahkan tidak berkedip. Jian tersenyum, ini akan jadi malam yang sibuk.
Tubuhnya proporsional, khususnya kakinya. Bagaimana rok hitam mini membalut pahanya semakin menonjolkan lekukan yang dia miliki. Ngomong-ngomong dia terlihat agresif, dia melihat ke arah Jian, dan tentu saja sangat seksi. Khususnya senyumnya. Oh Tuhan, Jian ingin dia tersenyum sepanjang malam—Jian juga bertanya-tanya bagaimana namanya terdengar saat keluar dari mulut gadis itu, yang sekarang dipoles dengan lipstik merah, dan sebentar lagi, akan dilumat oleh bibirnya.
Jian terlalu yakin pada dirinya sendiri.
Jian kalah dalam permainan ketika Matt menyenggol tangannya, dia menolehkan kepalanya. "Kau sudah mendapatkan satu, ya?" Matt tertawa dan Jian mengangguk, bibirnya terangkat membentuk seringaian penuh arti. Dia merasa senang malam ini. "Gadis itu masih melihat ke arahmu, Bung. Pergilah dan perkenalkan dirimu."
Jadi, dengan dorongan dari temannya, Jian menemukan dirinya berjalan ke arah gadis itu. Saat gadis itu melihat Jian berjalan ke arahnya, dia mengernyit. Jian Li terkenal di lingkungan kampus dan dia sebenarnya tidak perlu memperkenalkan diri. Namun sebagai sebuah prosedur—dia harus membuat langkah pertama, benarkan?
Teman-teman gadis itu juga mulai bersemangat ketika Jian menuju ke arah mereka dan menyapa Jian dengan senyum lebar. Tidak seperti gadis itu, senyuman mereka tidak menarik baginya. Mereka terlalu palsu untuk selera Jian. Dia bukan lelaki yang suka bicara; dia tidak banyak bicara sama sekali. Dia jelas tidak menggunakan kalimat berlebihan untuk mendeskripsikan perasaannya. Kenyataannya, dia tidak merasakan apa pun.
Tidak banyak gadis yang dapat membuat jantungnya berdetak kencang setelah kencan satu malam—di pagi hari, semua rasa itu lenyap. Dia hanya merasa lelah. Dia tahu kalau ini tidak akan berbeda dari yang lainnya. Gadis itu punya senyum yang membuat Jian tertarik, lalu kenapa? Itu mungkin efek dari minuman beralkohol.
Jian mencondongkan dirinya ke telinga gadis itu, setelah mendorong rambutnya ke belakang, dan berbisik, "Hai." itu hanyalah kalimat sederhana, tetapi setiap kali para gadis mendengar dia berkata seperti itu, mereka tertawa genit. Sekarang, juga tidak ada pengecualian dan Jian sudah menguji ini untuk waktu yang lama. Perempuan adalah makhluk yang unik dan suka hal-hal unik.
Sebagai jawaban, gadis itu menyandar lebih dekat, menopang dirinya dengan mengalungkan tangannya ke belakang leher Jian, dan berbisik, "Hai, tampan."
Jian berpikir kalau apa yang dia lakukan itu seksi. Dia memanggil Jian tampan adalah nilai tambah. Jian berdehem, memperhatikan dengan lebih baik wajah gadis itu, dan menyimpulkan kalau bibirnya sangat penuh, dia lalu berkata, "Tempatmu atau tempatku?"
Gadis itu mundur selangkah dan tertawa karena Jian. "Terus terang sekali ya?"
"Aku tidak suka banyak bicara."
Dia tidak tahu bagaimana atau kapan mereka mulai keluar dari pub dan menuju hotel sebelah yang mereka temui. Jian sadar kalau gadis itu agresif tetapi yang satu ini adalah hal yang baru dan Jian sangat menyukainya. Jian suka cara gadis itu membimbingnya ke kamar hotel dan bagaimana dia menutup pintu di belakang mereka. Jian bahkan suka dengan suara kunci yang terjatuh ke lantai—karena gadis itu tidak mau menghabiskan waktu dengan meletakkan kuncinya di tempat lain.
Semuanya terjadi sebelum Jian sempat memproses dengan kepalanya. Tidak lama, gadis itu mulai melucuti pakaian Jian, dimulai dengan kemeja biru muda yang dia kenakan, kancingnya dibuka satu per satu, sambil terus melihat ke arah Jian. Gadis itu tersenyum, dan pikiran Jian langsung berkabut. Jian mencengkram dagunya dengan kuat, dan menekankan bibir mereka, sementara dia menyelesaikan tugasnya untuk membuka resleting milik Jian.
Dia juga melepas gaunnya dengan cepat; Jian juga menyukai itu. Jian suka bagaimana dia tidak perlu menyia-nyiakan usaha untuk apa pun—gadis ini terlalu handal untuk hal ini. Dia juga pencium yang hebat. Secara keseluruhan, dia adalah pilihan terbaik yang dibuat Jian malam ini.
Mereka perlahan berpindah ke tempat tidur, gadis itu menyentuh otot perut Jian lalu menyentuh lagi dan lagi seolah dia suka melakukan itu, dan Jian suka dia melakukan itu, pada akhirnya, semuanya bahagia. Sebelum bibirnya mencium bibir Jian, sebuah senyum muncul sekilas, lebih lebar dari yang diberikannya kepada Jian sepanjang malam, dan tanpa bisa ditahan Jian balas tersenyum.
Jian berpikir kalau hal ini tidak bisa jadi lebih baik lagi, saling terpaut di bawah selimut, kaki mereka terkait satu sama lain, berada pada puncak kenikmatan, gadis itu meneriaki namanya.
Semua hal memiliki akhir, begitu pula universitas.
Namun, Jian Li senang akhirnya bisa selesai dari tempat ini. Dia bisa melihat teman-temannya nanti, dia bahkan bisa berkunjung sesekali ke universitasnya, tetapi sekarang dia dapat melangkah ke tingkatan baru dalam hidupnya. Bisnis.
Dia kini bisa beristirahat sembari mencari pekerjaan baru. Tidak perlu lagi merasa kelelahan di ujian tengah semester, akhir semester atau saat tenggat waktu tertentu. Dia tahu ada hal yang lebih menyibukkan lagi akan datang, tapi hingga saat itu tiba, dia ingin menikmati hari kebebasannya.
Setelah Jian mendapatkan gelar sarjananya, pertama dia memeluk ayahnya, air mata tengah jatuh dari pipi laki-laki itu. "Aku bangga padamu, nak," ujarnya, memeluk Jian lebih erat. Jian sayang dengan keluarganya, terutama ayahnya.
"爸谢谢." Ayah, terima kasih.
Mr. Li merasa sangat bangga melihat putranya di upacara kelulusan. Dia lulus dengan peringkat kedua di departemennya, dan kesempatan yang bagus tengah menanti Jian. Mr. Li menepuk-nepuk pundak putranya dan memberikan senyum. Jian senang dapat membuat orang yang telah berperan menjadi dua orang tua sekaligus baginya merasa bangga seperti apa yang selalu dia inginkan.
Matt datang dan menyapa ayah Jian. Kemudian, dia memberi selamat kepada temannya. Jian sedih mereka akan berpisah sekarang, tapi mungkin mereka bisa bekerja bersama. Matt lebih seperti saudara laki-laki bagi Jian daripada seorang teman. Dia tahu semua hal tentang Jian dan mereka tidak terpisahkan. "Kau akan datang ke pesta kan?" Jian mengedikkan bahu, dengan senyum licik, karena dia suka mendengar temannya memohon. "Ayolah, Bung, ini pesta terakhir kita."
"Siapa yang mengatakan itu?" tanya Jian, tertawa.
"Sebagai mahasiswa," Matt mengoreksi kalimatnya sendiri. "Dan tentu saja kita harus hadir untuk mengenangnya."
"Jian Li."
Panggilan itu membuat mereka menoleh ke asal suara, ke arah panggung tempat prosesi penyerahan ijazah mereka. Di sana berdirilah seorang perempuan, dan Jian bersumpah dia pernah melihatnya sebelumnya tetapi tidak bisa mengingat di mana dan kapan.
"Oh, kau bahkan tidak mengingat aku." suaranya menggema di taman ini, membuat semua kepala menoleh dengan tatapan ingin tahu ke arahnya. "Well, aku juga tidak berharap kau ingat, casanova. Tidak masalah." Kemudian, dia tersenyum, tapi tetap saja, Jian tidak bisa mengingatnya.
Ketika perempuan itu berjalan dari panggung, Jian melihat ke arah perutnya. Dia hamil. Tunggu dulu, dia hamil. Fuck. tapi dia selalu menggunakan kondom—
"Satu peluang dalam sejuta," ujarnya seolah dia mendengar pertanyaan yang tak terucap. "Tapi dia anakmu. Aku hamil anakmu, Jian Li."
Hamil anakku, Jian mengulang untuk mempercayai kalimat itu. Bagaimana bisa dia mempercayai perempuan itu? Bagaimana kalau dia berusaha membodohinya? Jian berjalan dan menurunkan perempuan itu dari panggung dengan menariknya turun. Dia sangat marah hingga tidak ingat kalau perempuan itu tengah hamil dan harus diperlakukan dengan hati-hati.
"Aku mau tes DNA," Jian menuntut dan perempuan itu tersenyum. "Aku tidak percaya padamu."
"Apapun yang kau inginkan," katanya tidak keberatan. "Tapi kau tidak akan meninggalkan bayi ini jika dia memang anakmu, kan?" dia terlihat khawatir, dan Jian sedikit merasa bersalah untuk apa yang telah dia lakukan. Dia langsung melepaskan cengkraman tangannya dan perempuan itu mengusap bagian itu.
"Oke," katanya, kalah. "Aku bukanlah laki-laki yang akan membiarkan anakku tumbuh tanpa ayah."
Tes DNA menunjukkan hasil 99% positif. Dia adalah seorang ayah.
Ketika dia mengetahui hal ini, anaknya sudah akan lahir. Hanya tersisa beberapa hari saja. Dia meyakinkan perempuan itu, yang namanya adalah Cate, kalau dia akan ada di sisinya.
Ayah Jian marah kepadanya tetapi setelah beberapa hari, dia melunak karena ide memiliki cucu laki-laki, dan dia bahkan menawarkan agar mereka segera menikah. Jian tidak menolak tawaran itu, tetapi juga tidak berencana untuk menikah dengan seseorang yang dia sendiri tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya. Pernikahan adalah sebuah gagasan abstrak bagi Jian, dan dia tidak ingin menyia-nyiakannya.
Jian tidur dengan nyenyak setelah sekian lama. Semuanya akan menjadi lebih baik. Dia sedang pemanasan untuk menjadi seorang ayah. Dia bisa melakukan ini; dia bisa menjadi seorang ayah. Jian tertidur dengan senyum di bibirnya malam itu.
Kemudian, pada tengah malam, ponselnya berdering. Dia sudah berjaga-jaga karena tahu bayinya bisa lahir kapan saja. Jadi dia menjawab telepon itu. Dari nomor yang tidak dikenal.
"Mr. Li," perempuan di sambungan telepon itu berkata.
"Halo," Jian menjawab, panik.
"Mr. Li, di sini tercatat bahwa kau adalah Ayah dari seorang bayi—saya menghubungi untuk memberitahukan kalau bayi Anda sudah lahir dengan sehat." Dia menutup matanya dan tersenyum. Bayinya sudah lahir, akhirnya. Dia sudah menunggu hari ini sejak lama. Ayahnya juga akan merasa senang mengetahui hal ini. Mereka harus mengunjungi Cate sekarang. Jian bangkit dari tempat tidurnya.
"Terima kasih," gumamnya, mencari-cari pakaian di kegelapan. Dia menutup sambungan telepon, dan melempar ponselnya ke atas tempat tidur lalu mengenakan pakaian yang dia temukan. Kemudian, mengambil kunci mobil, dia berjalan dengan cepat keluar kamar.
Jian lupa untuk memberitahu ayahnya. Well, dia tidak ingin membangunkannya. Menuruni tangga dengan perlahan, dia menemukan jalan keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobilnya. Menyalakan mesin, Jian juga menghidupkan navigasi dan mengikuti arah yang ditunjukkan alat itu untuk menuju ke rumah sakit.
Dia dengan mudah menemukan ruang bayi. "Halo, Saya Jian Li—mereka bilang bayi saya sudah lahir."
"Oh," kata perawat itu, dengan senyum kaku. "Ya, dia ada di sana." Ketika dia menunjuk ke arah bayi dari balik kacamata Jian dengan cepat melekat pada bayi di depannya. Sangat kecil, betapa mungil jari-jari tangan yang dia miliki. Dia memperhatikan ketika perawat tadi membawa bayinya dan menyerahkannya ke pelukan Jian. "Ini dia, Mr. Li."
Ketika perawat itu menyerahkan bayinya ke Jian, dia serasa seperti bertekuk lutut. Untuk berhari-hari, dia membayangkan hari ini dan mencoba meyakinkan dirinya kalau dia akan menjadi ayah yang baik. Tetapi ini. Ini melampaui bayangannya. Dia mencium harumnya dan mendengarkan napasnya yang cepat. Jian tahu dia akan menyelamatkan makhluk kecil ini sepanjang hidupnya sekarang.
Kau tidak perlu berlatih menjadi seorang Ayah, pikirnya, kau hanya perlu menjadi Ayah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro